Kenangan Terindah di Pasar Malam yang Tak Akan Mati karena Manusia Butuh Sentuhan

Ilustrasi Kenangan Terindah di Pasar Malam yang Tak Akan Mati karena Manusia Butuh Sentuhan. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Pasar malam tidak akan mati oleh hiburan digital yang memberikan tawaran rekreasi tak terbatas. Para pengelola percaya, sebagai manusia, orang-orang masih bentuh sentuhan

***

Bianglala itu terus berputar meski belum ada yang menumpangi. Setelah pukul tujuh malam, sebuah pasar malam di Sirkuit Gunung Anyar Turi, Sleman mulai menggeliat. Gerimis yang tadi turun mulai reda, membuka jalan bagi mereka yang hendak menikmati suasana tempat hiburan malam ini. Sebelum keesokan hari, semuanya akan dibongkar.

Melihat wahana berputar dengan warna-warni lampu yang berpijar itu kenangan merekah di kepala. Bianglala adalah barang yang tak terpisahkan dengan pasar malam. Di sangkar-sangkar yang berputar tinggi di udara itu, banyak kenangan yang tertinggal. Termasuk kenangan yang sampai saat ini sulit saya lupakan.

Suatu malam di tahun 2018, dalam perjalanan pulang ke Jogja dari arah Solo, saya bersama sejumlah rekan berhenti saat melihat sebuah keramaian. Pasar malam yang digelar di sebuah lapangan pinggir jalan raya tak jauh dari Candi Prambanan menyita perhatian kami.

Kenangan bersama dia di pasar malam

Kami memasuki area hiburan itu dengan antusias. Rasa lelah yang kami rasakan setelah beraktivitas seharian seakan langsung hilang seketika saat melihat gemerlap wahana yang ada. Bianglala menarik perhatian saya. Namun, tak seorang diri, salah satu perempuan yang ikut perjalanan ini juga ingin menaikinya.

Perempuan itu merupakan teman saya yang terbilang akrab. Ia menarik, berkulit hitam manis, suka bercakap, dan periang. Di balik pertemanan ini, saya sempat menyimpan sebuah perasaan suka. Namun, tak pernah saya ungkapkan karena berbagai alasan. Salah satu alasannya, ia sering bercerita kalau punya lelaki dambaan. 

Sosok lelaki yang secara perangai maupun penampilan jauh berbeda dengan saya. Singkat kesimpulan, saya bukanlah tipe lelaki yang ia inginkan. Berkawan adalah satu-satunya cara menjaga ikatan baik di antara kami.

Di antara lima orang rombongan, tidak ada yang ingin menaiki bianglala kecuali kami berdua. Saya berusaha setenang mungkin. Padahal rasanya, sungguh perpaduan antara senang dan canggung yang saling berkelindan.

Bianglala di pasar malam yang berlangsung di Turi Sleman MOJOK.CO
Bianglala di pasar malam yang berlangsung di Turi Sleman. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Akhirnya kami berdua pun menaiki bianglala itu. Ukurang sangkar bianglala yang terbatas, membuat kami saling berhadapan sekaligus berdesakan. Dua lutut kami saling bersentuhan. Serrr

Sepanjang bianglala berputar, sekitar tiga sampai lima putaran, kami tak banyak bercakap. Masing-masing di antara kami melihat ke sekitar dari ketinggian. Sesekali mata kami saling menatap, tapi suasana canggung saya cairkan dengan tawa seolah menikmati suasana.

Empat tahun setelahnya, kami sempat berbincang. Dengan nada bercanda, saya menanyakan, “Kamu ingat nggak, kita pernah naik bianglala bareng?”

Untuk beberapa detik, suaranya tiba-tiba tidak terdengar di sambungan telepon. Ia ternyata lupa dengan momen itu. Padahal, sampai malam di Turi saat saya melihat bianglala berputar tanpa ada yang menumpangi, bayangan kami berdua, seakan mengisi salah satu sangkarnya.

Wahana penuh nostalgia

Melihat bianglala yang masih sepi, saya beranjak ke sisi lain. Sebuah wahana sudah heboh dengan teriakan para pengunjung. Wahana itu adalah kapal besar yang bergoyang maju dan mundur, lebih populer dengan sebutan kora-kora.

Suara sirine kencang, layaknya klakson panjang, sesekali diperdengarkan operator kora-kora. Menambah heboh orang-orang yang sedang menaikinya. Di sekitar, para pengunjung berkerumun menyaksikan. Menonton wahana ini, terutama penumpang yang berteriak-teriak ternyata menarik juga.

Gerakan kapal itu perlahan menjadi pelan lalu berhenti. Terhuyung, para penunggangnya berjalan turun. Di antara belasan penumpang ada tiga perempuan yang riang dan penuh tawa. Seakan begitu puas setelah menaiki kora-kora.

“Kora-kora emang yang paling kami nantikan kalau ada pasar malam,” kata Larasati (23) setelah beranjak dari wahana. Dua temannya yang lain bernama Nurul dan Listia. Mereka merupakan teman sebaya dari kecil. Sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak.

Setiap ada pasar malam dihelat di Turi hampir pasti mereka mengunjunginya bersama. Dulu gelaran semacam ini ada di Lapangan Turi, namun belakangan beralih ke lahan lapang di Sirkuit Gunung Anyar Turi.

Kora-kora, wahana yang paling banyak diincar pengunjung. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

 “Momen paling lucu di kora-kora itu kalau ada salah satu dari kita yang nggak kuat. Bahkan dulu mutah-mutah setelah turun. Kami tertawakan biasanya,” timpal Nurul.

Nurul ingat betul, ia pertama kali datang ke pasar malam bersama ayahnya. Menonton pertunjukan tong setan. Sembari menyawer joki motor yang berputar di lingkaran dengan kemiringan nyaris sembilan puluh derajat. 

Selain menikmati di dekat rumah, dulu mereka juga tak pernah absen di Pasar Malam Perayaan Sekaten di Alun-alun Utara Yogyakarta. Membelah jalanan dari utara Jogja demi mendatangi momen tahunan itu. Sayang, sejak 2019, acara di Alun-alun Utara ini sudah nggak ada.

Para pedagang yang menempel pada pasar malam

Saya tidak bisa berlama-lama berbincang dengan mereka. Tampaknya perut mereka sudah lapar dan ingin segera diisi dengan ragam rupa jajanan yang ada di sekitar pasar malam. Ada 20-30 lapak penjual makanan dan minuman pada gelaran pasar malam kali ini.

Senyum tampak di wajah para penjual. Dagangannya laris manis. Hajatan semacam ini memang jadi incaran banyak pedagang. Di Facebook, setiap ada info rencana pasar malam, banyak orang yang akan menanyakan kontak pengelola yang menyewakan lapak.

Salah satunya Edi Setiawan (51). Lelaki asal Godean, Sleman ini saat pasar malam di Turi berjualan minuman ragam varian thai tea dengan toping boba. Berjualan minuman semacam ini sudah dilakoninya sejak tujuh tahun lalu. Barang yang dijual menyesuaikan tren yang sedang laku.

“Tapi kalau total, saya sudah ngikut pasar malam seperti ini sekitar lima belas tahun,” paparnya sambil meracik minuman untuk pelanggan.

Ia selalu mengikuti ke mana pasar malam di Jogja digelar. Kalau untuk ke luar Jogja, ia mempertimbangkan ongkos perjalanan sehingga tak pernah ikut. Hampir setiap bulan, menurutnya ada acara serupa di Jogja. Di Turi saja, Desember 2022 lalu ada acara serupa. Sebulan setelahnya sudah digelar acara semacam itu lagi.

Pada acara kali ini, ia menyewa lapak seluas 2×2 meter dengan harga Rp350 ribu. Tenda dan piranti berjualannya ia bawa sendiri. Durasi sewa sekitar 10-15 hari menyesuaikan lama hiburan dihelat di tempat itu.

Pasar malam buatnya sudah jadi magnet tersendiri. Hampir pasti ia mendapat untung yang lumayan. “Asal tidak hujan,” terangnya.

Hujan memang jadi momok pada acara semacam ini. Hari-hari awal di hiburan di Turi sempat terus menerus terguyur hujan. Namun, jelang selesai, cuaca malam di Turi cukup bersahabat, sehingga pedagang bisa meraup keuntungan.

“Umumnya kalau cuaca bagus ya laris. Apalagi kalau pasar malamnya kerja sama dengan pemuda kampung, nanti akan ada acara seperti jathilan dan semacamnya yang menambah semarak,” papar wawan.

Pengelolaan pasar malam

Pasar malam biasanya dikelola oleh unit usaha pemilik wahana permainan. Setia Kelana Jaya (SKJ), usaha pemilik wahana dari Kulon Progo kebetulan merupakan pengelola pasar malam di Turi kali ini. Sudah sejak 1997 SKJ malang melintang mengisi lapangan-lapangan di daerah Jogja dan sekitarnya dengan wahana permainannya.

Setyawati (52), pemilik SKJ, mengungkapkan bahwa ada beberapa macam sistem pengelolaan pasar malam. Terkadang ia sendiri yang mengurus seluruh pelaksanaannya. Namun, sesekali ia juga mendapat panggilan dari event organizer untuk mengisi acara dengan wahana yang ia miliki.

Pedagang selalu meramaikan setiap ada pasar malam. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

“Kalau yang di Turi ini kami full yang urus, kami beli izin Rp12 juta untuk durasi dua puluh hari,” paparnya. Wati, sapaan akrabnya, sedang mengawasi jalannya pasar malam sambil duduk santai di salah satu lapak jualan.

Jika tidak bekerja sama dengan event organizer, Wati akan mengurus penyewaan lapak kepada pedagang sendiri. Hal ini menjadi tambahan pemasukan yang jadi andalan penyelenggara. Namun, ketika bekerja sama dengan pihak lain, maka biasanya sewa menyewa lapak berada di luar urusan pemilik wahana.

“Ini besok kami sudah disewa untuk mengisi wahana pasar malam di Lapangan Denggung, Sleman,” ujar Wati sambil menunjukkan kuitansi pembayaran uang muka sebesar Rp30 juta. Ada pihak yang mengajak SKJ kerja sama dengan kontrak Rp40 juta dengan durasi lima belas hari untuk pasar malam di tempat tersebut awal Februari ini.

Saat ini, SKJ juga tengah menggelar pasar malam di Salaman, Magelang. Menurut Wati, di Salaman sejauh ini lebih ramai lantaran lokasinya yang lebih strategis. Ada sekitar 30 wahana kepunyaan SKJ yang bisa beroperasi untuk menyelenggarakan dua pasar malam secara bersamaan.

Wahana besar yang miliknya antara lain bianglala, kora-kora, ombak banyu, rumah balon, trampoline, hingga kuda-kudaan. Dua wahana yang paling menjadi magnet pengunjung yakni kora-kora dan bianglala. Selain jadi pundi pemasukan, kedua wahana ini memang tergolong yang paling mahal harganya.

“Kora-kora itu paling baru saya beli, harganya Rp140 juta. Kalau bianglala itu sekitar Rp120 jutaan,” paparnya.

Cuaca jadi tantangan terbesar

Untuk setiap gelaran, SKJ biasanya membawa kru sebanyak lima belas orang. Bahkan bisa lebih ketika acaranya ramai. Sebab menurut Wati, pembayaran para kru juga sesuai dengan pemasukan pengelola.

Jika menjadi pemain tunggal tanpa bekerja sama dengan pihak lain, ada banyak biaya operasional yang keluar setiap gelaran pasar malam. Mulai dari biaya izin, pembiayaan kru, bongkar muat, genset, hingga solar. 

“Di Turi ini kalau dihitung, biaya izin Rp12 juta, truk untuk bongkar muat ada enam masing-masing RP600 ribu, sewa genset, diesel, dan untuk anak-anak (kru). Kalau pas bongkar muat, biaya untuk kru sampai Rp4 juta karena memang capek sekali,” curhatnya.

Namun, jelang hari terakhir, menurut Wati pemasukan yang ia dapat belum cukup untuk menutup seluruh biaya operasional. Hujan yang sempat terus turun membuat pasar malam sepi bahkan nyaris tanpa pengunjung sama sekali.

Selain hujan yang memang jadi momok bagi para penyelenggara pasar malam, selain itu faktor lokasi juga jadi penentu. Di Turi ini baru sebulan lalu ada acara serupa, sehingga animo masyarakat kali ini sudah tidak seramai sebelumnya.

Asal tidak hujan, pasar malam akan selalu ramai pengunjung. MOJOK.CO

Jika cuaca baik dan lokasi strategis, menurut Wati pasar malam hampir pasti ramai. Ia tidak melihat adanya perubahan tren orang untuk menikmati suasana dan wahana di acara serupa. Merugi sesekali sudah biasanya, “Tapi secara umum, masih banyak yang untung di lain tempat,” terangnya.

Momen yang cukup menghentak bisnis pasar malam terjadi saat pandemi. Hampir dua tahun, wahana-wahana ini tidak bisa beroperasi. Wati bahkan mengaku sempat menjual beberapa wahananya untuk bertahan.

“Tapi alhamdulillah, ya mulai tahun kemarin sudah bangkit lagi. Bisa beli lagi wahana yang sebelumnya kami jual,” ujarnya dengan senyum.

Siasat pasar malam terus bertahan

SKJ hanyalah satu dari sekian banyak pemain pasar malam lain di DIY-Jateng. Ada nama-nama populer seperti Aneka Ria hingga Berkah Ria 08. Nama yang terakhir merupakan salah satu pemain terlama sekaligus terbesar di wilayah DIY-Jateng.

Manajer pemasaran Berkah Ria 08, Ovick Raharja mengungkapkan bahwa kunci pasar malam bertahan adalah inovasi dalam mengurus wahana. Tapi sebelum inovasi yang menunjang kenyamanan dan pengalaman menyenangkan pengunjung, paling utama harus fokus pada keamanan.

“Maka di tempat kami, perawatan wahana itu hampir setiap sebulan sekali. Setelah beroperasi langsung perawatan,” paparnya.

Menariknya, Berkah Ria 08 juga memproduksi wahana-wahananya sendiri. Proses perakitan tersebut berlangsung di markasnya yang terletak di Ceper, Klaten. Hampir semua wahana yang berbahan besi buat sendiri. Hal itu memudahkan mereka untuk melakukan kontrol kualitas dan perawatan peralatan.

“Perawatan rutin itu hasilnya tampak di wahana yang terlihat baru dan bersih,” jelasnya kepada Mojok saat menghubungi, Selasa (31/1).

Inovasi juga dengan penataan tempat, kebersihan, hingga permainan lampu yang menarik bagi pengunjung. Ovick mengatakan bahwa pasar utama pasar malam saat ini adalah anak muda. Sedangkan anak muda saat ini tidak hanya mencari pengalaman semata.

“Sekarang anak muda tidak sekadar cari senang, tapi juga cari tempat yang menarik untuk dibuat konten. Jadi pasar malam sekarang harus berbenah lebih rapi dan menarik secara penataan,” ujarnya.

Senada dengan penjelasan Wati pemilik SKJ, Ovick juga melihat bahwa pangsa pasar malam masih terbuka. Kendati banyak disrupsi di dunia hiburan, masih banyak orang yang mencari pengalaman langsung. Terutama bagi kalangan anak muda.

Permainan ketangkasan selalu meramaikan setiap digelar pasar. Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Ovick menggambarkan, anak muda sekarang yang gemar bermain gim online pun masih perlu merasakan kesenangan dan keseruan dengan sentuhan fisik langsung. Hal itu membuatnya optimis, pasar malam masih punya nafas panjang.

“Kecuali saat pandemi kemarin. Memang semua pemain pasar malam terpuruk. Kami tidak bisa bergerak juga,” keluhnya.

Selama ada listrik, pasar malam akan terus ada

Berkah Ria 08 merupakan usaha turun temurun yang sudah bertahan sekitar enam puluh tahun. Pada momen bersamaan mereka bisa menyelenggarakan pasar malam di empat titik sekaligus. Bahkan sekarang cakupannya telah menjangkau beberapa daerah di Jawa Timur.

Selain lewat pasar malam temporer yang berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, mereka juga bekerja sama dengan tempat hiburan dalam jangka panjang. Tak mengherankan jika Anda bisa melihat wahana milik Berkah Ria 08 berada di destinasi wisata seperti Pasar Seni Gabusan di Bantul dan Munggur Park di Klaten.

“Intinya kami coba untuk menjadi pasar malam yang tampil bersih dan modern. Kolaborasi juga jadi penting. Kami misalnya, berkolaborasi dengan acara seperti Bantul Expo, Sleman Fair, dan banyak lainnya,” jelasnya.

Pasar malam di Indonesia telah melewati perjalanan panjang. Keberadaannya disebut sudah marak sebelum kemerdekaan. Pasar malam hadir seiring distribusi listrik yang mulai dirasakan di berbagai daerah. 

Sejarawan Universitas Sanata Dharma, Heri Priyatmiko, mengungkapkan bahwa listrik memicu terciptanya titik-titik hiburan di pusat perkotaan. Hiburan yang memancing keramaian dan berkumpulnya massa.

“Perlahan, pasar malam jadi budaya orang kota. Tapi, dampaknya enggak ke mereka saja. Oleh orang-orang pinggiran kota, pasar malam lalu jadi peluang untuk meningkatkan taraf perekonomian. Mereka datang untuk berjualan barang sampai makanan ringan,” ujar Heri dilansir dari Vice.

Pasar malam berkembang lalu terus bertahan. Mencakup kawasan yang lebih luas, sampai ke titik-titik perdesaan. Wahananya bukan jadi sekadar hiburan, juga jadi tempat kenangan indah bersemai. Setiap melihat sorot lampu jarak jauh penanda keberadaannya, kadang ada perasaan untuk mendekat dan merasakan kembali suasananya.

Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Pasar Malam di Kawasan Sumbu Filosofi, Pemkot Jogja Sebut Tak Berizin dan reportase menarik lainnya di rubrik Liputan. 

Exit mobile version