Kuliah sambil kerja itu bukan perkara mudah. Ada yang melakukannya untuk mencari pengalaman atau bersenang-senang mengisi waktu luangnya. Namun, banyak yang melakukannya untuk bertahan hidup dan membayar uang kuliah.
***
Sulis ingat betul, Januari lalu, saat waktu pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) sudah di depan mata, ia cuma punya uang Rp1 juta. Padahal, uang kuliah yang harus ia bayarkan Rp2,1 juta.
Ia tak tahu lagi harus mencari uang ke mana. Jatah cutinya sudah habis. Jika tak dapat melunasi UKT, artinya ia tak bisa lagi melanjutkan kuliah.
Waktu itu, ia berpikir satu-satunya cara hanya mengajukan penangguhan pembayaran UKT. Yang penting kuliah tetap jalan. Mudahnya, ia mengajukan bon ke kampus. Perkara bagaimana cara melunasinya bisa pikir nanti.
Sebelum mengajukan penangguhan pembayaran, ia mendatangi seorang dosen dan menceritakan persoalan yang ia hadapi. Ia tak menyangka, dosennya justru menawarkan untuk menambal kekurangan UKT Sulis. Dengan catatan, kalau suatu saat butuh, dosen bisa meminta tolong Sulis mengerjakan desain atau apa yang bisa dikerjakan. Sulis senang bukan main.
Sulis biasa mencari penghasilan lewat pemotretan, produksi video, desain grafis, sampai lay out buku. Namun, ia tak punya kantor. Juga tak punya atasan. Orang-orang seperti Sulis biasa disebut pekerja freelance atau pekerja lepas.
Saya menjumpainya saat ia akan melakukan pemotretan sarung milik teman kuliahnya, Gilang. Sulis diminta memotret sarung-sarung batik milik Gilang yang nantinya akan mengisi katalog di media sosial dan marketplace.
Sebagai pekerja serabutan, Sulis bersedia mengambil pekerjaan dari siapa saja asal bayarannya cocok. Namun, kali ini kondisinya berbeda, ia bekerja untuk teman karibnya yang baru mau memulai usaha. Dan Sulis tahu betul bulan lalu kawannya baru saja jungkir balik untuk bisa membayar biaya kuliah, persis seperti dirinya.
Bayar kuliah sendiri karena nggak mau bebani ortu
Sulis mulai kerja serabutan sejak semester tujuh. Sebelumnya ia masih mendapat uang saku penuh dari orang tuanya. Namun, seiring bertambahnya usia, juga semakin menua semester kuliahnya, ia merasa tak enak jika terus-terusan menadahkan tangan ke orang tua.
Pria asal Purworejo ini merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara. Kedua kakaknya sudah menikah.
“Awalnya aku sadar diri aja. UKT kan mahal, ya. Aku dapat golongan tiga (Rp2,1 juta) padahal ibuku nggak kerja. Bapak wiraswasta, pendapatannya gak nentu. Cukup lah buat biaya hidup. Tapi tambah untuk bayar kuliah agak berat,” kata Sulis dengan bahasa Jawa.
Saat mulai menginjakkan kaki di semester satu, Sulis tak pernah berpikir bahwa ia akan kuliah sambil bekerja. Ia selalu mengingat pesan orang tuanya: fokus kuliah terus lulus.
Tapi kenyataan berkata lain. Setelah menyelesaikan semester enam, Sulis sudah tahu bahwa ia tidak dapat lulus tepat delapan semester karena harus mengulang beberapa mata kuliah.
Maka ia berpikir bahwa mulai semester tujuh ia perlu mencari tambahan agar bisa nabung. Harapannya saat masuk semester sembilan nanti bisa membayar biaya kuliahnya sendiri, tak perlu meminta uang ke orang tuanya.
Saat itu, Sulis menyadari bahwa kesenangannya dalam memegang kamera dan membuat desain juga editing video dapat menghasilkan uang bila ditekuni. Maka jalan itu yang ia ambil, meski ia mengaku tak juga terlalu ngoyo untuk bekerja.
“Sebenernya aku nggak terlalu niat kerja kayak gini, tapi kalau ada yang minta ya ambil,” katanya.
Pekerja freelance punya kerentanan
Awalnya Sulis memilih bekerja freelance karena tidak terikat waktu secara ketat. Artinya ia bisa menentukan sendiri kapan waktu buat kerja dan tak perlu izin bos jika sedang ada halangan atau ingin berlibur.
Dengan begitu, ia berharap tetap bisa melanjutkan kuliah dengan baik. Namun, pengalamannya menjadi pekerja freelance selama lebih dari satu setengah tahun membuatnya memiliki kesimpulan lain.
“Kalo freelance, kita kerja kan berdasarkan target. Sementara kalau bekerja dengan target itu kan nggak kenal waktu, yang penting selesai pas target. Jadi ya, itu, waktu otomatis terkuras,” ucap Sulis.
Menurut Sulis, seringkali sebagai freelance ia merasakan bayaran yang sering ia terima nggak sesuai sama waktu buat kerja.
“Selain itu, hak-hak freelance sebagai pekerja juga beda sama yang [pekerja] konvensional: dia nggak punya perlindungan hukum; nggak punya skema waktu yang jelas, gaji juga nggak pasti. Kadang gara-gara [waktu] fleksibel malah justru nggak ada istirahatnya,” paparnya.
Semua itu sudah Sulis rasakan. Tak hanya sekali-dua kali, ia harus merelakan waktu tidurnya dan terjaga sampai pagi gara-gara mengejar target customer. Belum lagi kalau dapat klien yang rewel, kepalanya pening bukan main.
Kuliah sambil kerja bukan hal yang diinginkan
Fenomena mahasiswa yang menjalani kuliah sambil kerja tak hanya ada di Yogyakarta saja, tapi di mana-mana. Data BPS tahun 2020, mencatat bahwa sebesar 6,98% pelajar berusia 10 sampai 24 tahun menempuh pendidikan sambil bekerja.
Sulis yakin, tak sedikit mahasiswa seperti dirinya yang nyambi kerja. “Aku yakin temen-temen yang kuliah sambil kerja, pasti salah satunya karena tanggungan biaya pendidikan. Hampir nggak mungkin kemudian murni pengen kerja karena punya banyak waktu nganggur.”
Menjalani kuliah sambil bekerja benar-benar membuat Sulis lelah. Tak jarang, kuliah menjadi taruhannya. Menurut Sulis, kerja sambil kuliah berpotensi mengurangi esensi filosofi pendidikan.
“Kuliah kan aslinya cari ilmu. Makannya kemudian banyak orang yang sambil kerja itu, banyak kulihat yang kuliahnya keganggu. Walaupun pasti nggak semua tapi banyak yang aku lihat kayak gitu,” katanya.
Hidup mandiri dengan kuliah sambil kerja
Cerita tentang mahasiswa yang kuliah sambil kerja saya dengar dari Aljas Sahni, anak muda dari Madura. Aljas datang ke Jogja tahun 2018 namun baru dua tahun kemudian ia kuliah di Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta.
Setelah lulus SMA, ia pergi ke Sidoarjo untuk mencari cuan. Ia berpikir melamar kerja bukan persoalan yang pelik. Keinginannya bekerja karena ingin hidup mandiri, tidak bergantung pada orang tua..
Ia mengirim surat lamaran ke tempat-tempat usaha yang sedang membuka lowongan, entah itu warung makan, kantor-kantor, semuanya ia coba.
“Posisinya apa aja yang mereka cari, salah satunya copywriter. Sumpah surat lamaranku itu banyak banget. Dan semuanya nggak diterima, jadi di Sidoarjo itu aku sia-sia, sekitar dua sampai tiga bulan.”
Selepas itu ia ke Jogja. Selama dua tahun waktunya lebih banyak ia habiskan di Komunitas Kutub, komunitas penulis di Jogja. Tahun 2020 ia memutuskan untuk kuliah di USD, tentu saja dengan biaya sendiri.
Saat saya temui, Aljas sedang tidak bekerja. Ia sedang menikmati uang yang dikumpulkannya dari menjaga warung madura bulan lalu. Selain itu, uang kuliah sebesar Rp5,1 juta juga sudah ia bayarkan. Tentu ia bayar dari pemasukan hasil menjaga warung madura. “Jadi udah nggak punya tanggungan lagi, paling cuma untuk makan sama nongkrong doang.”
Jaga warung madura paling menguntungkan
Bagi laki-laki yang sudah menjajal bermacam-macam pekerjaan ini, menjaga warung madura merupakan pekerjaan yang paling menghasilkan cuan. Ia tak perlu bekerja sepanjang waktu. Mungkin cukup satu-dua bulan bekerja, lalu istirahat untuk menikmati hasilnya, lalu cari kerja lagi saat simpanan sudah menipis.
“Aku kerja di satu toko kelontong itu misal dua bulan gitu, habis itu berhenti istirahat dulu karena pengen nongkrong sama temen-temen. Kalau nggak nongkrong kayaknya dimusuhi temen-temen,” ia tergelak.
“Kalau udah habis nanti kerja lagi, tanya ke temen, ‘ada kerjaan nggak’.”
Meski harus bekerja dua belas jam menjaga warung, Aljas mengaku bisa menikmati itu. Ia selalu mengambil shift malam. Mulai dari pukul tujuh malam hingga pukul tujuh pagi. Setelah itu ia masuk kuliah. Jam tidurnya tidak menentu. Terkadang, bahkan ia tak sempat tidur.
Bersiasat agar kuliah tidak keteteran
Meski begitu, ia merasa tak kesulitan mengikuti perkuliahan. Lantaran sudah biasa bekerja, kata Aljas, ia merasa bisa membagi waktu dan bersiasat agar tak keteteran saat kuliah.
“Yang penting kan ngerjain tugas, hadir, dan aktif dikit. Itu cukup untuk dapet nilai baik,” katanya.
Baginya kuliah sambil kerja adalah sesuatu yang menyenangkan. “Kalau ditanya sedih ya nggak ada sedih-sedihnya memang. Keren juga kuliah sambil kerja kan. Banyak uang juga,” ia tertawa.
Selain karena tugasnya yang hanya menjaga warung, hal yang membuatnya merasa dapat menikmati pekerjaan ini adalah soal penghasilan. Warung madura yang pernah ia tempati tidak menerapkan sistem gaji tetap, melainkan menggunakan sistem bagi hasil. Dan ia mengaku penghasilannya selalu melebihi UMR Yogyakarta.
Sebelumnya, untuk bertahan hidup, ia pernah melakoni berbagai macam pekerjaan: menjadi penjual koran di lampu merah perempatan Benteng Vredeburg, menulis cerpen di berbagai koran dan media online, menulis konten, dan menjadi joki tugas.
“Jadi aku pernah berpikir kayak gini, kan temen kelasku banyak yang malas kerjain tugas, wah ini harus dimanfaatkan ini,” kata Aljas tertawa.
Bekerja untuk bertahan hidup
Saya bertemu dengan mahasiswa lainnya yang nyambi kerja demi bisa kuliah. Namanya, Azriel Williem, seorang mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Azriel adalah perantau asal Lamongan, Jawa Timur. Saya menemui Azriel di sela-sela waktu kerjanya. Sekitar pukul setengah dua belas malam, saya sampai di warkop tempatnya bekerja dan Azriel masih sibuk di dapur.
Warung kopi tempat Azriel bekerja cukup ramai. Tengah malam adalah saat di mana ia punya waktu cukup longgar. Pengunjungnya masih ramai memang. Bahkan sampai pagi pun, tak jarang beberapa pengunjung masih nongkrong.
Setelah membuat kopi cangkir dan tempe cocol pesanan saya, Azriel menarik kursi yang ada di seberang meja saya. “Aku [kerja] di sini dari bulan Agustus tahun lalu. Ini caraku untuk bertahan hidup,” katanya, mengawali perbincangan kami.
Mahasiswa angkatan 2019 ini bercerita bahwa pekerjaannya di warung kopi sekarang bukanlah pekerjaan pertama kalinya. Saat perkuliahan berlangsung secara daring karena pandemi, ia memutuskan pulang ke rumah.
Ayah Azriel bekerja sebagai pengemudi becak motor. Penghasilannya sehari-hari tak menentu. Belakangan, menjamurnya ojek online di setiap penjuru wilayah membuat becak motor semakin sepi peminat.
Ia sedang duduk di semester dua saat kuliah mulai dilaksanakan secara daring. Berbeda dengan banyak mahasiswa lain, Azriel tak bisa kuliah di depan layar nyambi tiduran di kasur atau duduk manis di sofa rumah, sementara orang tuanya kerja panas-panasan di bawah terik matahari.
“Yo wes mau nggak mau harus cari kerja, ”kata Azriel. Ia sedikit ragu saat menceritakan pekerjaan pertamanya.
“Aku jadi juru parkir di pasar selama enam bulan. Habis itu pindah kerja ke Lamongan kota di warung kopi,” katanya.
Ambil cuti kuliah untuk bekerja
Saat kuliah memasuki semester tiga, ia memutuskan mengambil cuti selama dua semester. Kondisi ekonomi keluarganya saat itu sedang kurang baik. Mau tak mau, Azriel harus membantu keluarganya untuk mencari nafkah. Kebetulan, saat itu kuliah secara daring karena pandemi. Mantap sudah alasannya mengambil cuti. “Ya ngapain gitu, loh, kuliah full daring tapi bayar mahal-mahal,” katanya.
Ia memilih waktunya lebih baik untuk bekerja. ”Masak mau bergantung ke orang tua kan nggak mungkin, sedangkan kita makin gede, kebutuhan pribadi makin nambah. Sedangkan minta ke orang tua, dikasih pun kadang nggak cukup. Mau nggak mau harus cari sendiri.”
Setelah bekerja di rumah selama lebih dari satu tahun, ia memutuskan kembali ke Yogyakarta, melanjutkan kuliahnya.
Saat itu ia mulai bekerja di sebuah warung kopi di daerah Ngaglik, Sleman. Jarak dari kampusnya cukup jauh, sekitar tiga puluh menit perjalanan dengan sepeda motor ketika lalu lintas lancar.
Selama bekerja di Ngaglik, ia tak punya tempat tinggal tetap. Lemarinya ia titipkan di sekretariat organisasi. Warung kopi tempatnya kerja, sekaligus menjadi tempatnya untuk istirahat tidur.
Namun, belum lama bekerja di sana, tiba-tiba kampus mengeluarkan surat edaran bahwa pembelajaran akan berlangsung secara luring.
Begitu mendengar kabar itu, ia segera keluar dari tempatnya kerja dan pindah ke warung kopi di daerah Sorowajan. Kebetulan warung kopi itu sedang membutuhkan karyawan baru. Hingga saat ini, ia sudah menjadi pekerja di warung kopi ini selama sekitar setengah tahun.
Kerja sepuluh jam setiap hari
Sejak bekerja di tempatnya sekarang, Azriel sudah jarang sekali meminta uang saku ke orang tuanya.
“Kalau minta pun kadang lama dikasihnya. Mungkin seminggu dua minggu baru dikirim, itu pun tak seberapa.”
Jam di ponsel saya menunjukkan pukul setengah satu, saat seorang pengunjung datang dan memesan kopi. Azriel izin kembali ke dapur untuk menyiapkan pesanan pelanggan.
Setelah selesai, Azriel kembali duduk bersama saya. Hari itu Azriel masuk shift malam. Sejak sebelum jam lima sore, ia sudah sampai di tempat kerjanya, menggunakan sepeda motor. Setiap hari ia bekerja selama sepuluh jam, terhitung dari pukul lima sore sampai pukul tiga dini hari. Berbeda dengan teman Azriel yang selesai dulu pukul dua belas malam.
“Aslinya satu orang satu shift. Tapi kalo malem kan seringnya rame, jadi aku narik satu orang biar nggak keteteran,” katanya. “Kami ngerjain semuane yang di warung, mulai nyeduh kopi, bikin nasi telur, nasi goreng, cemilan, cuci piring, bersih-bersih, pokoknya semuanya. Megang kasir juga. Namanya juga serabutan.”
Azriel juga tak menikmati waktu libur. Aslinya ia mendapat jatah kerja enam hari dalam satu minggu. Namun, karena merasa penghasilannya tak cukup, ia memutuskan tetap masuk pada hari libur agar dapat uang tambahan.
Kuliah sambil kerja, lelah fisik dan mental
Azriel sudah tak asing lagi dengan yang namanya burn out. Istilah ini mengacu pada suatu kondisi di mana pekerja merasa lelah secara fisik, mental, dan emosional. Belum lama ini ia kembali merasakannya.
Saat sedang bekerja, tak jarang pikirannya tak karuan. Berpikir tentang banyak hal membuatnya sering merasa stres. “Pikiran itu nggak cuma kupakai untuk mikir kerjaan doang, tapi juga mikir yang lain. Perasaan juga sama.”
Kalau sudah benar-benar lelah, katanya, yang bisa dilakukan hanya istirahat. Namun, karena tak punya hari libur, ia harus pintar-pintar cari cara istirahat.
“Kadang kalau lagi sepi pelanggan, aku merenung sendiri. Duduk lenger-lenger sambil ngerokok. Ngapain lagi kalau nggak overthinking.”
Dampak kuliah sambil kerja
Dengan bekerja di warung kopi sampai jam 3 pagi, kuliah Azriel jadi tak bisa maksimal. Salah satu yang paling terasa adalah perkara pembagian waktu.
“Contoh kan kerja sampe jam 3 pagi, terus kuliah misal jam setengah sebelas, ya itu harus memanfaatkan waktu seefektif mungkin untuk istirahat. Meski banyak bablasnya,” ia tertawa.
“Kalaupun ada kuliah pagi jam tujuh, paling tidur sejam. Sukur-sukur bisa dua jam, itu udah sukur banget. Tapi sering nggak tidur juga.”
Ketika masuk, Azriel seringkali kesulitan fokus mengikuti perkuliahan. Karena jam tidur yang berantakan, ia jadi sering mengantuk di dalam kelas.
Badannya juga seringkali kelelahan. Namun, karena tak punya pilihan lain, mau tak mau ia tetap memaksakan datang, bahkan saat kondisi badannya tak mendukung.
“Bahkan kalau nggak enak badan kayak meriang, ya tetep kerja, tetep kuliah, meski nanti di kelas tidur. Tidur pun paling kalo dosen negur, tak jelasin, saya kerja pak tadi malam.”
Beruntung selama ini dosen bisa mengerti keadaan Azriel dan mengizinkannya tidur di kelas. Dosen pernah jadi mahasiswa juga, kata Azriel, jadi paling tidak pasti ngerti urusan seperti ini.
Kehidupan Azriel terbagi menjadi ke dalam dua dunia saja, yakni kehidupan kampus dan kerja. Ia tak sempat terpikir untuk main atau melaksanakan aktivitas lain. Bahkan sekedar ikut organisasi saja Azriel tak sempat. Ia sempat mendaftar sebuah organisasi ekstra kampus tapi tak bisa aktif berkegiatan lantaran tak punya waktu.
Ketika mendapat tugas, terkadang ia mengumpulkannya lebih lambat dari tenggat. Di sela-sela waktu kerja, tak jarang, ia curi-curi waktu untuk mengerjakan tugas menggunakan laptop. Sering juga ia tak mengerjakan tugas kuliah.
Hingga saat ini, ia masih harus mengulang banyak mata kuliah. Bekerja membuatnya tak dapat mengikuti perkuliahan dengan baik.
Reporter: Hasbi Kamil
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Cerita Mahasiswa yang Lulus Tanpa Skripsi, Jalur OBE Jadi Lahan Para Joki dan reportase menarik lainnya di kanal Liputan.