Dari Sungai ke Pantai: Tinggi Sampah di Yogya Melebihi Candi Prambanan

sampah di pantai

Pantai yang dipenuhi sampah. (Ilustrasi Ega Fansuri/Mojok.co)

Tahun 2020, jumlah sampah di Yogya yang terbawa arus sungai kemudian hanyut di laut mencapai 79,4 juta kilogram. Jika sampah-sampah itu dibuat gunungan, kira-kira tingginya mencapai 64 meter, lebih tinggi dari Candi Prambanan yang tingginya 47 meter. 

Itu baru di wilayah DIY, belum di pantai-pantai lainnya di Indonesia. Bisa jadi, kalau masih hidup, Presiden Sukarno akan marah-marah melihat fakta ini. Pasalnya, pada tahun 1964 ia menetapkan tanggal 23 September sebagai Hari Maritim Nasional. Tujuannya agar orang-orang di Indonesia sadar akan potensi yang dimiliki Indonesia sebagai negara bahari.

Bayangkan, ada lebih dari 16 ribu pulau dengan garis pantai sepanjang 54.716 km. Betapa sedihnya dia jika sebagian pantai-pantai dan laut di Indonesia, justru banyak yang menganggap sebagai tempat sampah maha luas. 

***

Nugroho (51) atau akrab dipanggil Balung, terlihat mengangkat dan menarik seutas tambang yang tergeletak di Pantai Pelangi, Bantul, awal Juli lalu. Ia menyeretnya, meninggalkan jejak di pasir, jaring sisa nelayan menjala ikan, dan sampah wisatawan. 

“Nanti mau dipakai buat ngiket papan boncengan di belakang ATV,” sambung Balung sambil menyeret tali itu. Tali panjang itu adalah salah satu sampah yang ia temukan di pantai pagi itu.

Balung mengatakan, menurut pandangannya, pantai ibarat super mal sampah yang menyediakan jutaan rongsok dengan berbagai varian warna, ukuran, dan bahan. Mulai dari plastik segala jenis, batok kelapa, kaca, papan kayu, sepatu, aneka perabot, hingga popok bayi ada semua. 

Stok sampah-sampah ini secara berkala disuplai ulang, khususnya setiap musim penghujan yang membuat angin berhembus kencang dan gerak ombak menjadi kuat. Ombak akan mendamparkan apa saja yang dibawanya, tidak terkecuali sampah yang hanyut di lautan.

Karena Indonesia dilanda La Niña pada awal tahun 2022, masih saja ada hujan di bulan Juni, bahkan menyelinap di bulan Agustus dan September. Curah hujan yang tinggi membuat stok sampah di sepanjang pesisir jadi melimpah. Kalau ada orang yang ambisius, saya yakin dia bisa membangun sebuah rumah dari benda-benda yang terdampar di tepi pantai.

Kondisi sampah di Pantai Pelangi. (Finlan Adhitya Aldan/Mojok.co)

Proses suplai sampah tidak pandang bulu. Setiap jengkal garis pantai dapat jatah, bahkan pada pantai-pantai yang tidak ramai pengunjung. Pantai Pelangi di Bantul adalah salah satu contohnya.

Berbeda dengan pantai lain, Pantai Pelangi tidak padat pengunjung sebab pantai ini merupakan kawasan konservasi untuk tempat bertelurnya penyu. Kegiatan pariwisata dibatasi di sini. Namun, sampah di sepanjang Pantai Pelangi tidak kalah banyak dengan pantai-pantai destinasi wisata seperti Pantai Parangtritis.

“Sampah itu datang banyaknya dari sungai. Kalau hujan ya dia dibalikin lagi ke pantai,” ujar Balung.

Kalau mayoritas sampah datangnya dari sungai, tidak aneh ketika Pantai Pelangi yang sepi pengunjung tetap ramai dengan sisa sampah-sampah plastik. Kondisi ini didukung pula dengan lokasinya yang dekat dengan muara Sungai Opak. Jarak keduanya dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor dalam lima menit.

Namun, mengapa sampah yang terbawa sungai bisa membuat pesisir jadi begitu kotor? Memang berapa banyak sampah dari daratan yang bisa sampai ke laut dan terdampar ke pantai?

Bagaimana sampah-sampah bergerak

Tahun 2021 lalu, Bank Dunia membuat laporan tentang jumlah sampah Indonesia yang berpotensi hanyut ke laut per tahunnya. Saya mereproduksi ulang metode mereka untuk melihat jumlah sampah khusus untuk DIY dengan mempertimbangkan timbulan sampah yang dihasilkan oleh kelima kabupaten/kota di provinsi ini, yaitu Bantul, Gunungkidul, Kulon Progo, Sleman, dan Kota Yogyakarta.

Alur metodenya cukup panjang, tapi singkatnya seperti ini.

Seluruh sampah yang dihasilkan suatu tempat (kita sebut sebagai timbulan sampah) bisa dipisah menjadi dua, yaitu yang tidak terkelola dan yang terkelola.

Sampah yang tidak terkelola bisa dibagi empat. Ada yang dibakar, dikubur, dibuang sembarangan, dan dibuang ke sungai. Dari keempat jenis ini, dua berpotensi hanyut ke laut, yaitu sampah yang dibuang sembarangan dan yang dibuang ke sungai. Sampah yang dikubur dan dibakar dianggap tidak dapat hanyut ke laut.

Bersih-bersih sampah di Pantai Pelangi, Bantul. (Finlan Adhitya/Mojok.co)

Di lain sisi, sampah yang terkelola akan didaur ulang atau ditimbun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Tapi, proses ini tidak sempurna. Tetap ada sebagian sampah yang hilang selama proses pengelolaan, misalnya sampah yang tertinggal di tempat pembuangan sementara (TPS), yang tumpah saat diangkut truk, sampai yang terbawa angin. Mereka juga dianggap dapat hanyut ke laut.

Dari sini, kita dapat memprediksi total sampah yang dapat hanyut ke laut dengan rumus matematika mudah. Sampah yang dapat hanyut ke laut = sampah yang dibuang sembarangan + sampah yang dibuang ke sungai + sampah yang hilang selama proses pengelolaan.

Pergerakan sampah di atas bisa kita buat sebagai grafik. Di bawah adalah grafik pergerakan sampah untuk setiap kabupaten/kota di DIY. Saya menggunakan data tahun 2020 dari situs Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SISPN) milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai data terbaru yang paling lengkap.

Melihat bentuknya yang seperti bunga, mari kita sebut grafik ini sebagai Bunga Sampah.

Grafis bunga sampah.

Setiap kelopak Bunga Sampah mewakili satu kabupaten/kota. Besar kelopak mewakili seberapa banyak timbulan sampah di masing-masing tempat pada tahun 2020.

Tidak mengejutkan kalau Kabupaten Sleman menjadi penyuplai sampah terbesar karena wilayahnya yang luas dan penduduknya yang relatif padat. Tidak mengejutkan juga kalau Kabupaten Kulon Progo yang masih lebat oleh gunung, hutan, dan curug merupakan penghasil sampah terkecil di DIY.

Di bagian tengah Bunga Sampah terdapat lingkaran yang menunjukkan total sampah gabungan dari seluruh kabupaten/kota DIY yang dapat hanyut ke laut. Ternyata, kalau dibuat sebagai angka, setidaknya ada 79,4 juta kilogram sampah yang bisa masuk ke laut selatan DIY di tahun 2020.

Gambaran kalau sambah di DIY ditumpuk. Tingginya melebihi Candi Prambanan.

Kalau kita menumpuk 79,4 juta kilogram sampah di Yogya yang bisa masuk ke laut, maka akan membentuk kubah yang tingginya 64 meter. Lebih tinggi dari Tugu Jogja, bahkan lebih tinggi dari Candi Prambanan yang tingginya 46 meter. Luas kubah ini (1,24 hektare) bersaing dengan luas Gelanggang Olahraga Bung Karno (1,75 hektare) yang megah di ibu kota sana.

Ingat kembali, ini adalah tumpukan sampah dalam satu tahun saja.

Sungai besar pembawa sampah

Bunga Sampah di atas memperlihatkan bahwa tuduhan pantai kotor tidak bisa sepenuhnya kita jatuhkan pada wisatawan yang senang buang bungkus Chiki dan undur-undur krispi sembarangan. Sampah yang dibuang jauh di tengah kota juga berpotensi jadi sumber sampah pantai.

Laporan yang sama oleh World Bank menunjukkan bahwa hanya 17 % sampah pantai Indonesia yang berasal dari kegiatan pesisir. Sisanya merupakan berasal dari daratan lewat muara sungai-sungai besar.

Persentase milik DIY bisa jadi lebih tinggi dari 17 % karena pantainya yang jadi pusat destinasi wisata, tapi sampah dari sungai tetap jadi penyumbang signifikan.

Di DIY, kita mengenal tiga sungai utama: Serang, Opak, dan Progo. Untuk melihat kapasitas mereka, mari ambil contoh Sungai Progo yang mendapat julukan sebagai sungai terkotor ke-13 di Indonesia versi data Bank Dunia.

Di bawah adalah peta Daerah Aliran Sungai (DAS) Progo. Setiap garis biru mewakili sungai kecil yang bermuara ke Sungai Progo. Setiap sungai kecil punya potensi untuk membawa sampah.

Kabupaten dan kota yang dilalui oleh DAS Progo serta potensi sampah yang dapat hanyut ke laut dari masing-masing wilayah. (Sumber data: SISPN KLHK)

Hulu Sungai Progo merupakan gabungan dari jeram-jeram kecil yang turun dari Gunung Merapi, Sumbing, Sindoro, dan tinggian di sekitarnya. Sebelum masuk ke DIY, sungai ini harus melalui Kabupaten Temanggung dan Magelang terlebih dahulu. Di DIY, dia membelah Sleman, Bantul, dan Kulon Progo sampai akhirnya menemukan muara di antara Pantai Trisik dan Pandansimo.

Sungai akan membawa semua sampah dari daerah yang dilewatinya. Maka, sampah dari Temanggung dan Magelang juga dapat masuk ke dalam tubuh Sungai Progo dan hanyut di pantai selatan DIY.

Karena liku Sungai Progo yang sangat panjang, sampah yang sumbernya jauh bisa jadi tersangkut atau terdampar di tengah jalan sebelum berhasil menemui lautan. Maka, kemungkinan sampah dari Temanggung dan Magelang untuk bisa sampai ke pantai tentu lebih kecil ketimbang sampah yang langsung diproduksi di DIY.

Namun, total sampah dari Temanggung dan Magelang juga lebih tinggi. Gambar di atas menunjukkan kalau Temanggung dan Magelang punya jumlah sampah yang sepadan dengan Sleman, kabupaten dengan total sampah terbesar di DIY.

Ada satu hikmah yang bisa kita petik dari migrasi sampah yang panjang ini. Problematika persampahan duniawi tidak dibatasi oleh batas-batas administrasi. Bekas sikat gigi di Pantai Glagah bisa jadi datang dari Purworejo dan popok bayi di Pantai Parangtritis bisa jadi datang dari Klaten.

Sampah yang dibuang sembarangan oleh warga penghuni lereng Gunung Sumbing dan Sindoro di Jawa Tengah sana, bisa berakhir di pantai selatan DIY melalui bantuan Sungai Progo.

Maka, jangan kaget kalau satu hari kita menemukan sampah pantai yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kegiatan pesisir: alat suntik, gagang pintu, karung pupuk, sampai jaket beludru.

Lingkaran setan sampah

Untuk menangani sampah yang begitu banyak tentu butuh armada yang besar pula. Namun, hanya Mujito (55) yang sibuk merapikan timbunan bungkus plastik ketika saya berkunjung ke tempat pengumpulan sampah Parangkusumo, Jumat (26/8/2022).

Mujito bukan petugas kebersihan dari Dinas Pariwisata maupun Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK). Dia juga bukan seorang pengepul, bukan pula seorang pemulung. Satu-satunya yang menghubungkan hidup Mujito dengan timbunan sampah pantai adalah letak rumahnya yang tepat menghadap ke lokasi pembuangan sampah sementara.

Ketika angin laut sedang kencang-kencangnya, sampah yang dibiarkan terbuka sering menumpuk di halaman dan kebun warga. Rumah Mujito yang berada di baris terdepan jadi sasaran paling empuk bagi sampah-sampah yang terbang sembarangan.

“Kalau saya karena tinggal di sini jadi kadang pas gak ada kerjaan ikut kumpul-kumpulkan [sampah] biar gak berantakan, soalnya ini [sampah] jadi ke mana-mana kena angin,” ujar Mujito sembari menunjuk ke depan rumahnya, tempat sampah plastik biasa berserakan.

Terdapat dua lokasi pembuangan sampah di Pantai Parangkusumo. Yang pertama adalah TPS Parangkusumo, tempat sampah rumah tangga dan warung warga dikumpulkan.

Lokasi TPS Parangkusumo relatif terpisah dari pemukiman. Sampah ditampung dalam sebuah bangunan tertutup. Walaupun ada sebagian sampah yang lumer, tapi mereka tidak akan kabur beterbangan karena TPS ini dikelilingi dinding yang cukup tinggi.

Di samping TPS terdapat bangunan yang digunakan untuk proses pemilahan. Petugas kebersihan mengambil sampah plastik yang masih punya harga jual dan mengumpulkannya untuk didaur ulang.

Adhi Prastowo (35), petugas kebersihan sampah di TPS Parangkusumo

Lokasi kedua adalah bekas lahan parkir yang dipakai sebagai terminal transit bagi sampah yang diangkut dari pantai sebelum dibawa menuju TPA Piyungan, yang merupakan tempat pembuangan akhir sampah terbesar di Yogya. Lokasi ini tidak terdaftar sebagai fasilitas formal pengumpulan sampah. Warga sekedar menyebutnya sebagai “tempat relokasi”. Lokasi inilah yang berada di depan rumah Mujito.

Tidak seperti TPS Parangkusumo, di sini tidak terlihat satu pun bangunan penampung sampah. Bahkan, dinding pembatas pun tidak ada. Truk yang datang dapat membuang sampah di mana saja sesuka hati sang supir. Angin juga dapat dengan sesuka hati mengobrak-abriknya. Bukan hal yang aneh kalau sampah jadi mudah menumpuk di depan rumah warga.

Siang itu, sampah terlihat menghampar sangat luas. Namun, Mujito berkata kalau tumpukan itu masih jauh dari penuh sebab DLHK baru saja melakukan pengangkutan. Ditambah lagi, pantai sedang sepi wisatawan dan udara sedang terik-teriknya.

“Ini belum [penuh]. Nanti bisa sampai kaya gunung-gunung begitu. Apalagi waktu liburan sama hujan, kan bisa banjir itu. Wah itu [sampahnya] banyak lagi,” ucap Mujito.

Selain fasilitas yang tidak memadai, Mujito juga berkata bahwa dinas tidak melakukan pengelolaan rutin. Tidak jarang sampah hanya dipindahkan agak lebih pinggir agar posisinya menjadi sedikit jauh dari rumah warga.

“Kadang-kadang gini nih gak langsung dibuang. Cuma dikumpulin di sana,” ujar Mujito sembari menunjuk ke puncak timbunan sampah yang agak jauh dari tempat kami berdiri.

“Jadi gak ada agenda yang khusus satu bulan atau satu minggu itu gak ada, padahal dari [pantai] itu banyak banget sampah,” lanjutnya.

Mujito di depan timbunan sampah yang menghadap langsung ke rumahnya. (Finlan Adhitya Aldan/Mojok.co)

Tanpa pengelolaan yang baik, sampah di depan rumah Mujito sama saja dengan sampah yang terdampar di pantai. Yang berbeda hanya lokasinya. Dia bisa kembali lagi ke laut dengan sedikit bantuan oleh angin atau hujan.

Kondisi sampah hari ini cuma jadi lingkaran setan. Sebagian sampah yang dibuang dari darat masuk ke sungai, kemudian masuk ke laut yang kemudian terdampar di pantai.  Selanjutnya, dari pantai diangkut ke lapangan, kemudian beterbangan, dan hanyut karena hujan. Sampah, yang terbang dan dibawa hujan kembali lagi ke laut dari laut terdampar lagi di pantai.

Begitulah siklus sampah kita sampai salah satu dari dua kondisi bisa terpenuhi. Pertama, ada pembenahan sistem pembuangan sampah khususnya di lokasi dekat aliran sungai. Kedua, ada program besar-besaran dan ajaib yang bisa membersihkan laut secara rutin.

Reporter: Finlan Adhitya Aldan
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Cepuri Parangkusumo, Saksi Cinta Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati 

 

Exit mobile version