Setiap kerupuk kaleng yang kamu temui di warmindo, warung makan, atau toko kelontong telah melewati perjalanan panjang. Para pemilik usaha kerupuk harus berhitung cermat untuk menjual puluhan ribu kerupuk hasil produksi mereka. Di sisi lain, mereka juga tidak bisa menaikan harga kerupuk dengan mudah karena makanan ini identik dengan harga murah.
Di Yogyakarta saat ini ada lebih 50 pabrik kerupuk kaleng, baik itu skala kecil maupun besar. Sebagian kecil menjadi pionir ketika bisnis kerupuk mulai muncul di Yogyakarta pada tahun 1930-an. Kisahnya bisa dibaca di liputan sebelumnya, Kisah Kerupuk Kaleng Sunda Menguasai Lidah Orang Jogja Sejak 1930-an.
***
Sebuah mobil MPV berwarna putih berhenti di luar pagar Pabrik Kerupuk Subur. Seorang lelaki kisaran umur 40 tahun keluar. Seperti warna mobilnya, ia juga menggunakan kaos polo berwarna putih polos.
Ia memasuki area pabrik sambil mengecek ponselnya dengan teliti. Sejurus kemudian ia bertanya pada orang-orang yang sedang duduk di dalam.
“Ini, benar pabrik Subur ya?” tanyanya.
Tiga pekerja yang sedang merapikan kerupuk yang usai dijemur di halaman menganggukkan kepala dan berujar ‘betul’ secara singkat. Lelaki itu lantas berjalan perlahan sambil terdengar bergumam.
“Wah, tak cari-cari ketemu juga,” ujarnya, terdengar lirih.
Aulia Hamzah (40), sang pengelola pabrik yang sedang duduk di ambang pintu ruang produksi bersama saya lantas menanyakan tujuan kedatangan lelaki itu. Ternyata, ia hendak membeli kerupuk.
“Pak, beli sekalian kalengnya, boleh?” tanya sang lelaki.
“Boleh Pak, silahkan ke belakang saja,” jawab pemilik pabrik yang akrab disapa Mas Uli ini.
“Sekarang, kok, jarang sekali ya kerupuknya di sekitar Kalasan [Daerah di Sleman]? Saya cari-cari di warung nggak ada terus,” keluh sang pembeli.
Uli lalu menjawab bahwa sekarang sales yang biasa mengedarkan kerupuk Subur di area itu sudah ganti. Tidak serajin sales yang dulu dalam berjualan. Sehingga barangkali area cakupannya tidak sampai sekitar rumah sang pembeli.
Selain itu, Uli mengaku sedang kewalahan lantaran di area Kalasan, ia bersaing dengan produsen dari Klaten yang membanting harga jualnya. Alhasil, di kawasan itu kerupuknya sudah jarang ditemui beberapa waktu ini.
Rabu (7/9) siang selepas zuhur, saya sengaja berkunjung ke pabrik kerupuk kaleng Subur yang cukup tersohor di Jogja. Bertemu dengan Uli dan bicara banyak mengenai proses produksi hingga sejarah usaha yang diawali bapaknya yang bernama Haji Solihin. Mereka merupakan keluarga pendatang dari Ciamis.
Haji Solihin sudah merintis bisnis kerupuk Subur di Jogja sejak 1965. Tak heran jika banyak lidah yang sudah cocok dan merasa kurang jika tak ada sajian pelengkap makan ini di piringnya. Seperti yang dirasakan lelaki tadi, sehingga rela jauh-jauh ke sini demi memborong sekaleng yang isinya sekitar lima puluh biji.
Kerupuk yang biasa ada di warung makan, toko kelontong, warmindo, hingga pedagang sayur keliling bermula di pabrik-pabrik seperti yang Uli kelola. Di Yogyakarta saja, Uli menaksir ada sekitar 50-an lebih pabrik serupa. Sebagian ada yang benar-benar mengolah dari awal, namun ada juga yang membeli kerupuk mentah lalu menggoreng dan melabeli sendiri.
Proses pembuatan kerupuk berawal dari tepung tapioka yang dicampur bawang putih dan beragam bumbu lain. Lantas pembuatnya akan menjadikan adonan, kemudian mencetak dengan mesin, setelahnya mengukus, menjemur di bawah terik matahari. Setelahnya memanggang, hingga akhirnya menggorengnya menjadi kerupuk yang mengembang, renyah dalam setiap gigitan.
Proses yang panjang dan butuh kesabaran. Rata-rata pabrik-pabrik ini mulai beroperasi pagi hari, usai subuh dan berhenti siang menjelang sore. Sekitar pukul 14.00 hingga 15.00.
“Apalagi zaman masih manual dulu, pegawai produksinya bisa sampai lima puluh orang,” kata Uli. Kini, berkat keberadaan mesin-mesin pegawai produksinya bisa dipangkas jadi sepuluhan orang saja.
Sebelum ke Subur, saya juga sempat berkunjung ke pabrik kerupuk Harapan milik Mastur (63). Tak seperti keluarga Subur yang berasal dari Ciamis, Mastur merupakan orang Tasikmalaya.
Ia sudah ikut kakaknya berbisnis kerupuk kaleng di Jogja dengan merek Sala sejak 1983. Hingga akhirnya membangun pabriknya sendiri yang dinamai Harapan di tahun 2005.
Seperti kata Uli sebelumnya, mesin memang sangat membantu proses produksi di pabrik. Di tempat Mastur, kini karyawan produksi hanya delapan orang. Dulu saat belum menggunakan mesin, jumlahnya bisa berkali lipat.
“Tapi satu mesin cetak yang besar itu seharga Avanza. Lumayan juga,” katanya tertawa.
Mesin seharga Avanza itu membuat pabriknya bisa memproduksi sekitar 30 ribu biji kerupuk setiap harinya. Kadang warna putih dan kadang warna oranye. Tergantung permintaan pasar.
Sales jadi kunci penjualan
Namun, selain urusan produksi di pabrik, hal yang menentukan adalah bagaimana sales menjual produk tersebut ke pasar. Menuju warmindo hingga warung sate dan soto langganan para penikmat kuliner.
Kini pabrik-pabrik yang dulunya mengandalkan distribusi lewat kaleng-kaleng di rumah makan, kebanyakan lebih mengandalkan kemasan plastikan. Lebih efisien dan mudah untuk melemparnya ke pasar.
Secara jumlah produksi, Subur lebih besar ketimbang Harapan. Jumlah produksinya nyaris dua kali lipat lebih banyak setiap hari. Maka urusan menjual, para sales harus pintar-pintar cari jalan. Subur sendiri punya sales yang jumlahnya 27 orang. Namun, jumlah itu fluktuatif.
“Masalahnya, sekarang ini pemain kerupuk sudah banyak sekali,” ujar Uli.
“Misal di warung sudah ada dua merek yang mereka jual. Nggak mungkin kita masukin,” katanya.
Ditambah lagi, performa masing-masing sales berbeda. Sehingga tak mudah untuk memastikan jangkauan yang mereka raih di pasar.
Seperti yang pelanggan tadi di awal yang mengeluh, ada daerah yang dulunya banyak mendapat pasokan kerupuk Subur, tetapi kini sudah tidak lagi.
“Masalahnya, kadang sales sudah tua lalu yang meneruskan anaknya. Tapi anaknya tidak serajin bapaknya,” keluh Uli.
Mastur juga punya pendapat serupa. Sales jadi kunci agar kerupuk yang ia produksi dapat berputar setiap harinya. Buatnya, mencari sales juga tidak mudah. Terutama saat awal-awal ia membuka pabrik sendiri.
“Saya perlu empat tahun agar stabil dan menemukan pasar. Susahnya di awal itu ya termasuk mencari sales,” ujar Mastur.
“Dulu saat awal buka saya ikut jualan ke pelanggan. Bahkan mikul kerupuk dari sini sampai Krapyak bahkan Malioboro,” sambungnya. Di Google Maps, jarak pabrik Harapan dengan Malioboro sekitar delapan kilometer.
Sales terbaik yang bermitra dengan Harapan bisa membawa delapan ribu kerupuk sekali jalan. Setiap pekan, bisa mengambil tiga kali. Sehingga lebih dari dua puluh ribu kerupuk bisa terjual lewat satu sales andalan setiap pekannya.
Untuk menjual 30 ribu kerupuk hasil produksinya ke pasar, sales hanya bisa mengambil sekitar 14 ribu kerupuk setiap harinya. Sisanya, Mastur dibantu anak pertamanya, Zainal Muttaqin (34) yang kini tinggal di Klaten.
“Nah dia bantu memasarkan di Klaten, Boyolali, dan Solo. Dia hanya goreng dan mengemas, kerupuk mentahnya dari sini,” ujarnya.
Kerupuk Harapan hanya memproduksi dua jenis ukuran kerupuk. Pertama yang harga jualnya Rp500 dan kedua yang Rp1.000.
“Kalau yang Rp500 itu dari pabrik 300, sales 100, nah nanti warung menjual lagi 500. Kalau yang Rp1.000 dari kami 600, sales ambil 200, harga di pasar 1.000-an,” jelas ayah tiga anak ini.
Makanan murah yang dulu jadi simbol keprihatinan
Zainal Muttaqin atau yang akrab disapa Taqin, juga menjelaskan pada saya tantangan berdagang kerupuk. Baginya, kerupuk bulat ini memang identik sebagai makanan murah. Sehingga untuk menaikkan harganya sulit sekali.
“Padahal bahan baku itu naik terus. Tepung tapioka naik, minyak sempat naik. Sekarang BBM naik lagi pasti bakalan banyak berdampak,” ujar Taqin.
Hal itu jadi tantangan tersendiri bagi para penggelut bisnis ini. Masyarakat Indonesia sangat menggemari kerupuk . Bagi banyak orang, sajian makan tak lengkap tanpa kerupuk. Namun, di sisi lain, kerupuk berbahan dasar tapioka atau aci ini juga lekat dengan anggapan makanan yang murah.
Ahli Gastronomi dari UNY, Dr Minta Harsana menjelaskan bahwa kerupuk merupakan makanan ringan yang masyarakat begitu menggemarinya. Umumnya cara membuatnya dari adonan tepung tapioka dicampur bahan perasa seperti udang atau ikan.
Ia menambahkan bahwa Prasasti Batu Pura menuliskan tentang kerupuk rambak terbuat dari kulit kerbau atau sapi, semenjak abad ke-9 M atau ke-10 M di Pulau Jawa. Seiring berkembangnya waktu, kerupuk menyebar ke penjuru Nusantara bahkan sampai ke Semenanjung Melayu.
“Zaman penjajahan Belanda, orang menggemari kerupuk. Sehingga barang ini hampir harus selalu ada di setiap hidangan Nusantara,” ujarnya saat kepada Mojok.
Terkait kerupuk aci yang melekat dengan makanan murah meriah, pakar kuliner dari Universitas Padjajaran, Fadly Rahman menjelaskan bahwa tren itu sudah muncul sejak abad 19 di Jawa. Bahan pokok pembuatan kerupuk yakni singkong jumlahnya berlebih di Jawa khususnya pada abad ke-19.
Pada masa itu, ia memperkirakan kerupuk aci atau singkong ini mulai muncul di Jawa. Masa krisis akibat kekurangan pangan saat masa perang juga membuat banyak masyarakat Jawa bertahan hidup dengan makan dengan lauk kerupuk.
“Kalau sekarang makan kerupuk adalah hal yang biasa, tapi di balik itu kerupuk menjadi simbol keprihatinan,” ujar penulis buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makananan Indonesia ini, dilansir dari Kompas.com.
Namun, di balik cerita masa lampau bahwa kerupuk jadi makanan prihatin, barang ini telah menemani banyak keluarga sampai berhasil. Saksi perjuangan para perantau dari Ciamis dan Tasikmalaya yang sejak lama menjadi produsen kerupuk di berbagai kota di pulau Jawa.
Selepas menuntaskan kunjungan liputan ke beberapa pabrik kerupuk di Jogja, perut terasa lapar. Saya putuskan mampir ke sebuah warmindo di Banguntapan, Bantul. Memakan nasi telur, salah satu menu paling merakyat di warung makan andalan mahasiswa ini.
Di sudut ruang, saya melihat tiga kaleng kerupuk yang isinya tingga separuh. Ada Sala, Sabar, dan Nining. Semuanya punya kekerabatan dengan dua pabrik yang saya kunjungi tadi.
Orang yang merintis kerupuk Sala adalah orang Tasikmalaya yang merupakan kakak kandung Mastur. Sedangkan Nining dan Sabar punya perantau dari Ciamis yang juga kerabat Uli. Di setiap kaleng kerupuk yang tersaji di warmindo, ada keringat dan kisah perjuangan perantau Ciamis dan Tasikmalaya.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono