Nekat berangkat meski kemampuan bahasa pas-pasan
Ketika pendaftar dinyatakan lolos dan harus melalui pelatihan intensif, salah satu fokus utama yang diajarkan adalah bahasa. Misal, diterima sebagai pekerja di pertanian maka mereka akan berlatih kosa kata seputar pupuk atau jenis tanaman.
Saat sampai di Jepang, mereka masih harus menjalani pelatihan di training center selama satu bulan. Rangkaian panjang tadi tidak lantas membuat persiapan mereka tuntas. Banyak hal yang masih membuat mereka kesulitan. Salah satunya adalah bahasa.
“Kadang disuruh ambil barang, tapi kami nggak paham terus kaya orang plonga-plongo. Jadi, digoblok-goblokin. Kami bukannya membantu malah jadi ngurangi produktivitas mereka. Awal penyesuaian itu emang harus siap mental,” tutur Sussanto.
Sussanto turut menjelaskan jika bahasa yang dipelajari selama ini adalah bahasa nasional Jepang. Sedangkan di tempat kerja, terdapat dialek dan logat lokal. “Kadang cuma diubah akhirannya aja, tapi artinya sama. Nah, kita juga kesusahan untuk belajar itu,” tambah pria yang mengaku penggemar anime ini.
Kemampuan bahasa Jepang diklasifikasikan dalam berbagai tingkatan dan dilambangkan dengan huruf N. Saat berangkat, Anis maupun Sussanto sebenarnya sudah sesuai standar dari LPK, yakni N5.
“Jadi teori itu nggak terlalu penting. Yang penting bisa ngomong karena kita mau minta tolong aja juga harus pakai Bahasa Jepang,” tambah Anis.
Anis membenarkan bahwa beban kerja, terutama dari sisi mental sangat besar. Beban mental ini akan semakin diperparah ketika mereka membuat kesalahan. Anis bercerita jika ia dan teman-temannya terlambat ketika hari pertama masuk kerja. Mereka sebenarnya sudah berangkat dari pukul sembilan. Namun, kesalahan dalam memilih halte membuat mereka harus mengambil jalan memutar sehingga baru sampai pada pukul dua. Mereka terlambat satu jam dari waktu yang ditentukan.
“Rasanya tertekan selama beberapa bulan di sana. Kaya nggak ada yang mau nerima kita,” tutur Anis.
Beradaptasi dengan budaya gila kerja
Anis bersama kelima temannya bekerja di sebuah gudang pengemasan. Mereka bertugas mengambil barang sesuai jumlah pesanan. Meski terkesan sepele, jumlah produk yang diambil seringkali tidak sesuai. Mereka juga pernah memecahkan barang.
“Awalnya capek banget. Kita kerjanya ngambilin banyak produk dan harus jalan terus. Ngga ada jeda kecuali istirahat satu jam,” jelasnya.
Setelah tiga bulan, mereka mulai terbiasa dengan sistem kerja yang ada. Hingga akhirnya kerja lembur menjadi sebuah kebiasaan baru. Ketika Anis mendapat giliran malam dan lembur sampai pukul 12, esoknya ia bisa mendapatkan giliran pagi pada pukul 08.00.
Dirinya harus mulai bersiap sebelum pukul 05.00 karena perjalanan ke tempat kerja bisa menghabiskan waktu satu setengah jam. Padahal semalam ia baru bisa tidur pukul 1.
“Bayangin aja. Aku tidurnya sebentar banget, matanya pedes, tapi malemnya harus lembur lagi. Kan capek banget gak sih?”
Para pekerja ini paham, seberat apapun beban yang dirasakan ada risiko yang harus ditanggung jika mereka melanggar kontrak. Ketika mereka kabur dari perusahaan maka ada kewajiban membayar denda sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan. Dari pihak LPK juga akan memberikan sanksi sosial.
“Misal yang kabur itu dari Sleman maka kami tidak akan lagi mengambil siswa dari daerah tersebut. Kami ada jaringan antar-LPK dan daerah itu akan di-blacklist. Nah, pasti mereka yang mau daftar akan nyerang dia kan? Dulu pernah kejadian seperti ini,” jelas Sofyan.
Selama periode magang, baik Anis maupun Sussanto tidak diperbolehkan pulang ke Indonesia. “Kalau tempat saya gak boleh sih. Cuma katanya kalau keluarganya ada yang meninggal terus mau pulang itu bisa, tapi biaya sendiri. Ini tergantung kebijakan perusahaan masing-masing juga,” jelas Sussanto yang bekerja pada bidang pengelasan besi di Kawasan Nagasaki.
Dikira kaya jadi jujugan utang
Sussanto bekerja di Jepang pada tahun 2016 sampai 2019. Selama periode tersebut, ia mendapat gaji sekitar 13 juta. Dipotong biaya sewa tempat tinggal, air, listrik, dan asuransi, dia memperoleh gaji bersih 10 juta tiap bulan.
Gaji tersebut sejatinya masih di bawah rata-rata UMR Jepang. Hal ini mengingat statusnya sebagai pekerja magang. Hidup irit menjadi sebuah keharusan demi bisa mencapai tujuan awal, yakni menabung.
“Paling kalau untuk makan di restoran itu cuma satu atau dua minggu sekali. Untuk liburan ke tempat jauh cukup setahun sekali. Bos saya dulu itu sukanya karaoke sambil makan. Jadi, transportasi dan makan sudah dibayari. Menurutku itu udah cukup,” jelas Sussanto soal caranya hidup senang, tetapi bisa tetap irit.
Sussanto bercerita jika orang di luar sana tidak mengerti kondisi ini. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pesan WhatsApp dan DM yang masuk ingin meminjam uang.
“Kalau cuma utang untuk biaya hidup sekitar 500 ribu, 300 ribu rupiah, atau di bawah satu juta ya masih tak kasih. Tapi kalau lebih dari itu, mending nggak usah daripada runyam. Ya gitu lah,” tutur pria lulusan jurusan SMK Kelistrikan ini.
Saat ini Sussanto kembali bekerja di sebuah perusahaan di Indonesia. Ketika kembali dari Jepang dulu, ia sempat membuka usaha takoyaki. Namun, tutup karena pandemi. Hasil tabungan kerjanya digunakan untuk membuat rumah meski masih semi-jadi.
“Kadang dibandingin dengan orang yang pulang duluan dari Jepang atau Korea dan dia bisa beli ini itu. Nggak semua orang yang kerja di Jepang itu sesuai yang dipikirkan sejak awal. Menurut saya itu sih,” ungkap Sussanto.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Anis. “Kalau utang, mereka itu dateng ke Ibuku terus nanti dibilangin ke aku. Cuma ya nggak tak bolehin. Lha dulu Ibuku susah nggak ada yang ngutangi.”
Di Jepang, Anis mendapat gaji Rp16 juta sebulan. Gaji itu ia kumpulkan untuk melunasi utang saat berangkat ke Jepang dan sisanya untuk kebutuhan keluarga.
Anis saat ini tengah duduk di semester dua pada Jurusan Akuntansi di Universitas Terbuka. Biaya kuliah ia tanggung sendiri. Sedangkan untuk kegiatan belajar, dilakukan secara daring. Anis memang bercita-cita ingin kerja sambil kuliah. “Saya baru tahu kalau di UT bisa kuliah onlen, ngopo kok ra ket mbiyen,” kata Anis.
Akhir tahun 2022 ini, dia akan kembali berangkat ke Jepang untuk bekerja melalui program Tokutei Ginou dengan durasi lima tahun. Kecakapan bahasanya juga sudah naik pada tingkat N4. “Aku lewat LPK di Depok. Jadi, kalau sama transportasi ya habis 30 jutaan rupiah. Itu aku modal sendiri jadi udah habis tabungannya,” tuturnya.
Anis mendaftar sejak bulan April, tetapi izin kerjanya baru turun pada Oktober lalu. “Proses ke Jepang itu nggak secepat yang diinginkan. Setelah wawancara, ada jeda 3-6 bulan dan kita harus nunggu. Makanya kalau ada tetangga yang nanyain kenapa belum berangkat lagi, tak jawab aja arep rabi,” jelasnya.
Motivasi utama ia pergi tentu masih persoalan ekonomi. Di sisi lain, Anis mengaku menyukai lingkungan di Jepang yang nyaman. “Buang sampah aja dijadwal. Di sana aku juga nggak takut ada maling. Dulu pernah kehilangan kartu pass kereta lalu dibantu petugas dan nggak sampai lima menit udah bisa ketemu,” tuturnya.
Pesan bagi mereka yang ingin kerja di Jepang
Menurut Sussanto, secara materi dari bekerja di Jepang hanyalah sedikit. Khususnya bagi lulusan SMA/SMK yang berstatus pekerja magang. Tabungan yang dimiliki memang memungkinkan untuk membuat rumah atau membeli kendaraan. Namun, keahlian yang didapat di Jepang belum tentu dapat diaplikasikan di Indonesia.
“Lebih baik kuliah dulu ambil teknik, D3 permesinan, atau apa saja yang terkait sambil belajar bahasa Jepang. Setelah itu, baru berangkat. Nanti kalau pulang ke Indonesia baru ngelamar kerja dengan ijazah sarjana dan pengalaman kerja di Jepang. Itu malah jadi nilai tambah,” jelas Sussanto.
Anis memberikan tips lain. Menurutnya, penting untuk bisa mengambil hati orang Jepang. Salah satunya dengan caper alias cari perhatian. “Kalau kamu ngasih orang Jepang permen, hari berikutnya mereka bakal kamu ngasih roti. Biar hidupmu enak, ya harus caper.”
Terakhir, Anis berpesan untuk terus berkabar kepada teman dan keluarga mengenai kesulitan yang dihadapi selama bekerja di Jepang. Hal ini disampaikannya karena pada Kamis, (25/8/2022) lalu ada pekerja migran asal Cilacap di Jepang yang bunuh diri. “Jangan sampai berpikiran pendek. Semisal di kerjaannya ada kekerasan atau gajinya gak sesuai, lapor aja ke KBRI atau LPK dulu biar diurus,” pungkasnya.
Reporter: Delima Purnamasari
Editor: Agung Purwandono