Gelombang tinggi menyapu wilayah pesisir selatan Jawa pada tahun 1994. Dampak kerusakan dan korban jiwa cukup tinggi sampai mencuri perhatian Presiden Soeharto untuk datang ke Banyuwangi.
***
Bulan Juni menyimpan duka mendalam bagi Banyuwangi, utamanya bagi masyarakat yang tinggal di pesisir selatan. 3 Juni 1994 tepat 28 tahun yang lalu, Gempa di selatan Jawa memicu gelombang tinggi yang meluluh lantahkan kampung-kampung nelayan di selatan Kabupaten Banyuwangi.
Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat Tsunami Banyuwangi dipicu gempa bumi dengan magnitudo 7,2 di Samudera Hindia. Dengan kedalaman yang cukup dangkal, yakni 18 kilometer di bawah laut. Gempa tersebut terjadi pada 2 Juni 1994, tujuh jam setelah gempa terjadi gelombang tinggi menerjang di wilayah pantai selatan.
Akibat kejadian tersebut, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 250 orang meninggal, 127 orang hilang, 423 luka, 1.500 rumah rusak, 278 perahu rusak dan hilang. Efek tsunami mencapai pantai Banyuwangi, Jember, Malang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek dan Pacitan.
Bagi warga Banyuwangi tragedi tsunami 1994 di pesisir selatan Banyuwangi itu masih melekat di benak masyarakat sekitar. Warga lokal menyebut Tsunami Pancer, meski di Banyuwangi tidak hanya di Dusun Pancer, tsunami juga menerjang wilayah Rajegwesi, Lampon dan Pantai Grajagan serta wilayah Taman Nasional Alas Purwo.
Dampak kerusakan
Siang itu, Selasa, (15/06/2022) saya berada di sekitaran Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi. Wilayah terparah dampak tsunami 1994. Bersama Yoyok Prasetyo warga Desa Wringinagung, Kecamatan Gambiran, Banyuwangi, saya di antar menuju ke lokasi dusun tersebut.
Sepanjang perjalanan Yoyok bercerita berkaitan insiden bencana tersebut. Ia ingat betul pasca kejadian tsunami itu, meski kala itu ia masih berusia 10 tahun. Menurut Yoyok sehari selepas kejadian, ia bersama ayahnya bergegas menuju ke Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, mengendarai Honda C70 untuk memastikan kondisi keluarga yang tingal di sana.
Sesampai di lokasi ia melihat banyak rumah-rumah warga rata dengan tanah serta tambak-tambak ikan di sekitaran lokasi yang mengalami kerusakan. “Waktu itu banyak warga yang kebingungan juga mencari saudaranya yang hilang,” kenangnya.
Perjalanan dari Desa Wringinagung menuju ke Dusun Pancer saya tempuh dalam waktu 1 jam. Setibanya di sana saya disambut dengan sebuah tiang yang tinggi menjulang di jalur menuju Dusun Pancer dengan corak dominan merah putih.
Usut punya usut, itu adalah peranti Early Warning System (EWS) yang di pasang oleh BMKG pasca kejadian Tsunami Selatan Banyuwangi. Bahkan untuk memaksimalkan keamanannya sistem peringatan dini gelombang tsunami itu tersebar di sembilan lokasi yang ada di Banyuwangi tidak terkecuali di Pantai Pancer Banyuwangi.
Setelah mengamati EWS saya bersama Yoyok bergegas menuju ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pancer lokasi yang menjadi denyut nadi penghidupan warga pesisir selatan Banyuwangi utamanya di Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi.
Banyak berbenah
Sejauh pengamatan saya, wilayah di sekitaran TPI Pancer sudah banyak berbenah. Ini terlihat dari proyek pembangunan sabuk laut pemecah gelombang yang di bangun oleh pemerintah. Di sekitar lokasi saya menemui Muhammad Shoim seorang nelayan asal Desa Silirbaru, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi.
Saat di singgung berkaitan dengan tsunami Pancer 1994 Shoim mengaku jika dampak kerusakan di TPI tersebut sangat masif. Ia yang kala itu duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) turut menyaksikan perubahan wilayah disekitaran TPI lantaran sebagai anak nelayan lokasi tersebut menjadi jujugan selepas pulang sekolah.
“Dulu di utara TPI ini rumah nelayan semua, Mas,” katanya sambil menunjukan lokasi awal pemukiman Nelayan Pancer.
Menurut Shoim, pasca tsunami 1994 itu warga di sekitaran pesisir pantai selatan Jawa utamanya di Dusun Pancer di minta untuk memindahkan rumahnya ke lokasi yang lebih aman. Hingga saat ini rata-rata rumah warga berada di seberang jalan untuk meminimalkan dampak serupa seperti di tahun 1994.
Pun kawasan di sekitaran TPI Pancer, upaya pembangunan juga di lakukan secara bertahap pasca kejadian tsunami tersebut. Mengingat lokasi tersebut menjadi soko guru roda ekonomi nelayan di wilayah Dusun Pancer yang mencari ikan di wilayah pantai selatan.
“Namanya udah darah nelayan mas, apa-apa walau bahaya tetap di lakukan meski tempat tinggal kami di lokasi rawan,” terangnya.
Untuk diketahui, saat itu gempa tektonik berkekuatan magnitudo 7,2 terjadi di 10 derajat Lintang Selatan dan 112.74 Bujur Timur, pada kedalaman 33 kilometer dengan pusat gempa sekitar 225 kilometer selatan Malang atau di Samudera Hindia.
Air bah menerjang
Berkat Muhammad Shoim, saya dikenalkan juga dengan Samsul Hadi warga Dusun Pancer Desa Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi. Samsul yang saat ini berusia 63 tahun ingat betul ihwal kejadian banjir besar 28 tahun lalu itu, kala itu warga disekitar lokasi belum mengenal istilah tsunami.
Samsul mengatakan saat kejadian kedua anaknya tengah tertidur di dalam rumah. Waktu itu Jum’at, (03/06/1994) sekitar pukul 02.00 WIB. Ia bersama sang istri kebetulan masih terjaga dan sempat mendengar suara gemuruh seperti halilintar. Saat istrinya melihat di bagian lubang fentilasi rumah, sang istri melihat gulungan ombak yang tinggi dari arah laut.
Sambil berteriak sang istri meraih kedua anaknya dan seketika ombak menyapu rumahnya yang langsung rata dengan tanah. Samsul mengaku saat itu air bah yang datang langsung menggulung apa saja yang dilewatinya.
Ia sempat mendengar sayup-sayup suara tetangganya yang meminta tolong lantaran kejadian tersebut terjadi secara tiba-tiba. “Kejadiannya cukup cepat dan air datang dua kali saat kejadian itu,” kata pria yang sempat merantau ke Malaysia pasca tsunami 1994.
Samsul menambahkan, air bah datang kembali setelah melewati pemukiman warga yang kemudian mengarah ke pesisir pantai selatan Banyuwangi. Saat paginya ia baru melihat dampak kerusakan yang nyata dan banyak korban dari tetangganya yang meninggal lantaran bencana itu.
Seluruh rumah warga rata dengan tanah bahkan banyak pepohonan kelapa yang tumbang pasca tsunami besar tersebut. Meski mengaku memiliki trauma yang mendalam, ia memilih tetap tinggal di Dusun Pancer lantaran di sana tempat mencari nafkahnya.
Apalagi seminggu pasca kejadian, Presidan Soeharto langsung meninjau lokasi terdampak tsunami di wilayah Pesanggaran hingga meminta untuk rumah nelayan kembali di bangun dengan memilih lokasi yang lebih aman.
“Bahkan program Bimbingan Massa-lntensifikasi Massal (Bimas-Inmas) untuk nelayan kala itu di bebaskan untuk masyarakat,” ujarnya.
Bimas-Inmas merupakan program pemerintah di masa orde baru untuk menyalurkan bantuan rumah dan perahu bagi kelompok nelayan. Kala itu, lanjut Samsul, warga yang ada di pesisir selatan mendapat stimulus dari pemerintah dengan mendapat 6 rumah dan 1 perahu yang nantinya digunakan nelayan mencari ikan.
Sebelum adanya tsunami adanya program tersebut mewajibkan setiap nelayan untuk membayar stimulus dari pemerintah secara bertahap. Namun setelah adanya bencan itu, akhirnya Presiden Soharto menghapuksan pembayaran untuk nelayan yang menjadi korban.
Lebih jauh Samsul menjelaskan di wilayah Dusun Pancer saat ini di bangun monumen untuk mengenang para korban yang terdampak tsunami pada tahun 1994. Monuman batu besar bertuliskan tanggal kejadian gempa bumi yang akhirnya memicu tsunami dan berdampak di pesisir selatan Jawa Timur.
Reporter: Fareh Hariyanto
Editor: Purnawan Setyo Adi