Coffee Shop di Jogja, Benarkah Jadi Ruang Pamer Fashion yang Mengintimidasi?

Coffee shop fashion show. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Ada lebih dari 3.000 coffee shop di Jogja yang menjual aneka ragam minuman kopi. Banyaknya kedai kopi dengan beragam model, membuat kota ini jadi punya julukan baru, Kota Seribu Kedai Kopi. 

Komunitas Kopi Nusantara menyebut, sebelum pandemi jumlah kedai kopi di Jogja mencapai sekitar 1.700. Selama pandemi, jumlahnya justru meningkat menjadi 3.000 lebih. Alasan ini juga yang membuat mereka menyelenggarakan Jogja Coffee Week #2, 2-6 September 2022 di Jogja Expo Center. 

Mojok melakukan penelusuran ke berbagai coffee shop di Yogyakarta. Ada hal menarik yang kami temukan. Banyak coffee shop yang mengambil peran sebagai ruang publik bagi anak-anak muda di Kota Pelajar.

Bukan hanya itu, sebagian coffe shop itu jadi tempat unjuk pamer fashion pengunjungnya. Bahkan sampai mengintimidasi, benarkah?

***

Saya bukan manusia yang bisa sembarangan minum kopi. Soalnya lambung saya selalu berontak kalau racikan kopinya gak tepat. Kopi yang terlalu asam udah cukup membuat saya dilarikan ke IGD karena asam lambung.

Hanya ada beberapa coffee shop di Jogja yang kopinya ramah di lambung saya. Salah satunya adalah Mandeff, kedai kopi hits di daerah Mrican. Saya pikir teman-teman saya juga demikian. Nongkrong buat cari kopi enak atau kerja doang. Tapi ternyata, buat sebagian kawan saya, coffee shop atau kedai kopi lebih dari itu. 

Suatu hari saya nongkrong di kedai kopi itu buat ketemu Mas Ali Ma’ruf dan teman SMP saya. Teman SMP saya juga sama seperti Mas Ali: punya ribuan followers di Instagram. Usai nongkrong, saya repost IG Stories Mas Ali dan teman saya. Saya langsung mendapat respon yang beragam dari followers saya. 

“Ngeri banget e sekarang nongkrongnya sama Alimaruv. Met panjat sosial!”

“Itu kedai kopi yang isinya anak-anak selebgram fashionable itu bukan? Minder mau masuk situ.”

Kalau respon pertama saya nggak terlalu menanggapi. Soalnya nongkrong sama Mas Ali sudah pasti bikin orang ngeri ngeliat pergaulan saya. Justru respon kedua yang lebih menarik perhatian saya. 

“Kenapa minder?” tanya saya kepada salah satu teman saya yang memberi respon Instagram Stories.

“Soalnya aku kurang eksis dan necis, Sis.”

Terintimidasi di kedai kopi

Saya cerita soal respon yang saya dapatkan itu ke sahabat saya, Vida Irine (27). Intinya saya curhat aja saya dikatain panjat sosial padahal cuma mau minum kopi enak. Dia malah penasaran ingin datang ke kedai kopi itu.

“Emang se-intimidating apa vibesnya? Jadi penasaran. Besok ah coba kerja di kedai kopi langgananmu.”

Vida adalah warga asli Mrican, Demangan. Rumahnya dikepung coffee shop. Meski begitu, Vida bisa dikatakan hampir tidak pernah kerja di kedai kopi. Usai menyelesaikan kuliah, Vida merantau ke Jakarta untuk bekerja. Ketika diberi jatah WFH, dia lebih suka kerja di kamarnya yang tenang. 

Saat berkunjung ke kedai kopi langganan saya itu, Vida merasa terasing. Penyebabnya, dia merasa pakaiannya tidak modis jika dibandingkan dengan mayoritas pengunjung di sana. Menurutnya mereka semua berpakaian seperti selebgram atau artis. 

“Ada Mbak-mbak modis from head to toe [dari kepala sampai kaki]. Ada Mas-mas nggak terlalu modis tapi baju tetep kinclong, mukanya kayak Al Ghazali anaknya Maia Estianty,” begitu katanya sambil tertawa. 

Sambil menahan rasa sedikit terintimidasi, Vida lanjut bekerja dengan laptopnya. Tiba-tiba, sekumpulan orang-orang dengan pakaian modis di sekitarnya saling berbincang. Dari obrolan yang didengar oleh Vida, dia menyimpulkan mereka sudah saling kenal.

“Aku di tengah-tengah mereka cuma diem. Ternyata udah pada saling kenal. Baristanya juga udah kenal sama mereka semua jebule. Aku jadi makin merasa kayak outsider,” kata Vida. 

Sepulangnya dari kedai kopi itu, Vida menyadari fungsi kedai kopi saat ini sudah berbeda jauh jika dibandingkan fungsi kedai kopi beberapa tahun lalu. Tepatnya, saat kami masih suka nongkrong di kedai kopi sepulang sekolah. 

Semasa SMA, sekitar tahun 2010 hingga 2013, Lir Cafe, Semesta dan Legend sangat dikenal di Jogja. Jauh sebelumnya, ada Kopi Blandongan dan Mato Kopi yang jadi tempat nongkrong mahasiswa dan pelajar. Suasana kedai kopi di masa-masa itu biasa saja. Mayoritas pengunjungnya adalah siswa SMA dan mahasiswa yang lusuh karena sibuk mengerjakan tugas, latihan soal bimbel, dan ngobrol. Jadi tidak ada pengunjung yang modis. 

Kami menelusur ingatan. Dulu kalau mau pamer style, kami biasa melakukannya saat nonton Pentas Seni (Pensi). Misalnya pas nonton Maliq n D Essential dan Sheila On 7 di GOR UNY, GOR UMY, atau Mandala Krida. Selain pensi, kami juga modis saat pergi ke Pasar Malam Perayaan Sekaten di Alun-Alun Utara, Yogyakarta. 

Di ruang-ruang terbuka itu, kami bisa lihat fashion terbaru yang sedang disukai muda-mudi asli Jogja. Misalnya, seperti bando pita jumbo dipadukan dengan behel fashion nempel di gigi. Lalu rambut poni belah tengah, celana highwaist, sepatu Vans motif papan catur, dan lainnya.

Saat saya kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, tepatnya tahun 2013 sampai 2017, kedai kopi mulai bertebaran di daerah Seturan dan Condongcatur. Akan tetapi, saat itu mayoritas kedai kopi didesain untuk mengerjakan tugas kuliah. Desain tidak estetis, tapi punya sofa empuk dan WiFi kencang. 

Sebenarnya waktu itu sudah banyak juga mahasiswa yang hobi foto-foto di kedai kopi. Akan tetapi, fokusnya bukan buat memamerkan style. Kami lebih fokus pamer komunitas atau teman nongkrong di kedai kopi. 

Soalnya kami upload kontennya di Path. Path hanya menuntut kami untuk upload titik koordinat lokasi kedai kedai kopi dan nge-tag teman-teman nongkrong. Jadi pakaian kami pun biasa-biasa aja: kemeja, cardigan, flatshoes, dan tas kuliah.

Kalau saya pikir-pikir, masa muda saya lebih sering dihabiskan di kedai kopi daripada di ruang terbuka lainnya. Sama saja seperti mahasiswa Jogja saat ini. Mungkin yang membedakan hanya tuntutan sosialnya saja. 

Ruang pamer fashion di Jogja, bukan di zebracross, tapi di coffee shop

Citayam Fashion Week jadi trending selama beberapa waktu lalu. Muda-mudi dari berbagai kota ramai-ramai mengikuti tren tersebut. Contohnya saja di Bandung dengan Braga Fashion Week-nya. 

Namun, Jogja berbeda. Saya mengamati di timeline Twitter banyak banget ajakan buat fashion week di ruas jalan Jogja. Misalnya, kayak di trotoar Titik Nol KM, Ringroad Gejayan, dan Malioboro. Tapi tentu saja respon netizen tidak ramah. Hal itu dianggap hanya memperparah kemacetan jalanan Jogja. Masyarakat Jogja tidak punya ruang terbuka yang mumpuni untuk sekadar latah tren.

Sebenarnya, Jogja punya kegiatan fashion week juga kayak kota-kota lainnya. Bedanya, fashion show itu di ruang tertutup, yaitu kedai kopi. Kesimpulan ini saya dapatkan setelah ngobrol dengan 10 orang yang hobi safari kedai kopi. Entah buat kerja, buat ngobrol, atau buat keperluan engagement konten Instagram. 

Mereka mengatakan saat ini kedai kopi di Jogja udah dipandang sebagai tempat pamer style. Sebab sejauh mata memandang ke sekeliling kedai kopi, mayoritas pengunjung menggunakan style terkini dari kepala hingga kaki. Jika tidak, minimal baju dan tasnya adalah model terkini yang viral di Instagram. 

Suasana itu bikin mereka merasa nggak nyaman kalau nongkrong di kedai kopi dengan baju yang menurut mereka biasa saja. Soalnya mereka merasa berbeda dan asing saja di tengah ribuan orang yang sama: necis semua.

coffee shop di jogja jadi tempat fashion show yang mengintimidasi.
Ilustrasi coffee shop. (Rod Long/Unsplash.com)

Sahabat saya, kelas pekerja asli Jogja, Kevin Ray (27), termasuk salah satu dari orang itu. Menurut Kevin, baju biasa saja itu artinya: minimal tidak boleh gembel atau lusuh. Dia biasanya mengenakan kaos polos Uniqlo, outer model terkini dan celana jeans yang warnanya masih segar. Lalu dia menggunakan sepatu yang masih masuk tren: Vans. 

“Menurutku pakai itu udah cukup kok. Pokoknya jangan lusuh aja kalau ke kedai kopi. Tapi aku jarang banget sih merasa terintimidasi. Paling terintimidasinya kalau pas apesnya aku lagi lusuh aja,” kata Kevin. 

Selain rasa terintimidasi, Kevin sebenarnya juga sering terinspirasi oleh style pengunjung kedai kopi lain. Di otaknya itu, dia sudah mengelompokkan kedai kopi berdasar segmentasinya. 

Menurutnya kedai kopi yang segmentasi pengunjungnya menengah atas dan punya warna style vintage ala Jakarta Selatan. Ada juga kedai kopi yang segmentasinya menengah, warna style-nya vintage juga, tapi terlalu mencolok mata. Kalau bahasa sekarang biasa disebut agak Jamet. 

Namun, saat mengamati pengunjung lain, terkadang Kevin menemukan beberapa style yang menurutnya juga cocok untuknya. “Kadang mikir ‘bagus juga ya stylenya, besok kucoba pake deh. Cocok nggak kalau aku pakai atasan kayak gitu?’,” kata Kevin. 

Ruang terbuka di Jogja gagal menampung kebutuhan berekspresi 

Tak seperti Jakarta atau kota besar lainnya, memasuki coffee shop di Jogja rasanya seperti masuk ke belahan dunia lain. Di jalanan dan di ruang terbuka, semua orang berpakaian apa adanya. Lalu sesampainya di kedai kopi, penuh sekali anak-anak muda dengan berbagai style mentereng. 

Sosiolog UGM, Derajad Sulistyo Widhyharto mengatakan di kota-kota besar, anak muda memiliki banyak ruang terbuka untuk mengekspresikan diri. Misalnya, nongkrong di Sarinah atau Blok M yang kini tampil sebagai ruang untuk melakukan gaya hidup terkini: nongkrong dan ngobrol, bekerja, berbelanja baju tren terkini, dan berekspresi melalui busana. 

Sedangkan ruang terbuka di Jogja, menurut Derajad, tidak berkembang baik dalam segi jumlah maupun fungsi. Ruang terbuka di Jogja cenderung tidak bertambah. Fungsinya pun lebih banyak untuk wisata belanja keluarga, wisata sejarah, dan wisata alam. 

“Hal itu sangat jauh dari engagement lifestyle anak-anak muda atau mahasiswa di Jogja,” kata Derajad.

Menurut Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia yang berjudul “Persoalan Ruang Terbuka Publik di Yogyakarta berdasar Persepsi Masyarakat”, warga Jogja berusia 25-45 tahun lebih banyak mempersepsikan fungsi ruang terbuka sebagai tempat untuk “menikmati lingkungan” (23,99%). 

Sisanya, ruang terbuka dipersepsikan sebagai tempat untuk “melakukan sirkulasi” (17,27%), dan “kegiatan fisik” (16,89%). Di sisi lain, aktivitas yang paling sedikit dilakukan adalah “melaksanakan tugas” sebesar 7 (1,34%), observasi kegiatan & ruang sebesar 5 (0,96%), dan “aktivitas bukan rutinitas sebesar 4 (0,77%).

Padahal, menurut Derajad, kebutuhan terbesar anak muda dan mahasiswa saat ini adalah nongkrong sambil mengerjakan tugas dan mengaktualisasikan eksistensi diri melalui busana. Di mana mereka akan berfoto dan mengunggahnya di media sosial. 

“Ruang terbuka di Jogja tidak ada yang menyediakan ruang buat itu. Alun-alun saja sekarang malah dipagari, rumputnya diganti pasir. Lalu mereka mau ke mana kalau tidak ke kedai kopi?”

Terbukti dari 168 orang responden, terdapat 16 orang (10%) yang belum pernah menggunakan ruang terbuka publik di Jogja. Analisis distribusi alasan tidak menggunankan, yaitu dirasa kurang mewadahi kebutuhan sebesar 2 (11,11%), jarak yang jauh sebesar 1 (5,56%), tidak suka pergi dan keramaian sebesar 5 (27,78%), sudah lama tidak tinggal di Yogyakarta sebesar 1 (5,56%), tidak tahu ruang terbuka publik sebesar 6 (33,33%), dan sibuk sebesar 3 (16,67%).

Jogja kekurangan ruang publik, kedai kopi jadi pilihan anak muda di Jogja untuk nongkrong. (Salsabilla Annisa Azmi/Mojok.co)

Ruang terbuka publik pun juga masih banyak kekurangan untuk mengakomodir kebutuhan aktivitas anak muda. Dari hasil analisis distribusi, ada banyak kekurangan ruang terbuka publik Yogyakarta menurut warga Jogja. 

Diperoleh informasi bahwa kekurangan yang menonjol adalah “lingkungan kurang ramah” sebesar 91 (16,61%), “kenyamanan kurang maksimal” sebesar 86 (15,69%), dan “kontrol & pengelolaan” sebesar 81 (14,78%). Sebaliknya, kekurangan yang jumlah respondenya paling sedikit adalah “penyediaan fasilitas” sebesar 58 (10,58%), “penyediaan tempat beraktivitas” sebesar 55 (10,04%), dan “sirkulasi sulit” sebesar 47 (8,58%). 

Sementara itu, coffee shop menawarkan ruang tertutup namun dekat dengan gaya hidup dan pusat aktivitas anak-anak muda di kampus-kampus Jogja. Apalagi, kedai kopi saat ini didesain untuk memenuhi kebutuhan ekspresi gaya hidup mereka. Sofa yang empuk, WiFi kencang untuk memfasilitasi kegiatan nugas. Juga desain estetis untuk menunjang kebutuhan aktualisasi diri di media sosial. 

Di media sosial, Derajad mengamati berfoto di kedai kopi sudah menjadi sebuah keharusan. Semacam tuntutan biasa untuk anak-anak muda. “Dengan nongkrong di kedai kopi, menyesuaikan pakaian dengan pengunjung lainnya dan melakukan gaya hidup di dalamnya, mereka merasa menjadi bagian dari masa kini. Itu kebutuhan dasar anak muda saat ini,” kata Derajad. 

Rekomendasi coffee shop di Jogja yang membuatmu terintimidasi

Biasanya Kevin nongkrong di kafe sambil menyelesaikan pekerjaannya sebagai content creator. Menurutnya meskipun terkadang dia merasa terintimidasi, kedai kopi lebih kondusif untuk bekerja dibanding ruang terbuka atau rumahnya. Sebab kedai kopi menawarkan ruang minim distraksi. 

“Jadi dalam satu minggu bisa tiga sampai empat kali aku kerja di kedai kopi,” kata dia. Sekali nongkrong, Kevin menghabiskan biaya Rp25.000 hingga Rp30.000 untuk pesan kopi. Terkadang untuk mengakali biaya, Kevin berburu kedai kopi yang menyediakan promo atau diskon.

Di akhir obrolan, Kevin yang sehari-hari bekerja sebagai content creator itu memberi saya rekomendasi kedai kopi yang intimidating untuk dikunjungi meskipun dia merasa sudah cukup modis: Le Travail Jalan Solo dan UD Mitra Seturan.

“Kalau ke sana rasanya kayak bukan di Jogja lagi. Coba aja ke sana. Udah kayak Citayam Fashion Week.”

Baca reportase lanjutannya: Datang ke Coffe Shop di Jogja Nggak Harus Pakai Dr. Martens Kok, Cukup Bawa Nyali

Reporter: Salsabila Annisa Azmi
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Mato Kopi, Juru Kunci Warung, dan Alasannya Memilih Tak Menarik Biaya Parkir

Exit mobile version