Proses pembuatan genteng ditentukan alam
Menelusuri pembuatan genteng di Dusun Kwagon dan Dusun Berjo, membuat saya sedikit mengerti pembuatan genteng. Membuat genteng tidak bisa sehari jadi, paling tidak seorang perajin mampu menyelesaikan 1 genteng mulai dari tanah sampai siap jual dalam waktu 3 sampai 4 hari.
Berdasarkan cerita Sunardi, tahapan membuat genteng dimulai dari tanah yang diambil dari bukit dicampur dengan tanah yang diambil dari sawah. “Perbandingannya satu banding satu,” ujarnya. Sunardi akan membayar orang untuk menggiling tanah yang sudah dicampur menggunakan mesin gilingan. Kebetulan, setahu Sunardi, di Dusun Kwagon hanya ada 2 orang yang memiliki gilingan untuk menghaluskan tanah bahan baku genteng.
Dari gilingan campuran tanah bahan baku genteng, didapatkan batan siap olah. Proses selanjutnya adalah menipiskan dengan dibantu pelicin berupa solar dan minyak jelantah sampai berbentuk blek. Setelah itu, barulah Sunardi membawa dan meletakkan batan yang sudah tipis di bagian khusus mesin pres.
“Pres ini perlu tenaga yang besar,” ungkap Sunardi. Pasalnya, untuk melakukan pres, ia harus memutar besi berbentuk lingkaran itu dengan kuat agar mendapatkan tekanan genteng yang tidak mudah hancur dan grimpil. Tenaganya yang tidak lagi kuat seperti saat muda, membuat Sunardi hanya bisa mencetak genteng dengan pres sebanyak 200 sampai 500 genteng saja.
Setelah di cetak dengan mesin pres, genteng yang masih basah diambil menggunakan encak untuk disisir pinggirnya agar tampak rapi. Genteng-genteng yang masih basah itu kemudian ditata di larik-larik bambu untuk diangin-anginkan. “Kendalanya kalau musim kemarau, panas dan anginnya kencang, genteng-genteng yang basah dan setengah kering jadi mudah retak,” ungkapnya.
Namun, jika musim hujan tiba, Sunardi menemukan kendala baru. “Gentengnya tidak bisa kering, tidak bisa dijemur,” ujar Sunardi. Hal itu lantas membuat genteng-genteng yang masih setengah kering menumpuk banyak tidak bisa dibakar.
Jika dipaksakan genteng-genteng yang setengah kering itu dibakar, hasilnya akan retak dan bahkan pecah sehingga harga jualnya turun menjadi sepertiga harga genteng normal. “Kalau harga per 1000 genteng utuh itu satu juta dua ratus, maka harga per 1000 genteng retak hanya tiga ratus rupiah,” ujarnya.
Selain itu, jika musim hujan tiba, Sunardi membutuhkan waktu lebih lama untuk bisa melakukan pembakaran genteng. Pasalnya, membakar genteng harus dilakukan menunggu 5000 sampai 6000 genteng tergantung kapasitas tobong. Apabila hujan, untuk membuat 5000 sampai 6000 genteng membutuhkan waktu sampai dua bulan. Pembakaran biasanya dilakukan selama 12 jam, mulai dari jam 04.00 WIB sampai dengan jam 16.00 WIB.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Maryatin (66), perajin genteng di Dusun Berjo Kidul. “Lawannya para perajin genteng itu memang alam,” ungkapnya. Misalnya saja dalam mencari bahan baku untuk membuat genteng. Selama ini, Maryatin memang tidak pernah menambang sendiri, ia hanya membeli dari mobil kol pengangkut tanah yang lewat di jalan dekat rumahnya. Namun, ketika hujan, jarang mobil pengangkut tanah yang lewat. Hal itu lantaran jika hujan tanah menjadi becek sehingga susah untuk diambil. Berdasarkan pengalamannya, harga tanah untuk ukuran satu mobil kol sekitar Rp100 ribu sampai Rp200 ribu yang bisa menjadi sekitar 900 genteng.
Kendala lain bagi perajin genteng saat musim hujan adalah genteng menjadi lama kering. Menurut pengalaman Maryatin, jika musim hujan, proses membuat 6000 genteng jadi memakan waktu lebih lama, yaitu 4 sampai 6 bulan. “Satu lagi, kelemahan genteng yang dibuat oleh perajin di Kecamatan Godean ini, genteng yang sudah dipasang maupun belum dipasang kalau sudah sekali kena hujan, pasti berlumut,” ujarnya.
Meski demikian, musim kemarau juga membawa kendala bagi perajin genteng, yaitu pecahnya genteng-genteng yang sedang diletakkan di larik-larik bambu ataupun ketika di jemur. Hal itu lantaran saat musim kemarau udara menjadi panas dan intensitas kekuatan angin meningkat, sehingga memberikan tekanan pada genteng yang masih belum kering sepenuhnya. “Hitunglah saat musim kemarau dari 6000 genteng, yang pecah 500 sampai 1000 genteng,” ungkapnya. Beruntung, jika genteng belum masuk dalam proses pembakaran, maka masih bisa didaur ulang menjadi genteng baru.
Masa depan genteng Godean
Industri genteng rumahan di Godean memiliki banyak tantangan. Saat ini perajin genteng dihantui kepastian akan keberlangsungan keberadaan bahan baku pembuatan genteng. “Sekarang ini bahan susah, jika tersedia operasionalnya mahal,” ungkap Agus Trihandoko.
Tanah di sekitar Kecamatan Godean sudah mulai habis, sebagian telah menjadi genteng, sebagian lainnya ditambang untuk tol dan pembangunan perumahan. “Mungkin pemerintah memiliki saran bahan baku pengganti untuk membuat genteng,” ungkapnya. Mengingat keahlian warga di daerahnya (Red: Dusun Berjo Kidul) hanya membuat genteng.
Agus melihat volume tanah yang ditambang untuk genteng di Berjo Kidul semakin bertambah banyak. “Gunungnya semakin pendek, tanah semakin habis,” ungkap Agus. Para perajin genteng di Dusun Berjo Kidul mulai mencari bahan baku dari tempat lain. Beberapa memilih mendatangkan tanah dari bukit-bukit di Kabupaten Kulon Progo. Perbedaan bahan baku sebenarnya cukup berdampak pada kualitas genteng.
Tiga tahun ini, semenjak 2019 atau tak lama setelah terpilih sebagai Dukuh Berjo Kidul, Agus meminta penambangan tanah di Kawasan Cagar Alam Geologi Gunung Gede Berjo dihentikan. “Sayang ekosistem alamnya,” ujar Agus.
Hal lain yang mengganggu pikirannya saat itu adalah kekhawatiran jika terus ditambang, bukit atau Gunung Berjo makin pendek dan tanahnya akan habis. Akibatnya, anak cucu nanti tidak bisa menyaksikan visual Gunung Gede Berjo dan hanya akan mendengar dari cerita saja.
Reporter: Brigitta Adelia Dewandari
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: