Yogyakarta punya dua menara suar. Salah satunya Menara Suar Samas. Menara tertua di pesisir selatan ini keberadaannya penting bagi pelayaran. Namun, di luar daripada fungsinya, kehidupan di menara suar kerap diasosiasikan dengan kesepian, benarkah demikian?
***
Sunyi menyelimuti Pantai Pandansari. Matahari bersinar terik. Hembusan angin meniup pasir hitam lembut yang menjulang di beberapa bagian. Parkiran sepi. Tak nampak wisatawan. Hanya beberapa pemancing sedang duduk sabar menunggu umpan dilahap ikan.
Siang itu, Selasa (17/5/2022), jauh di lepas pantai selatan, dua kapal nelayan nampak sedang menjaring ikan. Sebuah kapal besar juga samar-samar nampak di ujung pandangan. Bergerak begitu pelan.
50 meter dari bibir pantai, berdiri kokoh sebuah menara beton yang sangat tinggi. Menara itu berada di area kompleks berpagar. Ada beberapa bangunan di dalamnya. Nampak seperti tempat tinggal. Sepi tanpa aktivitas sama sekali. Di pagar kompleks tertera tulisan ‘Menara Suar Samas’.
Saya coba memasuki gerbang. Tertutup namun tak dikunci. Berjalan perlahan mengetuk pintu bangunan satu persatu. Bangunan pertama tak ada jawaban. Bangunan kedua masih tak ada yang menyahut. Pada bangunan ketiga suara sambutan terdengar.
Seorang pria berkaos oblong dengan celana kain hitam keluar dengan senyuman. Ia menanyakan apa keperluan saya. “Saya ingin bertanya banyak soal pengelolaan menara suar dan kisah-kisah para penjaganya,” ucap saya. ia mulai nampak ragu. Terdiam sejenak. Lalu berujar bahwa ia tak bisa menyampaikan informasi untuk keperluan wawancara.
“Sebaiknya nunggu pegawai tetapnya saja. Kebetulan sedang pada pergi. Nanti sore kembali,” kata pria yang mengaku menjadi tenaga outsourcing di Menara Suar Samas.
Saya mencoba menanyakan kontak pegawai yang memiliki kewenangan di tempat ini. Namun ia menolak memberi. “Tunggu saja, Mas. Nanti sore pasti balik ke sini. Kami mulai banyak kegiatan sore biasanya,” ujarnya.
Ia tetap kukuh tak memberi informasi setelah beberapa kali negosiasi. Saya pun pergi. Berniat untuk kembali keesokan hari. Dalam perjalanan pulang saya terbayang bagaimana menara suar kerap diasosiasikan dengan kesepian. Bahkan beberapa cerita dalam film menggambarkannya dengan nuansa mencekam dan penuh misteri.
The Lighthouse (2019), film yang diperankan Willem Dafoe dan Robbert Pattinson jadi salah satu yang berhasil menangkap bagaimana kesepian menyelimuti penjaga bangunan pembantu navigasi pelayaran ini. Selain itu ada The Vanishing (2018) yang juga menggambarkan kehidupan di menara suar yang penuh tantangan.
Kedua film itu berlatar di menara suar yang terletak di pulau terpencil. Dikelilingi tebing karang curam. Suatu gambaran yang kerap dimunculkan dalam produk hiburan media barat. Menara Suar Samas maupun beberapa menara lain di selatan Pulau Jawa memang tak seterpencil itu. Namun memiliki satu kesamaan: sunyi dan sepi.
Menara suar milik pemerintah
Keesokan harinya, Rabu (18/5/2022) saya kembali ke sana pada sore hari. Waktu yang tepat karena para petugas menara tampak sedang beraktivitas membenahi genting salah satu bangunan tempat tinggal mereka. Seorang dari mereka menghampiri, menanyakan maksud dan tujuan saya.
Pria itu bernama Waluyo Sejati (56), ia merupakan koordinator petugas Menara Suar Samas. Ia mengajak saya duduk di bangunan yang terletak di ujung utara kompleks menara suar. Setelah duduk nyaman, ia mulai bercerita bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki dua menara suar yang dijaga oleh personil yakni Menara Suar Samas (Bantul) dan Menara Suar Baron (Gunungkidul).
“Selain menara suar, ada rambu suar. Bedanya rambu suar itu lebih kecil, jumlahnya lebih banyak dan biasanya tidak dijaga personil,” ucapnya.
Menara Suar Samas yang memiliki tinggi 40 meter ini didirikan tahun 1997 dan jadi menara suar tertua di pesisir selatan Yogyakarta. “Bahkan menara suar paling pertama didirikan oleh pemerintah di pantai selatan Jawa. Di area Kantor Distrik Navigasi (Disnav) Cilacap,” sambung Waluyo.
Jika dihitung yang pertama berdiri di selatan Jawa, maka Menara Suar Cimiring di Pulau Nusakambangan jadi yang paling tua. Menara itu didirikan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1850-an. Namun jika yang paling pertama dibangun oleh pemerintah melalui Kementerian Perhubungan, Menara Suar Samas jadi yang pertama.
Terdapat delapan menara suar yang berjejer mulai dari pesisir Pacitan hingga sisi barat Pangandaran. Menara suar ini berada di bawah naungan Kantor Disnav Kelas III Cilacap dan bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal (Dirjen) Perhubungan Laut (Hubla) Kementerian Perhubungan RI. Dalam catatan Dirjen Hubla tahun 2021, terdapat 285 menara suar yang tersebar di berbagai titik di Indonesia. Menara-menara ini dikelola oleh 25 Kantor Disnav.
Mengingat pentingnya keberadaan menara suar terhadap kelancaran dan keselamatan pelayaran, tanggal 22 September diperingati sebagai Hari Menara Suar di Indonesia. Negara-negara lain di dunia juga memiliki peringatan Hari Menara Suar. Amerika Serikat misalnya, yang menjadikan 7 Agustus untuk memperingati pentingnya eksistensi menara suar.
Pesisir selatan Jogja, meski tak punya pelabuhan besar, tetap punya posisi strategis yang membuat keberadaan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP) seperti menara suar dibutuhkan. Menara ini berfungsi untuk membantu menunjukkan para navigator dalam menentukan arah haluan kapal dan menunjukkan arah daratan.
“Meski teknologi kapal sudah semakin canggih, ada GPS dan dukungan Vessel Traffic Service (VTS), selalu ada kondisi-kondisi darurat tertentu yang membuat lampu sorot penanda dari menara suar keberadaannya vital,” jelas Waluyo.
Ia juga menambahkan bahwa menara suar sangat penting bagi para nelayan. Lampu sorotnya menjadi penanda daratan dan arah pulang. “Pernah ada nelayan dari daerah sini, yang nyasar sampai pesisir Gombong (Kebumen) karena saat itu lampu sorot menara sempat mati,” tambahnya.
Ada dua jenis lampu sorot di menara suar yakni flashing (lampu kedip) dan revolving (lampu berputar). Keduanya dibekali tenaga baterai dengan energi dari panel surya. Lampu sorot akan otomatis menyala ketika gelap datang. Jadi tak setiap hari para petugas perlu naik atas untuk menyalakannya.
Para penjaga menara
Kami beranjak dari tempat duduk dan berjalan-jalan mengitari area Menara Suar Samas. Lima petugas lain masih berkutat membenahi genting bangunan tadi. Total ada enam petugas yang berjaga, empat pegawai tetap Disnav Cilacap dan dua tenaga outsourcing. Mereka digilir setiap beberapa bulan sekali dari satu menara ke menara lain di selatan Jawa.
“Biar nggak bosan dan kinerja tetap terjaga. Kadang rotasi dilakukan tiga bulanan, kadang sampai enam bulan,” kata Waluyo yang berasal dari Purworejo.
Dengan ritme pekerjaan yang tak begitu kencang, para petugas menara suar harus mengerjakan berbagai hal agar tetap memiliki kesibukan. Mulai dari bersih-bersih hingga melakukan perawatan bangunan.
“Naik menara suar itu seminggu paling dua kali. Memastikan tidak ada kendala di atas. Selebihnya ya kami lakukan yang bisa dilakukan untuk menjaga dan merawat tempat ini,” tambahnya.
Rasa bosan pasti ada. Namun Waluyo punya komitmen bahwa pekerjaan ini adalah amanah dan harus dijalani dengan sepenuh hati. Ia sudah bekerja di Disnav Cilacap sejak tahun 1991. Dua tahun lagi pensiun dan ia ingin memaksimalkan masa-masa terakhir pengabdiannya.
Banyak kenangan yang telah ia lewati setelah menjaga semua menara suar di bawah Kantor Disnav Cilacap. Salah satu yang paling menantang adalah saat ditugaskan di Menara Suar Cimiring. Lokasinya cukup terpencil di Pulau Nusakambangan. “Proses ke sananya saja sudah susah,” kenangnya.
Sementara itu, banyak mitos yang berkembang di masyarakat tentang mistisnya pantai selatan Jawa. Waluyo juga mengakui banyak mendengar pengalaman mistis dari rekan kerjanya. “Banyak kalau cerita (mistis), terutama yang sering itu di Nusakambangan dan Kebumen,” ujar Waluyo.
Mengenai pengalaman pribadinya, Waluyo mengalaminya saat berjaga di Kebumen pada masa awal bekerja. Saat itu pada sore hari Waluyo dan seorang rekan kerjanya sedang jalan-jalan ke perkampungan tak jauh dari tempat mereka bekerja. Namun ketika pulang tiba-tiba mereka mencium bau wangi menyengat saat masuk ke area tempat mereka berjaga.
“Dulu di sana menara suar belum berdiri, jadi itu pos stasiun radio gelombang menengah. Belum dialiri listrik dan hanya dijaga kami berdua,” ungkapnya.
Perasaan takut menyelimuti Waluyo dan rekannya. Mereka akhirnya tidur bersama dalam satu ruangan. Pagi harinya mereka berkeliling mencari sumber wewangian yang ternyata tak ada.
“Intinya saya percaya hal seperti itu (mistis) memang ada. Tapi ya sudah biasa saja, toh kita ini memang hidup berdampingan dengan mereka. Lha ini mungkin di samping ada yang mendengar obrolan kita,” ujarnya tertawa.
Kami sampai di bawah bangunan menara. Pintunya tergembok. Katanya memang jarang dibuka dan wisatawan tak diizinkan untuk menaikinya. Saya lalu bertanya mengapa beberapa tahun yang lalu banyak unggahan foto wisatawan di puncak menara.
“Itu sebenarnya tidak boleh. Biasa, ada oknum yang mengizinkan. Padahal tidak boleh, bahaya dan tidak ada asuransinya. Nanti kalau ada insiden kan saya yang bertanggung jawab kalau ada masalah,” katanya menyayangkan.
Dari banyak hal yang telah ia lalui dari menara suar satu ke yang lainnya, hal terberat yang ia rasakan bukan kesepian maupun ketakutan akan hal yang mungkin ia hadapi di menara suar. Tetapi kerinduan pada keluarga di rumah.
“Anak saya tiga, yang paling tua mungkin seumuran Mas-nya. Sudah lulus kuliah kan, Mas? Anak saya lulus tahun lalu,” katanya bungah. Saya pun tersenyum seraya menjawab, “Doakan tahun ini, Pak.”
Reporter: Hammam Izzudin
Editor: Purnawan Setyo Adi