Ramadan dan Lebaran adalah momen yang dinantikan untuk berkumpul bersama keluarga. Namun, momen kebersamaan itu tak mudah didapat bagi sebagian mahasiswa rantau. Mereka yang tinggal jauh dari keluarga terhalang oleh jarak dan biaya.
Mojok mendengarkan cerita beberapa mahasiswa rantau yang tidak pulang ketika Lebaran. Alasannya beragam, ada yang ngga punya waktu cukup buat pulang, sayang ongkos, orang tua di rumah sibuk kerja, sampai kehabisan tiket.
***
Pagi dini hari itu, jalanan di sekitaran kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) cukup ramai lancar. Penjual warung makan pinggir jalan sibuk membuka warungnya. Sedang, yang konsisten buka 24 jam tetap aktif melayani pembeli yang datang untuk sahur.
Satu hari sebelumnya, saya sudah membuat janji dengan salah satu mahasiswa yang berkuliah di UMS. Bagas (22) bersama beberapa temannya sudah tiba lebih dulu di Burjo dekat kampus. Hari itu Bagas pesan nasi ayam kremes untuk santapan sahurnya.
“Tahun ini aku nggak pulang ke rumah lagi. Puasa dan Lebaran di sini,” katanya yang membuka obrolan. Dirinya sudah tahu pertanyaan pamungkas itu sebelum saya tanyakan.
Mahasiswa rantau asal Kalimantan ini sudah dua tahun tidak pulang ke rumah. Sejak dirinya resmi jadi mahasiswa baru UMS pada medio 2021, sampai hari ini Bagas sama sekali belum pulang ke rumahnya. Artinya, karena Idulfitri tahun ini ia tidak pulang, hampir dua tahun dan dua kali Lebaran Bagas lewatkan sendiri di perantauan.
Terbiasa puasa dan Lebaran sendiri
Sebelum jadi mahasiswa rantau, Bagas mengaku kalau ia sudah terbiasa menjalani kesehariaan selama Ramadan sendiri. Bahkan, katanya, terakhir kali ia Lebaran bersama keluarga ketika tahun 2018.
Baginya, tidak ada hal yang signifikan berbeda ketika dirinya menjalani Ramadan di rumah dengan di perantauan. Walaupun, sebagai seorang anak tentu Bagas punya keinginan untuk bisa menikmati momen bulan puasa dan Lebaran bersama keluarga.
“Sekarang ini aku sudah memaklumi. Orang tua punya kesibukan juga. Jadi aku nggak bisa maksa mereka untuk minta Lebaran bareng,” ujarnya mencoba menerima.
Kesibukan orang tua itu yang pada akhirnya jadi alasan Bagas memilih tidak mudik ketika Lebaran. Kalaupun Bagas ingin pulang, dirinya tetap menimbang-menimbang alasan lain. Tahun lalu, katanya, tidak jadi mudik Lebaran karena belum vaksin.
“Jujur aku males sama urusan administrasi yang begitu, ribet. Biaya tiket aja udah mahal, ditambah harus bayar antigen. Jadi sayang uang aja pikirku, di rumah juga kan nggak tau mau ngapain,” keluhnya.
Di Solo, Bagas tinggal di pondok milik kampus. Selain mahasiswa, Bagas juga seorang mahasantri. Meski merantau jauh dari keluarga, dirinya senang dan bersyukur masih bisa merasakan Lebaran bersama teman-temannya.
Sebagai mahasantri, Ramadan tahun lalu selama tiga pekan puasa Bagas habiskan dengan kegiatan mubaligh hijrah. Setelah itu, pergi ke Sragen untuk merayakan Lebaran bersama mbahnya. “Kayaknya tahun ini nggak Lebaran di Sragen. Masih ada kesibukan di Solo. Paling nanti main ke rumah orang-orang,” tambah mahasiswa yang menantikan momen Lebaran keduanya di perantauan ini.
Nggak pulang karena jatah libur kuliah sedikit
Noorpani Ramadani (20) saat ini sedang menempuh studinya di Jogja. Tepatnya di Universitas Ahmad Dahlan. Pani, sapaan akrabnya, adalah mahasiswa rantau asal Kalimantan Tengah. Sama seperti Bagas, Lebaran tahun ini jadi tahun keduanya tidak pulang ke rumah.
Selama di Jogja, Pani tinggal di kos sendiri. Meskipun di tahun pertamanya sebagai mahasiswa rantau, Pani sempat tinggal bersama kakaknya. “Orang tua saya di Kalimantan Tengah, tapi kakak tinggal di Jogja juga. Nikah dengan orang asli sini,” ungkapnya.
Saat ini ia sedang menempuh semester enam. Kesehariaannya di perantauan cukup sibuk dengan agenda perkuliahannya. Bahkan, ketika libur semester kemarin Pani tidak sempat pulang karena urusan akademik yang tak kunjung usai.
Ada perasaan sedih yang tersisa ketika dirinya kembali tidak mudik Lebaran. Namun, Pani tidak punya pilihan lain. Katanya, jika tetap ia paksakan mudik, dirinya merasa akan tertinggal soal urusan perkuliahan.
“Kebijakan dari kampus [soal jatah libur lebaran], terasa singkat untuk saya. Di UAD libur Lebaran itu dua minggu. Sayang dana buat pulang. Kalau naik pesawat itu biayanya sekitar 1 sampai 1.5 juta rupiah,” katanya.
Alasan yang sama juga diutarakan oleh mahasiswi UMS lainnya. Hasbiatullah atau biasa dipanggil Hasbi (21) sudah merantau ke Solo sejak 2021. Kedua orang tuanya tinggal di Bima, Nusa Tenggara Barat. Hasbi tinggal di kos dekat kampus bersama adiknya.
Dua tahun tinggal di perantauan membuat momen kebersamaan Hasbi bersama keluarga ketika lebaran jadi tersita. Pasalnya, Hasbi sibuk kuliah dan berorganisasi. Waktu libur Lebaran yang dari kampus menurutnya terlalu singkat, sehingga tidak sebanding dengan biaya yang harus ia keluarkan jika ingin mudik.
“Apalagi jelang Lebaran harga tiket naik banget. Terus kalo aku pulang, adikku juga harus pulang. Ada kakak juga yang masih merantau di Jakarta. Udah habis berapa [uang] buat tiket kami aja. Jadi beban orang tua banyak banget,” ucap mahasiswi lima bersaudara ini.
Masak menu rumahan untuk obati kangen
Macam-macam cara mereka lakukan untuk mengobati rindunya terhadap momen Ramadan dan Lebaran bersama keluarga. Sebagai mahasiswi yang merantau, Hasbi tidak ingin Ramadannya tidak berkesan. Hasbi menyiasati itu dengan caranya sendiri.
Di tahun ini saja, di satu pekan pertama puasa, agendanya rutin dengan kunjungan sekaligus hunting takjil buka puasa di masjid sekitar kampus bersama temannya. “Kalo Ramadan tahun lalu lebih sering kajian gitu, soalnya aktif di himpunan jurusan,” kata mahasiswi yang ambil Jurusan Ilmu Quran dan Tafsir di UMS.
Tak jarang Hasbi mengajak adiknya untuk membuat berbagai menu makanan yang biasa ibunya buat di rumah. Lewat bantuan ibunya dari jauh, Hasbi bersama adiknya kerap menanyakan menu apa yang terhidang di rumah untuk santapan sahur atau buka puasa. Setelah dapat informasi dari ibunya, Hasbi buat menu yang sama di kos untuk obati rasa kangennya.
“Kalau di rumah sebetulnya nggak begitu spesial ngejalaninnya. Kegiatannya pun nggak jauh beda sama waktu aku merantau. Tapi kalo soal makanan, jelas bikin kangen, apalagi ibuku suka masak,” jawabnya.
Maaf-maafan lewat panggilan video
Bagi Pani, lebaran ia definisikan sebagai momen yang tepat untuk berkumpul bersama keluarga. Sejak jauh dari rumah karena merantau, momen kebersamaan itu jadi hal yang betul-betul ia rasakan perbedaanya.
Ketika selesai salat Idulfitri, Pani hanya kembali ke kos untuk melanjutkan tidur. Berbeda jauh dengan kebiasaan yang sering ia lakukan ketika lebaran di rumah. “Tahun lalu begitu, habis salat terus tidur. Kalau tahun ini ada rencana merayakan sama teman yang juga merantau,” pungkasnya.
Meski begitu, Pani tidak ingin melewatkan momen Lebaran ini tanpa bermaaf-maafan dengan orang tua. Di samping jarak yang jauh serta kesibukan yang ia miliki, Pani sempatkan untuk menelpon orang tuanya ketika lebaran.
“Melalui video call aja. Ya, walaupun terasanya beda. Ngga terasa sakral. Kalau maaf-maafan lewat video call gitu momen harunya jadi berkurang,” ujar Pani.
Hasbi melakukan cara yang sama. Perbedaan waktu antara Bima dan Solo tak jadi masalah buat Hasbi untuk merayakan Lebaran bersama orang tuanya, meski hanya lewat virtual. Akan tetapi, ia menilai jika momen maaf-maafan secara virtual justru lebih dapat suasana harunya.
“Semakin jauh, jadi kerasa banget momen kangennya. Aku jadi tahu juga, seharusnya kalau di rumah lebih memanfaatkan momen. Tapi jujur kalau ketemu langsung gitu sungkan, ya. Nah pas maaf-maafan di video call itu justru lebih lepas dan lebih sedih,” kata Hasbi sambil mengenang.
Nggak mudik Lebaran karena kehabisan tiket
Andika (22) sudah merantau sejak 2019 untuk meneruskan studinya di Surakarta. Namun, ketika Lebaran dirinya selalu menyempatkan untuk pulang ke rumahnya di Palembang. Biasanya, dari Surakarta ke Palembang, dirinya selalu naik bis.
Tahun ini Andika gagal mudik lebaran. Bukan karena ada urusan akademik, semester ini beban Andika sebagai mahasiswa hanya tinggal skripsi saja. Lewat unggahannya di media sosial, dirinya menunjukkan kalau sedang kehabisan tiket untuk pulang.
“Pingin pulang, tapi semua tiket bis sudah ludes, seminggu sebelum Lebaran itu udah pada habis,” katanya ketika saya menanyakan rencana kepulangannya di Lebaran tahun ini.
Biasanya, ketika ingin mudik Lebaran, Andika selalu memesan tiket satu bulan sebelum Lebaran. Namun, tahun ini dirinya telat membeli karena sempat ada perasaan bimbang. “Kalo udah pada habis tiketnya, jelas nggak jadi pulang.”
Reporter: Novali Panji Nugroho
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Cerita Kurir yang Kerja Tanpa Ampun di Bulan Ramadan dan tulisan menarik lainnya di kanal Liputan.