Pegawai pajak di berbagai daerah merasakan tekanan imbas kasus Rafael Alun. Sebagian di antara mereka, bertugas jauh dari pasangan dan anak. Kondisi yang membuat tekanan terasa lebih berat.
Pada 2022 lalu, jumlah pegawai pajak di bawah naungan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI berjumlah 45.315 orang. Mayoritas tersebar di daerah-daerah menjadi ujung tombak pengumpul pendapatan negara ini.
Mojok menerima kiriman tulisan berisi curahan hati dari Yahya (30)* suami seorang pegawai pajak yang bertugas di luar Jawa. Ia menuliskan suara hatinya, bagaimana kehidupan sebuah keluarga pegawai pajak.
***
Sejak menikah dengan Yuni (30), aku sudah terbiasa menjalani hubungan jarak jauh. Istriku bekerja sebagai pegawai pajak. Sebagai ASN, ia harus siap mendapat tugas penempatan di seluruh penjuru tanah air.
Aturan itu tertuang dalam UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan PP No 11/2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Kami menikah sejak 2017 dan sudah tinggal terpisah antarkota dan provinsi. Namun, selama itu kami masih berada di pulau yang sama.
Setiap kami sedang berduaan, terkadang obrolan tentang mutasi muncul. Aku takut, suatu ketika istriku mendapat tugas di tempat yang jauh. Kekhawatiran itu terkadang aku sampaikan padanya.
“Semoga nggak deh kalau jauh-jauh. Dekat-dekat saja,” ucapnya meyakinkanku.
November 2022, tengah malam sekitar pukul 02.00 saat kami masih terjaga dan berbincang, tiba-tiba banyak pesan WhatsApp masuk ke gawai istri saya. Isinya ucapan dan doa dari teman-teman kantornya. Kami yang masih ngobrol saat itu langsung terdiam. “Ba, mutasi nih kayaknya,” kata istri.
Tugas di luar pulau
Tidak menggubris pesan WhatsApp, istri mulai membuka lampiran pdf berkas mutasi dari kantornya, yang ia terima lewat email. Setelah ketemu namanya, tidak berucap apapun dari bibirnya. Justru istri saya hanya bisa menangis. Ketika saya cek, istri ternyata mutasi ke wilayah Kalimantan. Saat itu istri saya tugas di salah satu kantor pajak di wilayah Jawa Barat.
Bagi anak kampung yang belum pernah pergi jauh sampai ke luar pulau, malam itu kami hanya saling berpelukan dan bergumam, “jauh banget, kita gimana?” ujarnya.
Ini memang bukan mutasi yang pertama kalinya. Kota ini menjadi kota keempat, serta kantor kelima selama istri saya bekerja sebagai pegawai pajak. Dari sebelum menikah ia selalu mengungkapkan bahwa risiko pekerjaannya adalah mutasi di berbagai wilayah di seluruh Indonesia.
Awal menikah kita sudah berjauhan meski masih dalam satu pulau yang sama, lalu beberapa saat berkumpul karena saya pindah di kantor baru di kota yang sama. Kami kembali jauh-jauhan saat istri melahirkan anak pertama kami. Dan akhirnya bareng lagi tinggal di wilayah Jawa Barat tersebut.
Ini bukan keputusan yang bisa aku dan istriku ubah. Malam itu, aku berpikir, bagaimana bisa kami berdua yang dulunya rumahnya satu kampung bisa terpisah begitu jauh setelah menikah. Dari jarak ratusan meter menjadi ratusan bahkan ribuan kilometer.
Belum tuntas rasa berat melihat tangisan istri, aku mulai terbayang bagaimana nanti buah hati kami. Pindah pulau di usianya yang masih empat tahun. Di usia ini, ia sudah harus berpindah tempat tinggal empat kali.
Aku harus berpisah dengannya. Sebab aku masih harus menjalani kewajiban di tempat kerjaku di Jakarta. Untuk saat ini, aku dan istriku masih harus sama-sama bekerja demi menjaga asa di masa tua nanti.
Saat itu, aku langsung fokus memikirkan bagaimana supaya proses perpindahan ini berjalan lancar. Tak pernah terbayang di benakku bahwa beberapa bulan setelah itu, sebuah badai besar akan menerpa institusi tempat istriku bekerja.
Kebijakan mutasi pegawai pajak yang serba dadakan
Ketika kami membaca berkas sampai akhir, tercantum bahwa pegawai harus berada di kantor baru satu minggu sejak terbitnya keputusan. Jujur saja aku tidak kaget dengan hal itu. Sebab sejak dahulu memang begitu. Namun, bukan berarti prosesnya tanpa kendala.
Saat itu aku masih mengontrak rumah. Namun, mengurus perpindahan rumah dalam waktu enam hari tentu tidak mudah. Harus nyari kontrakan baru, nyari tiket pesawat, mengirim motor, peralatan rumah tangga, ngurus berkas pindahan kantor, ngurus berkas pindahan sekolah anak, dan masih banyak lagi. Dalam situasi itu, kami harus tetap bekerja.
Belum lagi aku harus memikirkan pendidikan anakku di Kalimantan nanti. Saat ini ia masih di jenjang play group. Pikiran tentang anakku membuatku merasa begitu pusing. Ternyata banyak sekali yang harus aku urus dalam waktu singkat.
Beruntungnya di tengah kebingungan dan kebuntuan, banyak rekan kami yang datang membantu. Mereka mencari info kontrakan rumah yang bisa istri dan anakku huni serta menawarkan kendaraan untuk digunakan sementara setibanya di Kalimantan.
Dalam hati saya lega, tapi deg-degan. Sebagai suami yang akan meninggalkan anak dan istri di kota yang jauh dari tempat saya tinggal, saya sangat overthinking.
Istriku juga berbagi kekhawatirannya tentang hidup di tanah yang jauh dan tak terbayangkan sebelumnya. Ia tentu tak bisa merawat anak sambil mengerjakan banyak hal seorang diri. Mencari asisten rumah tangga pun belum jadi pilihan untuk masa-masa awal.
Namun beruntung, ibu mertuaku berkenan untuk menemanti anak dan cucunya di Kalimantan. Mendengar kabar itu, rasanya beban di pundakku sedikit gugur.
Dua hari sebelum masuk kerja, aku dan keluarga berangkat ke Kalimantan menggunakan pesawat. Barang yang kami bawa masih sekadarnya. Kami mengutamakan sandang karena keterbatasan waktu untuk persiapan.
Perjalanan di udara memang singkat dengan durasi dua jam. Tapi saat di udara rasanya waktu berjalan melambat. Melihat raut wajah istriku yang gelisah membuat momen itu jadi perjalanan paling berat yang aku lalui.
Tekanan ketika kasus besar melanda DJP dan Kementerian Keuangan
Aku menemani istri dan anakku selama beberapa hari awal. Namun, akhirnya kami harus benar-benar berpisah karena pekerjaan menuntutku pulang. Kami terbiasa menahan kerinduan tapi tidak dengan jarak Jawa-Kalimantan.
Aku mencoba meyakinkan diri, bahwa inilah jalan yang telah aku pilih ketika menikah dengan Yuni. Sebagai ASN, ia harus siap menjalankan tugas di mana pun tempatnya.
Bulan-bulan awal berjalan lancar. Sampai akhirnya, sebuah guncangan melanda instansi keuangan negara pada Februari 2023.
Semua bermula saat Mario Dandy, anak dari Rafael Alun yang merupakan pejabat Ditjen Pajak, melakukan penganiayaan terhadap seorang remaja pada 20 Februari 2023. Hal itu lantas menyebabkan keriuhan di media sosial.
Perhatian warganet tertuju pada gaya hidup mewah keluarga Rafael Alun yang menyimpan banyak kejanggalan. KPK pun mengendus harta Rafael yang dinilai tidak wajar. Proses pemeriksaan dilakukan sampai akhirnya terdapat bukti pelanggaran hukum.
KPK menetapkan status Rafael menjadi tersangka penerima gratifikasi pada Kamis, 30 Maret 2023. KPK menduga Rafael telah menerima gratifikasi selama 12 tahun, mulai dari 2011 hingga 2023.
Setelah itu rentetan pelanggaran di tubuh Kementerian Keuangan pun menjadi sorotan. Para pegawai pajak di lapangan turut terkena imbas dari sorotan terhadap instansi yang menaungi mereka.
Membaca berita-berita itu membuatku gusar. Hal itu diperparah dengan ribuan komentar pedas warganet di media sosial. Istriku dan ribuan pegawai pajak lain yang tak tahu menahu persoalan menjadi sasaran risakan di dunia maya.
Aku tak sanggup berkata-kata lagi saat ada komentar ancaman aksi penggerudukan kantor pajak sampai penyerangan kendaraan pegawai pajak. Pilu rasanya membayangkan istriku di sana menanggung beban ini seorang diri.
Istriku dapat tatapan sinis
Ia juga mulai bercerita kalau sering merasakan ketidaknyamanan saat bertugas. Bepergian ke tempat wajib pajak menjadi momen yang membuatnya khawatir.
“Aku merasa mendapat tatapan sinis dari orang saat keluar kantor menggunakan seragam,” curhat istriku.
Jarak yang terpaut jauh membuat Yahya tak bisa berbuat banyak selain berusaha menjadi tempat berkeluh kesah bagi sang istri. Melalui layar gawai, istriku saling berbagi keluh kesah dan kekhawatiran.
Bagiku, tindakan anak pejabat Ditjen Pajak sangat mencederai kemanusiaan. Aku menyayangkan tindakan tersebut. Terlebih hal itu membuat istriku merasakan situasi yang sulit.
Sejujurnya kalau aku jadi ayahnya korban aku juga nggak terima kalau anakku dianiaya. Udah nggak manusiawi, mana imbasnya sekarang ke orang yang bahkan dia nggak kenal.
“Kita fokus sama keluarga kita saja, nggak usah dengerin kata orang, nggak usah dimasukan ke hati, susah memang tapi apa yang menjadi prioritas yang membuat kita berjuang sampai titik ini jauh lebih penting,” pesanku padanya lewat WhatsApp.
Bukan hanya tekanan saat bertugas, istriku juga sering curhat sedih saat melihat semua lini masa media sosial penuh hujatan kepada instansinya. Aku, sekali lagi, hanya bisa menguatkan dan mengingatkan agar ia fokus dan mengurangi melihat pendapat-pendapat di dunia maya.
Minggu malam adalah saat-saat berat
Di tengah karut marut kondisi yang istriku alami, kendala lain datang menghampiri. Mertuaku terpaksa harus pulang ke kampung halaman pada Maret lalu karena sebuah halangan.
Padahal, pada April 2023 istriku harus melanjutkan pendidikan yang sudah ia rencanakan jauh-jauh hari. Kebimbangan pun mendera keluarga kecilku.
Pertimbangan utamaku adalah perawatan anak. Ada pilihan untuk menempatkan anakku pada pengasuh harian atau mencari pembantu di rumah. Namun, buah hatiku yang menunjukkan ketidakmauannya terhadap hal itu.
Ia sudah bisa menolak. Menunjukkan gestur tidak nyaman dan tidak mau sekolah yang bersambung dengan daycare. Anak kami juga tidak mudah berhubungan dengan orang baru.
Akhirnya aku dan istriku memutuskan bahwa buah hati kami turut pulang ke kampung halaman bersama mertuaku. Keputusan berat, tapi itu jalan yang paling memungkinkan di tengah kondisi yang sedang kami hadapi.
Sejak saat itu, aku pulang ke rumah seminggu sekali. Sedangkan istriku sebulan atau dua bulan sekali menyempatkan terbang ke kampung halaman.
Sejak kami bertiga berpisah jauh, kekhawatiran semakin melandaku. Di satu sisi, aku memikirkan istriku yang bekerja jauh di tengah tekanan yang menimpa instansinya. Di sisi lain, pikiran ini juga terus terbayang anak yang harus terpisah dari kedua orang tua.
Bagiku, Minggu malam adalah momen terberat. Momen saat aku harus kembali berangkat kerja meninggalkan si kecil di kampung halaman. Apalagi ketika ia menangis jelang keberangkatanku. Saat berusaha menghiburnya, suaraku bergetar. Mencoba kuat dan tidak terlihat sedih.
Untuk keluarga pegawai pajak yang berjauhan
Tulisan ini bukan untuk mencari pembenaran atau pembelaan. Cerita kami ini mungkin hanya satu dari puluhan ribuan kisah teman-teman istriku, para pegawai pajak yang juga harus berjuang bahkan di daerah pedalaman Indonesia sana.
Mungkin ada cerita seorang suami yang sedang ditempatkan di daerah Tahuna, yang ada di pulau Sangihe salah satu pulau kecil di perbatasan negara Indonesia-Filipina. Yang bahkan kalau kita melihat di peta Indonesia pulaunya pun tidak terlihat karena saking kecilnya, yang juga sedang berjuang karena berpisah dengan anak istrinya di lain tempat.
Mungkin ada juga cerita seorang ibu yang mendapat tugas di daerah Muara Teweh. Daerah kecil di tengah Pulau Kalimantan yang harus bekerja sambil menjaga anaknya sendirian karena terpisah oleh suaminya. Atau ada anak-anak lain yang juga harus berjuang tinggal bersama saudara atau kakek-neneknya karena orang tuanya tugasnya jauh dari rumah.
Di tengah situasi berat ini, kami saling menguatkan diri. Aku yakin di luar sana masih ada banyak keluarga petugas pajak yang sedang mengalami perjuangan yang sama dengan keluarga kecil kami.
Semoga tulisan ini bisa memberikan gambaran dari sudut pandang yang sedikit berbeda.
*) Atas permintaan pengirim, nama kami samarkan.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Cerita Mahasiswa Rantau yang Nggak Mudik Lebaran: Ongkos Mahal, Jatah Libur Tak Banyak dan tulisan menarik lainnya di kanal Liputan.