Bagaimana rasanya punya tetangga atau teman kos yang suka muter musik dengan volume kencang? Mereka, orang-orang yang hobi muter musik keras-keras punya alasan tersendiri mengapa melakukannya.
Mojok bertemu dengan beberapa orang yang hobinya memutar musik dengan volume kencang. Ada yang karena ingin suasana kafe di kamar kosnya, hingga meneruskan hobi keluarga yang suka karaoke.
***
“Kami anak-anak kos sering dibangunin sama koplo Bapak Kos saat weekend,” kata Niara (28), mengenang masa-masa indekos di Bandung tahun 2019 sampai 2020. Kebetulan yang kos di tempat itu ia dan teman-temannya dari Sumatra. Ia menyebutnya dengan gegar budaya. Ia tak punya pilihan selain harus mendengarkan musik koplo dari lantai 1, kediaman bapak kos yang hobi nyetel musik keras-keras.
“Terganggu sih tapi takut negur. Waktu itu koplo lagi naik daun, terus kami orang Sumatra yang berasa di kamar atas kurang suka koplo. Yang ngekos juga kebanyakan ukhti-ukhti,” terangnya. Cuma karena keseringan mendengar jedag-jedug koplo, mau tak mau mereka perlahan ikut menikmati.
“Joget dikit-dikitlah,” katanya tertawa.
Bapak kos yang suka dengar musik koplo di akhir pekan
Suatu ketika ia hendak bayar kos. Kebetulan sekali Bapak Kos tengah asik mendengarkan sebuah lagu koplo dari tayangan live. Sejak hari itu Niara tahu, bapak kosnya tidak memutar musik dari official video melainkan dari rekaman panggung ke panggung, lengkap dengan orang nyawer, dan suara penonton yang riuh.
“Pantes suaranya berisik orang-orang nyanyi, ternyata diputarnya dari musik orang live alias model pesta rakyat, gitu,” ujarnya yang bisa membayangkan bagaimana kalau beneran ikut pesta rakyat.
Sebenarnya saya ingin mewawancarai bapak kos yang bikin suasana kos menjadi meriah karena irama jedag-jedug dari musik yang pake sound system setiap akhir pekan. Cuma sayangnya ia tidak bersedia. Bapak kos cuma bilang bahwa dirinya sudah tobat. Katanya, sih, malu sama masjid yang berdiri tepat di belakang rumahnya.
Saya akhirnya bertemu dengan tiga orang lain yang mengaku hobi nyetel musik kencang. Bukan cuma saat akhir pekan tapi juga di waktu-waktu malam sehabis isya atau pulang kuliah. Ada yang sound system-nya sampai dipinjam tetangga, ada juga yang harus berurusan dengan pihak berwajib.
Nyetel musik kencang untuk menghadirkan suasana kafe
“Suasananya berasa di kafe kali, ya. Soalnya sambil ngerjain tugas, beda tempat doang, biar nggak stres-stres banget,” kata Adzra (20). Mahasiswa Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto ini mulai hobi nyetel musik kencang saat semester dua.
Adzra tak pakai sound system, ia memanfaatkan perangkat laptopnya yang tidak perlu diatur 100 persen pun sudah bisa membuat seluruh penghuni kos mendengar musik-musiknya. Kos yang ia tempati tak kedap suara, sedangkan ia suka menyetel musik dengan pintu dan jendela terbuka.
Playlist-nya berisi lagu-lagu dari One Direction, Bruno Mars, Taylor Swift, Cold Play, Adele, Dewa19, Utopia, dan Last Child. Kamar kosnya berada di lantai dua bagian pojok belakang, bertetangga dengan tujuh kamar lainnya di lantai yang sama dan sepuluh kamar lain di lantai bawah.
“Mereka malah request lagu soalnya, penghuni kamar lantai atas udah temenan dekat jadi nggak negur apa-apa,” kata Adzra.
Sebenarnya awal-awal dia merasa khawatir kena tegur penghuni lain. Namun, Adzra mengetes dengan coba-coba memutar musik kencangnya di ruang tamu saat belajar bersama. Ia tak menyangka, penghuni lain malah minta ia memutar playlist lagu tertentu.
Penjaga kos juga tak masalah dengan kebiasaan Adzra yang memutar musik kencang hampir setiap malam. Akan tetapi, Adzra selalu bersiap apabila suatu saat ada yang komplain karena terganggu.
Kebiasaan yang jadi ‘alarm’ keadaan buat orang-orang sekitar
Bagi Adzra, kebiasaan ini bukan sekadar hobi memutar musik keras-keras. Karena kalau ia sedang stres, ia justru tidak memutar musiknya kencang-kencang. Dalam kondisi hati galau, Adzra lebih suka pakai headphone.
Hampir semua teman-teman Adzra memahami ‘alarm’ ini. Sehingga apabila Adzra tiba-tiba tak berisik dengan musiknya, mereka pasti bertanya kondisinya.
“Kalau mereka lihat lampu kamarku nyala dan aku di kos tapi nggak nyalain musik seharian, mereka nanya apa aku baik-baik aja,” terang Adzra. Beda lagi kalau lampu kamar Adzra memang tak hiduo, itu tandanya ia sedang tak di kos.
Satu keluarga hobi nyetel musik kencang karena hobi karaoke
Aji (23) mengetahui hobi karaoke bapak ibunya sejak masih kecil, sekarang ia meneruskan hobi tersebut. Hobi itu awalnya dari bapaknya yang bernama Lukman (48), benar-benar tipe orang yang menikmati musik kalau suaranya kencang. Meskipun hanya ingin memutar satu lagu, ayahnya tetap pakai sound system karena rasanya kurang puas kalau hanya lewat speaker handphone.
Kalau ibunya lain lagi, ia lebih banyak pakai sound system untuk memutar senam kebugaran jasmani. Kadang-kadang untuk mendengar lagu pop lawas juga.
“Bapakku suka dangdut, campursari, dan koplo. Pokoknya bapak lebih sering nyalain daripada ibu,” kata Aji yang rumahnya berada di Gresik.
Meski tak sebesar perangkat suara orang hajatan, tetapi Aji yakin suara musik dari rumahnya mampu menggetarkan dinding 2-3 rumah ke samping kanan kiri dan rumah-rumah yang berhadapan.
“Kalau weekend di rumah nyalain, sih. Seminggu 3-5 kali. Cuma randomnya bapakku kadang nyalain pas isya, kayaknya ayahku stress, sih,” katanya dengan muka datar karena sudah terbiasa dengan tingkah bapaknya. Ayah Aji memang sudah hobi karaoke sejak muda untuk melepas rasa stres, ia pun selalu memperbarui perangkat sound systemnya.
Perangkat sound system dipinjam buat senam ibu-ibu kompleks
Sebagai anak yang menjadi penerus kesukaan memutar musik kencang dari orang tua, Aji nggak merasa gimana-gimana sama perilaku orang tuanya. Terlebih lagi karena tetangganya memang tak pernah protes.
“Tetangga juga suka nyalain musik pake sound system, tapi masih wajar. Misalnya pas weekend, Sabtu atau Minggu pagi,” kata Aji. Ia tak seberapa heran dengan tetanggannya memutar, sebab pemilihan waktunya masih terbilang wajar. Namun, tidak dengan ayahnya yang memutar musik di waktu-waktu yang masuk nalar manusia.
Aji sebenarnya heran, alih-alih protes, para tetangga satu gang malah pernah pinjam perangkat sound system buat pengeras musik senam. Jadi mereka senam bersama pakai sound system yang hari-hari memeriahkan suasana gang dari kediaman Aji.
Aji bercerita kalau bapaknya memang bekerja di swasta tetapi punya banyak waktu untuk mendengarkan musik. Satu-satunya orang yang tidak mendengarkan musik pakai sound system di rumah Aji hanyalah adiknya. Ya, tapi sudah kebiasaan jadi dia pun tak pernah protes apa-apa.
Ingin hadirkan suasana konser dan bioskop di kamar
Satu lagi orang yang hobi nyetel musik keras-keras sebut saja namanya Ripan. Pria yang tinggal di kawasan Jabodetabek, ini berasal menyetel musik keras-keras untuk menghadirkan suasana teater bioskop dan konser di kamarnya. Hobi memutar musik dan film dengan volume kencang sudah dilakoni sejak kecil.
“Turning point-nya waktu masih kecil, waktu nonton film terus bokap suruh kencangin, dari normalnya 20-30 jadi 40/100 dan terus bertahap 80/100,” kata Ripan.
Kebiasaan ini terus berlangsung hingga kuliah. Hip hop jadi musik paling ia sukai. Ia nyetel dari perangkat laptop dan sering merasa kalau suara di kamarnya biasa saja, tetapi rupanya suara musik maupun film yang ditonton kedengaran sampai kamar lain.
“Jam nyetel musiknya nggak tahu waktu, se-mood-nya aja,” kata Ripan santai.
Pintu kamar ditempeli pesan supaya nggak berisik
“Zaman masih kuliah pernah ada yang nempelin sticky note (disuruh jangan berisik),” ujar Ripan. Alih-alih mengecilkan volume musiknya, Ripan malah balas teriak-teriak di lorong kosan dan menantang orang yang menempelkan pesan.
“Kalau ada yg mau komplain sini keluar jangan pengecut nempel-nempelin gitu doang,” teriaknya di lorong kosan kala itu. Menurut Ripan, sampai hari ini orang tersebut nggak pernah muncul lagi untuk menempelkan pesan serupa.
Diakui Ripan, ia memang tak dekat dengan penghuni kos lain. Ia pun berani memutar film dan musik kencang karena merasa jadi penghuni kosan paling lama alias yang dituakan di kos tersebut.
Saat ini, ia sudah jarang di kosan jadi tidak sesering dulu menjalankan hobi memutar musik dan film dengan volume kencang. Cuma tetap saja, bagi Ripan nggak ada yang perlu diubah, selama ia ingin melakukannya, ia akan melakukannya seperti biasa.
Urusan nyetel musik di kafe
Urusan nyetel musik juga rutin dilakukan Halgi (22). Namun, itu karena ia memang bekerja di bagian live music untuk sebuah kafe di Ciracas, Jakarta Timur.
Pihaknya pernah kena protes oleh dua keluarga yang merasa terganggu sampai melibatkan RT, RW, dan Satpol PP. Salah satu orang yang protes itu biasa dipanggil Budhe, rumahnya berada di seberang kafe terpisah oleh sebuah jalan.
“Si Budhe ini minta diturunin terus volume musiknya sampai kecil banget, istilahnya kalau diturunin terus itu mah mati musiknya,” kata Halgi. Masalahnya salah satu daya tarik kafe adalah live music dan mustahil kalau volume musiknya terlalu kecil.
Anak band yang mengisi live music di sana pernah kena damprat hingga dapat makian oleh anak Budhe. Alhasil pihak kafe dan Budhe jadi perang dingin.
Suatu ketika anak Budhe juga pernah protes, “Ini suara jedag-jedugnya kok masih kekencangan,” kata Halgi menirukan. “Bilangnya jedag-jedug padahal nggak ada live music pada hari itu, bikin bingung,” keluhnya.
Sebelumnya kafe tempatnya bekerja sudah dapat izin keramaian dari RT RW. Mereka juga rajin ngasih jatah istilahnya sebagai ‘uang keamanan’. Namun, saat ada protes warga, RT RW malah ikutan protes bukannya menengahi kegaduhan.
Karena melibatkan banyak pihak, kafe tempat Halgi bekerja mencari win win solution bagi kedua belah pihak. Mengecilkan volume hingga pindah ke lantai 2. Tapi protes tetap berlangsung.
Live music adalah nyawa suasana kafe
Meski pihaknya sudah mengantongi izin dari RT RW, kafe yang tidak diperkenankan oleh Halgi untuk disebutkan namanya itu tak tutup mata pada protes. Namun, bisnis harus tetap berjalan karena live music adalah nyawa suasana kafe.
Live music dimainkan sampai jam 9 malam, volume diturunkan hingga Halgi pun merasa, “Lah, ini orang nyanyi apa saking nggak kedengarannya,” ujarnya. Halgi pun pernah meminta pihak Budhe sebagai tetangga terdekatnya untuk memvideokan sebesar apa suara yang mereka terima dari dalam rumah, tapi malah ngelak atau tak digubris.
“Kita tetap mengindahlan norma-norma sosial, bukan asal nyelonong aja,” pungkas Halgi.
Halgi bekerja di sana selama lima bulan dan kasus ini berakhir tanpa kejelasan. Ia meyakini ketidakjelasan hukum membuat kafe dan tetangga terdekat mereka jadi salah-salahan perkara nyetel musik.
Reporter: Ussy Sara Salim
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Pengalaman Pahit Menjadi Panitia Acara Mahasiswa, Tombok hingga Konser Gagal
Cek berita dan artikel lainnya di Google News.