Sekelompok mahasiswa di Jogja mendirikan perusahaan rintisan di bidang energi baru dan terbarukan. Namanya Gepo Energy. Mereka melakukan inovasi yang menggabungkan genting rumah dan panel surya. Mojok berkesempatan berbincang dengan dua anggotanya. Berikut ini liputan lengkapnya.
***
“Potensi energi surya itu besar banget, Mas!” tegas Muhammad Rafif Taqiyuddin (20) dengan muka yang serius, Selasa (7/2/2023).
“50 persen dari total potensi energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia adalah tenaga surya. Tapi kita belum maksimalkan. Tahun 2021 aja potensi yang baru dikembangkan sekitar 0,8 persen.”
Rafif lantas menceritakan bahwa negara kita masih ketinggalan dari negara lain kalau bicara soal EBT. Jerman dan Jepang sudah lebih dulu memanfaatkannya. Padahal Indonesia adalah negara tropis yang punya banyak sumber EBT.
Satu hal yang ia apresiasi adalah fakta bahwa Indonesia berencana akan melakukan pensiun dini terhadap PLTU batu bara pada 2056. Ini bertujuan untuk mencapai target nol persen emisi di tahun 2060. Oleh karena itu, menurutnya percepatan transisi energi mutlak dilakukan.
“Jadi memang harus anak muda yang berinovasi agar gimana sih caranya target (zero emission) terpenuhi. Kalau bukan kita siapa lagi?!” tegas Rafif.
Gepo dan Transisi Energi
Rafif masih ingat betul momen Ujian Akhir Semester (UAS) pada awal Desember 2022. Ia gelisah. Pandangannya tertuju pada monitor laptop. Fokusnya terbagi antara persiapan ujian dan pengumuman Top 3 kompetisi Pertamuda Seed and Scale 2022 yang diselenggarakan PT Pertamina.
“Pas pengumuman itu kaget banget. Kita masuk Top 3. Ini kali kedua kita ikut kompetisi tersebut dan berhasil. Nggak lama setelah itu ada undangan dan kita dapat pendanaan Rp100 juta.”
“Nggak terlintas di pikiranku Gepo Energy bisa sebesar ini. Surprise aja. Padahal dulu ikut ini karena FOMO (fear of missing out-red),” ungkap pemuda asal Cilegon ini dengan senyum yang merekah saat Mojok menemuinya di Subdit Pengembangan Karakter Mahasiswa UGM.
Rafif merupakan mahasiswa Teknik Fisika angkatan 2021. Seperti mahasiswa baru pada umumnya, saat itu ia masih mencari-cari kesibukan dengan mengikuti lomba dan riset inovasi. Kampus tempatnya belajar memang memfasilitasi hal ini.
Menurut penuturannya, support system di kampus berjalan dengan baik. Ada kelompok-kelompok mahasiswa yang riset dan mengembangkan produk inovasi, serta ada pula mentoring dengan dosen. Fasilitas laboratorium pun memadai.
Namun, ia tak menyangka kesehariannya kini banyak bergelut dengan dunia EBT dan transisi energi. FYI, Rafif kini menjabat sebagai Chief Marketing Officer (CMO) Gepo Energy. Sebuah perusahaan rintisan yang bergerak di bidang energi hijau. Ia mendirikan usaha ini bersama 3 teman kampusnya.
Produknya istimewa. Genting photovoltaic. Ukurannya 30×40 cm dan bisa menghasilkan tenaga listrik karena menggabungkannya dengan panel surya.
Genting panel surya
“Gepo itu lahir dari ide Mas Latief. Ia penasaran mengapa genting itu nggak jadi satu sama panel surya. Sesimpel itu. Ide itu akhirnya kita develop sampai sekarang,” kata Rafif.
Latief Nurmahmudi (21) tak lain adalah Chief Executive Officer (CEO) Gepo Energy. Ia adalah orang pertama yang mencetuskan ide genting photovoltaic. Latief dan Maulana Istar (20) adalah anggota paling awal tim Gepo Energy.
Ide genting photovoltaic sendiri datang dari kegelisahan Latief tentang panel surya konvensional. Ia risih melihat panel surya yang terlihat ribet.
“Saya sendiri melihat hal [panel surya] tersebut cukup mengganggu pandangan karena menambah ruang dan berat pada atap,” ucap Latief yang saat itu sedang berada di Manado menceritakan asal-muasal produk Gepo kepada Mojok.
Ia kemudian membuat terobosan untuk menggabungkan panel surya dengan genting sehingga atap rumah bisa multifungsi. Ide ini terus bergulir.
Mereka membuat proposal dan mengirimkannya ke ajang Pertamuda 2021. Hasilnya, proposal mereka tembus Top 50 dan berkesempatan dapat mentoring dari ahlinya.
“Pada saat mentoring ini kemudian Mas Latief mengajak saya dan Mas Nifwan untuk bergabung,” kata Rafif.
Maka terbentuklah tim yang anggotanya adalah Lathief Nurmahmudi Wijaya (Teknik Elektro UGM), Maulana Istar (Teknik Elektro UGM), Muhammad Rafif Taqiyuddin (Teknik Fisika UGM), dan Nifwan Arbi Nugroho (Teknik Nuklir UGM). Mereka menamakan diri dengan Gepo yang merupakan singkatan dari genting photovoltaic.
Mematangkan produk
Tim Gepo Energy hingga kini masih terus menyempurnakan prototipe produknya. Selain itu, mereka juga aktif mengikuti berbagai lomba setelah langkahnya kandas di ajang Pertamuda 2021.
Mereka ikut beberapa ajang seperti Techno Space yang diadakan oleh Fakultas Teknik UGM dan memenangkan kategori best team.
“Kita dapat dana Rp5 juta. Pada fase ini produknya hanya genting dan panel surya saja. Belum ada inovasi tambahan. Hadiah tersebut kami siapkan untuk membuat prototipe produk,” kata Rafif.
Lalu mereka juga ikut Program kreativitas mahasiswa (PKM). Kompetisi ini menyediakan dana prototipe. Pada kompetisi PKM inilah Gepo menambahkan teknologi self-cleaning glass pada produknya.
Inovasi ini berangkat dari fakta debu yang menempel pada panel surya bisa mengurangi efisiensi penyerapan daya. Tim Gepo melindungi produknya dengan Titanium Dioksida (TiO2) yang bersifat fotokatalistik dan anti-debu.
Jadi kalau ada debu organik yang menempel di situ akan hilang secara alami. Sementara tim Gepo juga menghubungkan antara genting dengan aplikasi pihak ketiga untuk memonitor penyerapan daya.
“Karena menggunakan IoT, kita bisa monitor lewat gawai,” papar Rafif.
Satu buah Gepo mampu menghasilkan 12,7 Wp dengan penyinaran yang optimal di siang hari. Agar bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga, diperlukan 80 sampai 90 buah produk Gepo.
“Setelah prototipe jadi lalu kita lolos Pimnas PKM di Malang. Saat kita bootcamp iseng-iseng daftar Pertamuda lagi tahun 2022. Kali ini ada tambahan self-cleaning glass tadi. Pimnas kita nggak dapat juara, tapi Pertamuda 2022 kita tembus Top 3,” ucap Rafif bangga.
Pada ajang Pertamuda 2022, Gepo Energy berhasil menyisihkan 2.445 startup yang berasal dari 386 perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia.
Melebarkan sayap
Gepo Energy kemudian mulai melakukan transformasi menjadi sebuah perusahaan teknologi. Tim merekrut 5 anak muda lainnya dari berbagai latar belakang. Organisasinya berkembang menjadi 4 divisi: operasional, finance, marketing, teknologi dan produk.
Gepo Energy kini tengah fokus dengan legalitas perusahaan, hak paten, dan prototipe yang bisa cocok di pasaran. Mereka mulai memperhatikan TKDN dan melakukan standarisasi produk. Gepo pun mulai gencar kampanye pentingnya menggunakan EBT di Indonesia agar masyarakat melek dengan isu transisi energi.
Sementara itu, Rafif kini sedang mempelajari Perpres 112 tahun 2022 tentang pengembangan EBT dan transisi energi di Indonesia. Selain itu, aturan PLN terkait PLTS atap juga ia pelajari.
“Mau nggak mau Gepo harus ngikutin. Kita sedang pelajari aturan tersebut buat nanti ke depannya kita mau ngapain agar tidak melanggar,” tegasnya.
Seperti yang kita tahu PLN hanya membolehkan pemasangan PLTS atap sebesar 10-15 % dari kapasitas terpasang. Namun, baru-baru ini Kementerian ESDM mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2021 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang Terhubung Pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Menteri tersebut menetapkan kapasitas maksimal sistem PLTS atap bisa 100 persen. Ini tentu saja menjadi angin segar.
“Jadi Insya Allah nanti [aturan dari pemerintah] nggak akan menghambat Gepo,”
Rencana Gepo Energy go public
Produk Gepo Energy rencananya akan go public pada 1 hingga 2 tahun ke depan. Harganya sekitar Rp190 ribu per satuan genting yang berisi 4 panel surya. Namun kemungkinan ada penyesuaian harga menjadi lebih murah jika produksinya sudah massal.
Sementara itu, peneliti di Pusat Studi Energi UGM, Irawan Eko Prabowo, mengatakan bahwa pelaku usaha sebenarnya melihat produk ini sangat prospektif. Masyarakat akan membutuhkan barang ini di masa depan.
“Kalau panel surya yang sekarang tersedia di pasar kan biasanya ter-install di atas genting jadi dua kali kerja,” ujarnya kepada Mojok, Rabu (21/2/2023).
Maka menurutnya jika produk ini bisa masuk ke pasar dengan demikian setiap pembelian genting bisa langsung menghasilkan energi tanpa harus dua kali kerja. Hanya saja, Irawan menegaskan, memang dari segi harga untuk di Indonesia mungkin akan sedikit susah bersaing.
“Dari harga mungkin akan lebih mahal jika dibandingkan dengan lempengan panel surya yang sekarang. 5 tahunan lagi saya kira kalau sudah masuk mass production kemungkinan akan cukup menekan biaya,” jelasnya.
Menurut Irawan di Indonesia sendiri inovasi ini seperti ini baru beberapa saja. Tapi kalau di luar negeri sudah banyak yang melakukan salah satunya Tesla Roof.
“Teknologi panel surya itu sebetulnya sudah stabil. Artinya pengembangannya hanya di aplikasi dan bentuknya saja. Kayak genting tenaga surya itu [pengembangan] dari bentuknya. Tapi kalau untuk teknologinya sama,” pungkas Irawan.
Penulis: Purnawan Setyo Adi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Kopi Lemah Abang dan Alasannya Tak Mau Pakai Listrik PLN