Dilema Mahasiswa yang Nggak Lulus-lulus Kuliah karena Asyik Bekerja hingga Bantu Proyek Dosen

Dilema Mahasiswa yang Nggak Lulus-lulus karena Asyik Bekerja hingga Bantu Proyek Dosen. MOJOK.CO

Ilustrasi Dilema Mahasiswa yang Nggak Lulus-lulus karena Asyik Bekerja hingga Bantu Proyek Dosen. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Lulus kuliah cepat, mungkin menjadi tujuan banyak mahasiswa. Salah satunya karena  ingin segera dapat kerja. Namun, ada juga mahasiswa-mahasiswa yang karena keasyikan bekerja memilih untuk nggak lulus-lulus.

Mojok mendengarkan cerita dari tiga mahasiswa yang menunda kelulusannya karena sudah asyik bekerja. Ada yang menyambi pekerjaan proyek dengan dosen, membangun usahanya sendiri, hingga jadi pengajar privat.

***

Nggak enak menolak ajakan penelitian dosen

Di satu malam menjelang akhir pekan, di akhir Juni 2023 saya bertemu dengan seorang kawan yang baru lulus kuliah. Baginya, menjadi sarjana adalah kelegaan. Sekaligus pembuktian, bahwa skripsi tak selamanya menjadi penghambat.

“Sebetulnya selain males, waktu lagi skripsian ada aja ajakan dari dosen buat bantu penelitiannya,” kata Aryo, sebuah saja begitu. Mahasiswa lulusan dari salah satu kampus di Solo itu menolak nama aslinya ditulis. “Ditulis anonim ya. Saya sebel sama dosen itu. Gara-gara ajakannya, saya jadi nggak bisa fokus buat skripsian,” jawab Aryo.

Aryo sudah lulus sejak 2022 kemarin. Di bangku perkuliahan, ia mengarungi 14 semester. Ia menolak jika dirinya disebut lulus tak tepat waktu. Sambil terkekeh, Aryo bilang kalau dirinya hanya memanfaatkan seluruh jatah semester yang ia punya.

Di awal masa perkuliahannya, Aryo berprestasi. Dikenal banyak dosen dan aktif berorganisasi. Hanya saja dari ceritanya, Aryo sempat alergi dengan yang namanya skripsi.

“Baik-baik aja, sampai ketika semester 7 dan sudah ambil skripsi, ada aja yang menghambat,” pungkasnya. Alhasil, ia telantarkan skripsinya hingga semester baru tiba. Ketika banyak dari teman-temannya sudah selesai, Aryo makin panik.

Namun, rasa panik itu tak menggugah motivasi dan semangatnya. Bahkan untuk mencicil sekalipun. Pikirnya, karena sudah kadung tertinggal, sekalian saja. Ia memilih untuk kerja serabutan. Semester sudah baru lagi, nasib skripsi Aryo tetap tak berubah.

Ketika di semester sembilan, orang tuanya memberi teguran sekaligus ultimatum. Aryo ingat betul apa kata orang tuanya saat itu. “Nggak wisuda semester ini, kuliah bayar sendiri,” tuturnya menirukan.

Kuliah bayar sendiri

Kerja serabutan yang ia jalani, tak membuat keuangannya stabil. Kadang ada pemasukan, lebih sering tidak. Aryo cari cara lain agar bisa punya penghasilan lebih. Tentu saja, sembari memikirkan skripsinya.

Ketika dirinya berhasil melawan alerginya terhadap skripsi, hambatan lain datang. Reputasinya sebagai mahasiswa yang dikenal pintar itu membuat dosen meliriknya. Dosen pembimbingnya mengajak Aryo untuk membantu penelitian.

“Saya nggak bisa menolak. Pertama, yang ajak dosen. Kedua, ada uangnya,” ujarnya. Nahas, rasa malas yang sudah Aryo tabung selama setahun membuat dirinya tak bisa menyambi garap skripsi. Kata Aryo, tidak ada waktu, sehingga skripsinya kembali ia kesampingkan.

Siklus yang begitu, kata Aryo, selalu berulang tiap semester. Ketik sudah punya cukup niat untuk melanjutkan skripsi, ajakan dosen untuk bantu penelitiannya selalu datang. Sampai pada akhirnya, di semester 14, skripsi Aryo rampung.

Meski sebal dengan dosennya yang membuat ia lulus tak tepat waktu, Aryo senang karena dari proyek penelitian itu bisa menabung. “Ketika wisuda, saya langsung dapat pekerjaan. Ya, karena relasi dan pengalaman selama bantu dosen itu,” syukurnya.

Memilih sibuk bekerja daripada lulus kuliah cepat

Naufal Rusada (25) memutuskan untuk lanjut kuliah setelah tamat SMA. Ia masuk di tahun 2017. Mengambil jurusan Teknik Informatika, mahasiswa asal Kudus ini merantau ke Solo untuk berkuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).

Di awal perjalanannya sebagai mahasiswa, Naufal beberapa kali mengikuti organisasi mahasiswa. Meski pada akhirnya tak pernah ia seriusi. Bahkan, baginya kuliah adalah nomor sekian.

“Prioritas tetap ke latihan buat [studio] aplikasi,” tuturnya. Rencana membangun studio aplikasi ini memang sudah ia niatkan sejak semester dua.

Asyik bangun usaha kesampingkan lulus kuliah cepat. (Ilustrasi foto Arif Riyanto/Unsplash)

Barulah pada 2019, Naufal berhasil membuat studio aplikasi miliknya sendiri. Sejak itu kesehariannya berubah. Yang tadinya kuliah, kini waktunya lebih banyak ia habiskan untuk mengurusi studio aplikasi.

Banyak yang sudah ia korbankan untuk studio aplikasi impiannya ini. Katanya, ia pernah mendapat nilai indeks prestasi (IP) di bawah 3,0. Ia tak menampik kalau studio aplikasi jadi penyebab jeblok IP miliknya.

“Pikiran saya terbagi ke mana-mana, Mas,” katanya. Sejak awal, ia sadar betul, pilihannya untuk membuat studio aplikasi akan menghambat kuliahnya. Menurutnya, tak bisa jika harus fokus ke duanya.

“Otomatis kalau fokus buat kuliah dan buat studio aplikasi, nggak bakal ada yang dapat goal-nya,” ujar Naufal kepada saya.

Tinggalkan skripsi karena bangun usaha

Sebetulnya, ketika pertama kali masuk kuliah, tujuan Naufal adalah lulus tepat waktu. Setelah lulus, rencananya ingin langsung bekerja untuk mengasah kemampuan yang sudah ia pelajari semasa kuliah.

Namun, ia memilih rencana yang lain. Dengan usahanya belajar sana sini di internet, Naufal berhasil membangun studio aplikasi miliknya sendiri. Satu tahun berselang, usahanya sudah bisa menghasilkan. Bahkan kini dia sudah memiliki pekerja sebanyak tiga orang.

“Dulu mengalir saja, belum ada motivasi apa pun sampai bisa menghasilkan. Nggak nyangka,” ceritanya. Sekarang, dalam satu bulan Naufal bisa menghasilkan Rp60 juta sampai Rp240 juta dari studio aplikasinya itu.

Sejak studio aplikasinya mulai menghasilkan, Naufal tidak pernah lagi meminta uang jajan atau uang kuliah ke orang tua. Ketergantungannya kepada orang tua berhasil ia lepaskan, bahkan ketika dirinya belum lulus kuliah.

Tidak beritahu orang tua

Selama di perantauan, Naufal tidak pernah cerita ke orang tuanya soal rencananya membuat studio aplikasi. Yang orang tuanya tahu hanya anaknya sibuk belajar di kampus.

Bukan tanpa alasan, kata Naufal, hampir semua orang tua ingin anaknya fokus kuliah. Maka dari itu, ia tidak memberi tahu ke orang tuanya agar rencananya tidak terganggu. Akhirnya Naufal memilih membangun studio aplikasi ini diam-diam, tanpa sepengetahuan orang tuanya.

“Ketika masa gajian [sudah menghasilkan], aku cerita semuanya ke orang tua. Mereka nangis pas saya cerita, karena saya sering minta uang buat bangun studio aplikasi,” jujurnya.

Namun, Naufal tak pernah bilang kalau keperluan uang itu untuk modal usahanya. Kini, orang tuanya sudah mendukung apa pun yang ingin dilakukan anaknya.

Harus lulus kuliah tahun ini agar tidak DO

Saat ini Naufal sudah ada di semester 12. Tiga semester sebelumnya, ia putuskan untuk cuti kuliah. Alasannya, kata Naufal, ia ingin waktunya banyak dihabiskan buat studio aplikasi miliknya. Berkat kesadarannya sendiri, sekarang ia melanjutkan studinya lagi.

“Sekarang lagi fokus buat ngerjain skripsi. Sebelum cuti sempat ambil, cuma pikiranku udah nggak kuat buat ngerjain, jadi aku tinggal aja skripsinya,” jelas Naufal.

Komitmennya kini adalah menuntaskan kuliahnya. Baginya, sehebat apa pun orang kalau nggak sarjana, tetap dipandang rendah di masyarakat. Setidaknya itu yang memotivasi Naufal agar bisa segera lulus.

Motivasinya yang lain, Naufal tak ingin perjuangannya sia-sia. Meski sudah memiliki penghasilan sendiri berkat usahanya, ia tak mau jika harus di-drop out dari kuliah.

Maka dari itu, ambisinya adalah lulus tahun ini meski harus ia sambi dengan kesibukan di studio aplikasinya. “Karena [kalau belum selesai] tahun depan sudah bisa di-DO”, katanya.

Lulus kuliah nanti-nanti saja

Cerita yang nggak jauh beda dari Aryo. Saya ngobrol dengan salah satu mahasiswi asal Universitas Teknokrat Indonesia, Bandar Lampung, Bella Devina (23). Saat ini, Bella praktis sudah lulus kuliah tinggal menunggu jadwal wisuda saja.

Belum lama ini, sidang skripsinya berhasil ia tuntaskan. Meski harus menempuh sepuluh semester, perjuangannya untuk mendapat gelar sarjana Sastra Inggris tak pernah sia-sia.

Sedari semester awal, Bella adalah teladan yang baik untuk ukuran mahasiswa. Kecakapannya dalam debat bahasa Inggris turut membantu mengharumkan almamaternya. Berbagai kejuaraan, baik tingkat regional ataupun di atasnya, pernah ia menangi.

Jika melihat dari segi akademik dan capaian prestasinya selama menjadi mahasiswa, Bella tak menemukan hambatan berarti. Justru persoalan internal yang membuat dirinya malas mengerjakan skripsi.

“Semua mata kuliah udah habis, tapi tetap nggak nemuin motivasi buat skripsian,” ucapnya. Bersamaan dengan itu, dosennya sedang mencari mahasiswa yang bersedia mengajar privat. Ketimbang hanya diam dan berlarut pada masalah yang menyebabkan skripsinya tak terurus, Bella menawarkan diri.

Katanya, keputusan untuk mengajar ini sebatas sebagai distraksi dari masalah yang sedang ia hadapi. Di awal, Bella merasa jika mengajar “nggak dia banget”. Namun, setelah waktu berjalan, dan ada hasilnya, ia mengaku bisa menikmati hal itu.

“[Hasilnya] lumayan mendistraksi,” jawabnya. Selama hampir satu tahun Bella asyik mengajar privat. Ia tak pernah ambil pusing apa kata orang soal stigma “lulus telat berarti gagal”. Baginya, lebih baik lulus agak telat, tapi hasil kerja keras sendiri. Lagipula, katanya, kapasitas tiap orang buat menghadapi persoalan itu berbeda.

Reporter: Novali Panji Nugroho
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Curhat Pemilik Kos di Jogja: Mahasiswa Bergaya Elite, tapi Bayar Kos Sulit

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version