Jika Anda merasa bahwa piala dunia edisi kali ini biasa saja, Anda tidak sendirian. Di Twitter, baik dalam forum sepak bola maupun lebih luas seperti menfess, kata-kata Piala Dunia 2022 Qatar terasa hampa dan datar, sering kali dilayangkan.
Mojok mencoba menyusun beberapa alasan mengapa Piala Dunia Qatar 2022 ini begitu senyap dan nggak ada gegap gempita. Mulai dari alasan yang global, nasional, hingga yang lokal.
Keanehan terpilihnya Qatar jadi tuan rumah
Publik merasa enggan dengan piala dunia kali ini karena bagaimana proses terpilihnya Qatar itu sendiri. 2 Desember 2010 dunia dibuat terkejut ketika Sepp Blatter, presiden FIFA saat itu, membuka sebuah kertas bertuliskan Qatar pada gelaran piala dunia tahun 2022. Tugas Qatar masih 12 tahun lagi saat itu, tapi para pandit dan media massa ramai-ramai mengabarkan kecurigaan dan ketakutan.
Pemilihan sebuah negara jadi tuan rumah memang selalu jadi perhatian. Politisasi di dalamnya biasanya cukup samar. Namun, pemilihan Qatar, politiknya dirasa oleh banyak pihak terlalu terang-terangan. Alasannya adalah sebulan setelah penobatan itu, pada Januari 2011 isi surel Sekjen FIFA saat itu, Jerome Valckle kepada Wakil Presiden FIFA, Jack Walner bocor ke publik.
Uang bermain di sini, tapi Blatter beralasan, negara lain pun juga menjadikan uang sebagai alasan utama. Mengatakan fasilitas Qatar tidak memadai untuk sepak bola pun cukup aneh karena pagelaran ini masih lama. Masih banyak waktu untuk mempersiapkan. Blatter bahkan berdalih, bahwa sepakbola banyak mengubah kehidupan di Timur Tengah namun tidak ada event sepakbola kelas dunia di sana.
Ucapan Blatter tidak bisa dikatakan benar karena sejak medio 2010, hubungan Blatter dan Timur Tengah cukup mesra dan banyak agenda sepak bola diadakan di jazirah Arab. Misalnya final gelaran FIFA Club World Cup 2010 antara Barcelona perwakilan UEFA melawan Estudiantes perwakilan CONMEBOL diselenggarakan di Zayed Sports City Stadium di UAE pada 2010.
Sebelumnya, venue FIFA Cup World Cup selalu berkutat di Jepang. Saat itu, hubungan Blatter dan Mohammad bin Hammam memang masih baik-baik saja. Siapa Mohammad bin Hammam? Ia adalah sekjen Asian Football Confederation atau AFC, berkewarganegaraan Qatar.
Pada tahun 2011, ia mencalonkan diri menjadi Presiden FIFA. Artinya, Hammam akan melawan Blatter yang notabene petahana yang tiga kali menjabat sebagai Presiden FIFA sekaligus “pemulus” negara-negara Timur Tengah mendapatkan panggung sepakbola dunia.
Hubungan Blatter dan Timur Tengah sejak itu pun renggang. Namun, politik kembali terjadi. Hammam mundur dalam pencalonan dikarenakan ia dipanggil Komisi Etik FIFA atas tuduhan telah melakukan suap. Hammam dicurigai terlibat suap kepada pejabat sepakbola di Afrika untuk membeli voting Qatar.
Mundurnya Hammam dari pencalonan dikarenakan terlibat suap pun ia bantah. Katanya, “Saya mengambil keputusan pencalonan menjadi katua FIFA karena ingin komit melakukan perubahan di FIFA.”
Saat itu, ia yakin bahwa dirinya tidak bersalah karena ia hanya memberikan hadiah. “Saling memberi hadiah adalah hal yang biasa dilakukan di FIFA dan bertukar hadiah dengan pengurus FIFA seharusnya tidak dikategorikan sebagai upaya melakukan suap,” katanya.
Komisi Etik FIFA menyatakan Hammam tidak boleh berkecimpung dalam dunia sepakbola seumur hidup. Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) memang menganggap bukti-bukti Hammam bersalah tidak cukup, namun tak mampu membendung Blatter memegang tampuk kuasa tertinggi FIFA untuk yang keempat kali.
Jika Anda kira Hammam penyebab utama dan dihukumnya dia berarti masalah selesai, Anda salah. Jika Hammam adalah babak pertama, maka Blatter adalah babak kedua. Dan terbongkarnya skandal FIFA adalah hasil laga.
Saat FIFA dan Blatter keblinger, Piala Dunia Qatar tetap berputar
Simon Brodkin, pada konferensi pers yang menghadirkan Sepp Blatter, pada Senin (20/7/15) di Zurich, Swiss, tiba-tiba mendekat ke panggung utama. Ia meletakkan setumpuk uang di depan meja Blatter sambil mengatakan, “Sepp, ini untuk Piala Dunia di Korea Utara 2026.”
Blatter pun memanggil penjaga. Sedangkan Simon membelakanginya sembari melanjutkan kata-katanya kepada para awak wartawan, “Saya senang bahwa saya pikir kami baru saja menyegel kesepakatan antara FIFA dan Korea Utara untuk Piala Dunia 2026.”
Komedian asal Inggris yang mempunyai nama karakter Jason Bent ini seperti sedang menyindir bahwa penyelenggaraan piala dunia bisa dibeli dengan uang, bukan tentang kesanggupan sebuah negara menjadi tuan rumah tanpa mengesampingkan sisi kemanusiaan.
Memang, sebelum dan setelah kejadian itu, tepatnya pada tahun 2015, merupakan tahun yang cukup memperlihatkan kebobrokan FIFA. Seperti yang disampaikan Davin Conn, jurnalis Guardian sekaligus penulis buku The Fall of the House of FIFA pada sebuah interview, “pada Mei 2015, FIFA mulai goyah.”
Nama-nama besar di FIFA keluar satu persatu dengan banyak dalih. Ada yang terlibat korupsi, pemerasan, dan masih banyak lagi. Amanda Davies, penyiar CNN Sport mengatakan bahwa nama-nama itu tidak hanya petinggi dalam sepakbola, namun juga pemilik bisnis yang besar.
Dalam series yang dikeluarkan Netflix baru-baru ini yang berjudul FIFA Uncovered, pada episode satu dijabarkan mulai dari proses penangkapan, penyelidikan, dan nama-nama yang terlibat. Termasuk nama-nama penting dalam Komite Eksekutif. David Conn mengatakan bahwa nama-nama itulah yang berpengaruh banyak kepada pemilihan Qatar jadi tuan rumah.
Setidaknya ada 47 dakwaan yang dilakukan orang-orang ini di antaranya tuntutan pemerasan, penggelapan, dan konspirasi pencucian uang. Bahkan, Loretta Lynch yang merupakan Jaksa Agung Amerika Serikat menyebutkan bahwa mereka gunakan tuntutan yang diasosiasikan oleh mafia atau kartel narkoba di Meksiko. Artinya, tingkat kejahatan FIFA setara dengan mafia dan kartel narkoba.
Di tahun yang sama, Blatter mundur dari tampuk jabatan karena tekanan dari berbagai pihak. Setelah kembali terpilih menjadi Presiden FIFA untuk yang kelima kalinya, bukan perayaan yang ia dapat, namun banyak pihak menuding Blatter sudah tidak layak. Banyak pecinta sepakbola yang mulai jera dan melakukan aksi di dalam maupun di luar lapangan. Termasuk yang melemparkan uang.
Penilaian ini lahir dari bobroknya federasi yang ia pimpin dan tuduhan bahwa ia telah melakukan transaksi ilegal senilai 2.06 juta Franc Swiss pada 2011. Uang yang dipertanyakan tersebut, dicurigai digunakan untuk menggandeng Michel Platini sebagai penasihat tekniknya.
Nama Platini memang legenda dalam sepakbola dunia terutama Prancis. Ia juga merupakan Presiden UEFA kala itu. Blatter membutuhkan banyak pengaruh guna meraup suara dan menjegal Muhammad bin Hammam yang saat itu dianggap lawan kuat untuk menggesernya. Blatter memang mundur dari FIFA pada Juni 2015, namun penyelidikan yang berjalan alot itu berakhir pada Juli 2022 dan menghasilkan bahwa Blatter bebas dari dakwaan.
Pelanggaran HAM dan darah migran berceceran saat pembangunan
Selain masalah politik, korupsi dan betapa menyebalkan FIFA dalam menangani sepakbola, lesu piala dunia edisi ini juga disebabkan masalah kemanusiaan yang terjadi selama masa persiapan di Qatar. Di tahun Qatar terpilih, yakni 2010, sejatinya mereka tidak mempunyai fasilitas sepakbola yang baik. Mereka benar-benar memulai pembangunan dari nol mulai dari akses sepak bola hingga sarana penghubungnya.
Qatar memang menjadikan uang sebagai daya pikat dan komitmen menjadi tuan rumah yang bertanggung jawab. Namun, Qatar tidak bisa melakukan pembangunan seperti dalam naracerita Bandung Bondowoso saat membangun Prambanan dalam sehari oleh bantuan para jin. Qatar, punya uang, namun tak punya tenaga ahli dan tenaga kasar. Maka datanglah berbondong-bondong para migran.
Dilansir dari Amnesty tanpa dua juta pekerja migran, Piala Dunia 2022 tidak akan mungkin diadakan di Qatar. Laki-laki dan perempuan, kebanyakan dari Afrika dan Asia. Dalam satu dekade itu pula eksploitasi dan pelecehan terhadap para pekerja migran ini terjadi.
Qatar nggak punya semacam sistem kontrol yang baik mengenai hak dan kewajiban para pekerja migran. Dalam rentan waktu itu, kematian demi kematian dilaporkan. Namun, berapa jumlah korban secara pasti belum diketahui. The Guardian melaporkan ada 6.500 pekerja migran yang meninggal. Sedangkan The Washington Post melaporkan sekitar 1.200 pekerja tewas.
Yang jelas penyebab kematian bukan hanya kecelakaan kerja dan cuaca ekstrem di Qatar yang panas, namun juga sistem keras bernama Kafala—yakni sistem yang secara hukum mengikat pekerja asing dengan majikan mereka.
Atau ringkasnya, jiwa dan raga tenaga kerja migran ini mempunyai sponsor atau orang yang memberikan izin—istirahat atau tidak, libur atau tidak. Sistem ini sudah ada sejak 1950-an ketika minyak mulai menjadi komoditi. Awalnya para pekerja hanya dari dalam Qatar, namun pada 1970-an berdatangan dari Asia dan Afrika.
Pemilihan Qatar jadi tuan rumah piala dunia juga sempat dikhawatirkan menambah banyak populasi di negara ini yang datang sebagai migran. Ketakutan ini jadi nyata. Dilansir dari Panditfootball yang datanya berasal dari Amnesti Internasional, populasi Qatar telah tumbuh hampir dua pertiga, dengan jumlah pekerja migran meningkat sejak tahun 2010.
Sedang perlindungan hukum bagi tenaga kerja di Qatar bisa dibilang lemah. Baru pada tahun 2015, pemerintah Qatar mengeluarkan UU Ketenagakerjaan No. 21 yang membahas para pekerja bebas dari Kafala. Namun UU ini diganti oleh UU No. 1 Tahun 2017 dan menghapus para migran yang terlepas dari sistem Kafala.
Dunia tidak tinggal diam. Pemerintah Qatar kudu menandatangani perjanjian dengan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pada tahun 2017 untuk masalah ini. Perjanjian dengan ILO itu ada lima poin penting, yakni reformasi sistem sponsor, akses ke keadilan, suara pekerja, kesehatan dan keselamatan, serta gaji dan rekrutmen.
Namun, hal ini sudah telat. Walau angka kematian belum bisa dipastikan dengan jelas, yang pasti piala dunia tahun ini penuh dengan darah. Ketika Kylian Mbappe mencetak gol, rasa ingin bergembira tentu nggak lapang karena sama saja kita menari di atas ratusan mayat para migran.
Sesak tragedi kanjuruhan dan kebingungan aturan nobar
Indonesia memang bukan langganan masuk piala dunia. Namun urusan menyambut piala dunia, Indonesia bisa dikatakan selalu antusias. Mulai dari edisi Afrika Selatan hingga Rusia atau bahkan sebelum-sebelumnya. Di Twitter banyak yang bilang bahwa sepi ini hanya imajinatif belaka. Namun, setelah mendengar alasan mereka yang enggan menonton piala dunia kali ini, memang cukup mendasar.
Tobias (27) mengatakan bahwa ia masih kepikiran dengan Tragedi Kanjuruhan. “Masih enggan nonton atau main bola,” katanya. Tragedi besar kedua dalam dunia sepakbola ini, bahkan sampai saat ini belum menghasilkan kejelasan. Banyak pihak masih enggan bertanggung jawab dan saling melempar kesalahan.
Laki-laki yang juga pemain bola tarkam ini mengatakan bahwa FIFA pun miskin empati. “Ke sini malah fun football, kan,” terangnya. Presiden FIFA saat ini, Gianni Infantino datang ke Indonesia justru melakukan kegiatan fun football bersama jajaran PSSI di Stadion Madya, Jakarta, Selasa (18/10).
Bahkan, sampai The Athletic menuliskan bahwa mereka tidak peka. Beberapa jam sebelum mereka fun football, korban Tragedi Kanjuruhan bertambah satu, yakni Andi Setiawan. “Federasi Indonesia dan dunia sudah miskin empati, aku jadi males (nonton piala dunia) karena itu berurusan dengan FIFA,” kata Tobias.
Fun football antara petinggi FIFA dan PSSI di stadion Madya tadi malam. ⚽ pic.twitter.com/46vn0VVFJT
— Extra Time Indonesia (@idextratime) October 18, 2022
Selain karena masih pilu dengan Tragedi Kanjuruhan, alasan lainnya adalah ketidakjelasan aturan nobar atau nonton bareng.
Kabar beredar di media sosial dengan cepat, yakni potongan wawancara antara RRI dengan Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kaltim, Muhammad Faisal. Tulisan yang diunggah oleh website Diskominfo itu disalahartikan oleh masyarakat. Tidak hanya Kaltim, tetapi menyebar ke daerah lain. Banyak yang menganggap, bahwa izin mengadakan nonton bareng Piala Dunia Qatar 2022 harus melalui izin dari Diskominfo daerah masing-masing.
Muhammad Faisal melakukan klarifikasi. Dilansir dari Niaga Asia ia mengatakan bahwa regulasi penyiaran di Indonesia telah berlaku sejak dulu. Kaitannya dengan siaran Piala Dunia 2022, proses perizinan dilakukan kepada pemilik hak siar, bukan Diskominfo.
Untuk hak siar eksklusif Piala Dunia 2022 Qatar di Indonesia, saat ini dipegang oleh grub Surya Citra Media (SCM) dan PT Indonesia Entertainment Group (IEG) selaku anak usahanya. Nobar yang dikomersialisasi, misalkan kafe yang mematok tarif untuk pengunjung yang datang, harusnya mendapatkan sanksi. Untuk nobar yang bersifat non-profit, misalkan yang diadakan di desa-desa, hal ini masih menjadi perdebatan dan kebingungan.
Dio (27) selaku pemilik angkringan kecil di daerah Imogiri, enggan untuk mengadakan nobar di warungnya. “Membedakan antara yang berprofit dengan yang tidak, aku masih bingung,” jelasnya. Dio tak mau ambil risiko. Ia lebih baik memutar lagu-lagu seperti biasanya ketimbang menyajikan layar tancap untuk memutar laga piala dunia.
Menurut Dio, yang namanya mengadakan nobar di kafe itu ya pasti bakalan profit. Orang datang untuk menonton, pasti membeli makanan dan minuman. “Sedangkan kalau harus izin dulu, prosesnya bagaimana? Ribet dan lama atau enggak?” katanya.
Direktur PT. Indonesia Entertainment Group (IEG) Handy Lim mengatakan bahwa menarik iuran atau tidak, semua harus izin. Sedangkan cara izin, yang mengadakan acara nobar harus menghubungi PT. IEG.
Dilansir dari Jawa Pos pemantauan dan pengawasan penyiaran Piala Dunia 2022 akan dilakukan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Bagi pihak yang terbukti bersalah menayangkan konten secara ilegal, akan dikenai Pasal 118 Ayat (1) juncto Pasal 25 Ayat (2) UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan sanksi pidana maksimal hingga 4 tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar.
Bagi pengusaha kafe, agaknya mengadakan nonton bareng menjadi sesuatu yang agak ribet lantaran mereka harus menempuh izin terlebih dahulu. Hal ini yang menjadikan beberapa kafe yang biasanya mengadakan nobar, pada pagelaran piala dunia kali ini memilih untuk tidak.
Dua kubu nobar piala dunia di desa
Cahyadi, salah satu warga desa yang berada di Kapanewon Imogiri, tetap ingin mengadakan nobar. Baginya, nobar itu denyut keseruan laga sepak bola. “Nggak bakalan aku jadikan duit,” katanya. Masih banyak warga desa yang belum tahu tentang aturan perihal hak siar. Sosialisasi ini rasanya belum menyentuh sampai ke akar rumput.
Bagi laki-laki yang kini bekerja di firma jasa ini, nobar di desa sudah rutin diadakan. Mau itu piala dunia, liga-liga Eropa atau piala antar benua, tetap saja ramai. “Nobarnya pun kecil-kecilan aja,” jelasnya. Menurut Cahyadi, pergeseran jadwal piala dunia jadi pertengahan musim kompetisi liga saja tidak dirasa cukup signifikan.
Untuk menjelaskan antusiasme warga desanya, Cahyadi punya teori tersendiri. Di desanya, yang masih mau nonton bareng di desa, kebanyakan generasi menengah dan atas saja. Asumsinya, generasi muda terlalu lelah untuk begadang dan menghabiskan waktu untuk nonton bola.
Cahyadi masuk dalam generasi tengah. Yakni generasi yang iklim pendidikan sekolah belum ketat. Katanya, pulang sekolah ia masih sempat menonton Liga Indonesia pukul 3 sore. Malamnya, setelah pendidikan baca dan tulis Al-Quran di desa, ia juga masih sempat nonton Liga Indonesia yang digelar pukul 7 malam. Setelah belajar, ia sempat masih bisa nonton Liga Inggris walau hanya setengah laga.
Menurut Cahyadi, generasi yang suka nonton sepak bola akan berkurang. Pendidikan yang ketat dan padat, menjadi faktor utama seseorang sudi untuk menonton sepak bola sampai malam. Ia memberikan contoh, anak sekolah era sekarang pulang sekolah sore hari, artinya ia tidak bisa menonton Liga Indonesia jadwal sore.
Belum lagi jika ada tambahan belajar di luar dan generasi ini akrab dengan pulang malam karena mengejar pendidikan. “Liga Indonesia bahkan sekarang memulai laga pukul 8.30 malam. Terlalu capek untuk mereka yang baru pulang belajar,” jelas Cahyadi. Yang suka sepak bola bukan berarti musnah, namun berkurang amat signifikan karena lelah dan jadwal semrawut dari PT.LIB—selaku pengatur jadwal.
Lelah akan terakumulatif dan jadwal sepak bola malam akan terlewat karena generasi muda ini perlu istirahat dan mengulang hal yang sama di esok hari.
Jadwal Liga Inggris memang dimajukan untuk menggaet pangsa pasar Asia. Namun, sore-sorenya Liga Inggris, paling awal adalah jam 6.30 pada hari Sabtu. Menurut Cahyadi, di akhir pekan lebih baik istirahat, kumpul keluarga atau bermain gim bersama teman.
Di desanya, yang bersiap untuk nobar hanya generasi tengah dan atas, sekitar 25 tahun ke atas. Bagi laki-laki lulusan Fakultas Fisip yang sering jadi panitia nobar di desa, ia tahu bahwa ada informasi pelanggaran HAM selama pembangunan di Qatar.
“Kalau generasi atas, beberapa ada yang tahu, namun nggak mempengaruhi antusiasme nonton. Kalau generasi muda, faktor pertama sudah mulai berjarak dengan acara nobar, ditambah faktor kedua yakni tahu kebusukan piala dunia edisi ini.”
Dedi Irawan (28) mempunyai alasan lain. Ia mengatakan bahwa di kampungnya tidak banyak menggelar nonton bareng. Di desanya, hype sepakbola masih dalam tahap klub—liga-liga besar di Eropa. Hadirnya piala dunia di tengah musim kompetisi malah seperti jeda internasional yang sering mengganggu ketika penggemar bola sedang fokus nonton tim idola.
“Di sini (daerah rumahnya di Giwangan) sudah nggak ada lagi lomba-lomba menyambut piala dunia,” katanya. Dulu, sering kali stasiun televisi mengadakan lomba hias gapura. Menurut cerita Irawan, Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan adalah puncak kemeriahan. Banyak lomba, stasiun televisi mengitari Jogja dan semarak piala dunia begitu terasa. “Sekarang, ya, cuma nonton-nonton aja. Dan cari tau yang menang siapa,” tutupnya.
Sebenarnya pendekatan ini tidak bisa dijadikan studi yang adil menengok saya hanya menggunakan dua desa saja sebagai patokan data. Antusiasme piala dunia memang menjadi pertanyaan besar di media sosial, namun jika dilihat dari satu data dengan pendekatan dua desa saja, isu tentang pelanggaran HAM sedikitnya tidak mempengaruhi antusiasme nonton bareng piala dunia edisi kali ini. Hal ini juga bukan salah penikmat karena pemberitaan tentang cacat Qatar dalam menyelenggarakan piala dunia, tak pernah dikabarkan secara gamblang ke media.
Mungkin juara piala dunia mungkin bisa jatuh ke siapa saja. Namun, yang kalah hanya satu nama, yakni kemanusiaan.
Penulis: Gusti Aditya
Editor: Agung Purwandono