Namanya Danny, bukan Dhani—yang Arman atau yang Ahmad atau apalah. Danny. Nama yang mengingatkan saya pada salah satu tokoh rekaan termulia sepanjang masa: Danny dari Dataran Tortilla. Danny yang ini, Danny Oei Wirianto, tentu saja bukan seorang paisano yang gemar berhutang Anggur Torelli dan menyembelih ayam-ayam tetangga untuk berpesta saban malam bersama gerombolannya.
Danny adalah Chief Marketing Officer GDP Venture, perusahaan investasi yang merupakan salah satu unit usaha Grup Djarum. Akhir tahun lalu, ia meluncurkan buku Think Fresh, yang berisi motivasi untuk meniti tangga kesuksesan, agar Anda tidak mudah menyerah menghadapi kesulitan-kesulitan dan tantangan, dan terus berinovasi.
Buku bersampul kuning jeruk ini menarik. Di dalamnya, Danny menceritakan perjalanan hidupnya, berangkat dari keluarga miskin, tinggal di satu rumah kayu dua lantai yang dihuni empat keluarga di Pasar Kebayoran Lama, masing-masing keluarga beranggotakan lima kepala, untuk makan di KFC, ia mengaku harus menabung uang jajannya selama seminggu, beberapa kali tidak naik kelas karena minder, hingga bagaimana ia bisa berada di posisinya sekarang. Di buku ini, Danny banyak menyemangati pembacanya dengan kata-kata mutiara.
Saya dan Andrey Gromico, fotografer Tirto.ID, menemui Danny di kantornya di lantai 9 di sebuah gedung tinggi di Slipi. Kantornya asyik sekali, seperti taman bermain. Di banyak sudut ada tempat bersantai-santai, dindingnya ditempeli banyak poster film atau album rekaman, ada satu meja panjang dengan kursi tinggi seperti di bar-bar koboi. Ruangan kerja Danny tak kalah asyik. Dari meja kerjanya ia bisa melihat jalanan depan kantornya yang padat, hanya dipisahkan tingkap kaca. Di atas meja kerjanya, selain foto istri dan anak-anaknya, ada banyak action figure tokoh-tokoh Star Wars (semua pajangan di dinding juga bergambar Star Wars, bukan Wiro Sableng). Sofanya empuk. Langit-langitnya tinggi dan kelihatan nyeni. Dua bola basket tergelak begitu saja di dekat pintu.
Sehabis menyalami kami, Danny mengambil salah satu bola itu dan mendribelnya sambil menanyai kami mau minum apa. Sungguh jivva yang sporty.
Minuman datang. Danny mengambil bangku dan duduk di hadapan kami. Sementara Andrey menyiapkan peralatan foto, saya menanyai Danny bagaimana kesibukannya usai menerbitkan buku pertama. Ia antusias sekali bercerita tentang orang-orang yang terinspirasi oleh bukunya.
Sebagai orang yang sejak lahir berbakat menjadi party pooper, belum juga sesi wawancara dimulai, saya langsung bilang, “Tapi menurut saya buku itu jelek, Mas.”
“Gue nggak jual buku ini. Gue nggak dapat untung. Malah gue yang menghabiskan uang di sini. Bikinnya tiga tahun lo. Editornya gue yang bayar, yang bikin ilustrasi juga gue bayar. Sembilan hari laku 3 ribu. Cetak ulang.”
“Ya, saya tidak sedang meragukan keinginan Mas Danny berderma. Dan bisa jadi memang menginspirasi orang. Tapi, menurut saya, buku itu jelek.”
“Begini, gue memang nggak sedang menyasar semua pasar. Pertanyaan gue simpel ke elu, kita nggak usah ngomong subjektif deh—bagus atau jelek itu kan subjektif, pake angka aja; berapa penjualan buku yang tebal-tebal itu?”
”Begini, Mas. Saya lihat kecenderungan mereka yang di bisnis digital sekarang menulis yang inspiratif-inspiratif. Kenapa nggak menulis tentang pengalaman membangun bisnis digital dari bawah aja? Cerita pengalaman menjadi salah satu perintis bisnis digital di Indonesia. Waktu itu kondisinya gimana, tantangannya apa saja, kesulitan membuat ini itu, solusi-solusi yang ditemukan, pertemuan dengan si anu dan si anu, pertukaran ide segala macam, kayak gitu. Bolehlah cerita pengalaman dari zaman susah, tapi nggak perlu juga kebanyakan kalimat motivasi. Ya kira-kira kayak biografi Steve Jobs-nya Walter Issacson itulah. Prosesnya nggak mudah, sih, tapi itu bisa dipelajari oleh orang sampai ratusan tahun lagi. Jadi sumber penulisan skripsi, tesis, atau disertasi. Kalau buku Mas Danny yang ini, sekarang mungkin rame, tapi berapa lama?”
“Buat gue saat ini, buku ini yang pas. Karena gue ngelihat banyak orang yang nggak pede, gampang patah semangat. Gue belum minat bikin biografi.”
Danny terdiam sejenak.
“Mungkin begini, Bro. Balik lagi, simpel sih, beda-beda cara orang nangkepnya. Ada yang kayak elu, ada juga yang datengin gue dan muji-muji; mereka bilang buku ini gampang dimengerti, bergambar dan nggak ngebosenin, dan nggak bikin mereka merasa bego. Kalau orang kayak elu, biasanya gue temuin di seminar-seminar.”
Danny tertawa. Saya ikut tertawa.
Sesi wawancara dimulai. Andrey Gromico mulai sibuk jeprat-jepret. Danny mulai bercerita tentang menjamurnya venture capital di Indonesia, yang baginya adalah sebuah kemajuan. Sistemnya sudah mulai tumbuh. Dan dia tidak melihat perusahaan-perusahaan lain itu sebagai kompetitor. Kadang ia bahkan mengajak berkolaborasi.
“Ngapain kita main negatif. Positif aja bisa, kok. Kami harap ekosistemnya terus berkembang ….”
“Bagaimana dengan masuknya kapital dari luar?”
“Baguslah itu. Karena industri semakin disuntik. Pada akhirnya kita terdorong dengan adanya suntikan-suntikan ini. Value yang kita taruh selama ini juga naik. Positif sajalah. Lagi pula GDP kan belum tentu bisa investasi ke semua orang. Soalnya belum tentu cocok juga.”
Saya lantas memintanya menjelaskan apa itu GDP Venture dan apa saya yang mereka kerjakan. “GDP Venture is basicly a venture builder,” kata Danny.
Ia dan perusahaannya berinvestasi di banyak perusahaan, dan kadang juga juga membangun perusahaan baru. Mereka berkolaborasi dengan pemilik modal lain, dengan usaha rintisan, untuk bekerja sama membangun sesuatu.
“Contohnya kayak Kurio. Kami menelurkan perusahaan namanya Kurio. Terus di-invest sama Cyber Agent. Ada juga beberapa investor lain. GDP Venture masuk lewat Merah Putih Inkubator (MPI), kerja sama dengan yang lain-lain. We created together.”
“Jadi, nggak melulu mengucurkan duit ya?”
“Nggak, beda. Kami bukan trader. Kebanyakan pengusaha kan sifatnya lebih trader; elu beli, terus elu jual; atau elu invest terus elu karbitin biar kesannya gede, cuma dipupuknya pake kimia, karbit. Kami beda.”
Danny percaya, membangun perusahaan itu seperti menanam pohon. Kelapa sawit, katakanlah. Butuh waktu untuk tumbuh, tiga sampai lima tahun baru bisa berbuah. Ada proses merawatnya, harus kasih air yang cukup, pupuk yang cukup, tanah harus subur, sinar matahari cukup, dan juga menghilangkan hama. Butuh waktu untuk mendapatkan kualitas terbaik.
“Kalau mau pohon yang cepat ya pohon tauge. Tapi kalau elu nanam satu pohon tauge, nggak berasa kalau digigit. Harga sekilo tauge sama sekilo kelapa sawit juga beda jauh. So, what do you want?”
Tantangan terbesar Indonesia saat ini, dalam membangun industri digital, menurut Danny, adalah sumber daya manusia. “Kita nggak ada orang,” katanya. “Skill kita dibandingkan dengan skill anak-anak Amerika, itu bedanya sepuluh tahun. Kita kekurangan talent.”
“Peran pemerintah bagaimana?”
“Pemerintah kan tanggung jawabnya bikin regulasi, menjembatani dan membuat wadah untuk ekosistem lebih positif. Mereka sudah berusaha melakukan dengan baik apa yang menjadi tugasnya. Mereka sudah mulai ngobrol dengan pelaku bisnis lebih intens. Pak Menteri Rudiantara is easy to reach, Bekraf Pak Triawan Munaf juga sangat kooperatif.”
“Tapi bukannya mereka juga sering jadi penghalang, Mas? Mereka menyensor, atau yang kayak-kayak gitu.”
“Gue anjurin, daripada cuma ngoceh terus, protes doang di media sosial, kalau elu mau bantuin bikin regulasi, ya ayo join. Bantu bikin regulasi kalau elu tahu, jangan cuma sok tahu. Menurut gue, kasih waktu buat pemerintah biar bisa lebih baik. Kita, sebagai pelaku industri, harus ikut peraturan. Kita juga bisa bantu kasih input kalau kita lihat ada yang salah. Mereka memang nggak perfect. Tapi sekarang mereka berubah, berusaha lebih baik dari sebelumnya. Kita mesti kasih kredit ke pemerintah, biar lebih semangat, jangan dihujat terus. “
Pembicaraan kami semakin seru. Danny meminum air putihnya. Saya minum teh. Tapi mulut saya belum bisa diajak kerjasama untuk bertanya lagi. Rasanya masih kaku, ada yang kurang. Di depan saya, di atas meja, ada asbak.
“Boleh merokok, Mas?”
“Silakan.”
Andrey Gromico ikut semringah, dan segera menggeledah tasnya.
Setelah dua isapan, saya lanjut bertanya. “Kalau program seribu start-up, menurut Anda bagaimana?
“Nah, itu, sebenarnya gue takut cuma ngejar angka. Oh, man, bikin seribu start-up mah gampang. Bikin start-up itu jadi gede yang susah, yang bisa hidup. Kawin mah gampang, melihara anak yang susah. Nggak murah.”
Saya manggut-manggut.
“Di GDP, kami membantu dua puluh perusahaan saja sampai-sampai rambut jadi abu-abu. Dibanding kita bikin seribu start-up baru, kenapa nggak start-up yang sudah ada itu yang dikembangin dulu?”
Saya manggut-manggut sambil mengisap rokok dalam-dalam, meniupkan asapnya sambil terus manggut-manggut.
“Kenapa pemerintah masih pakai Twitter, kenapa masih pakai Facebook? Ada kok orang kita yang bikin media sosial, cuma nggak pernah dikasih kesempatan. Coba lihat Qlue. Karena Ahok memanfaatkan Qlue, memakai itu untuk bantu dia membenahi Jakarta, Qlue jadi naik. Harusnya kayak gitu, dong.”
Ada benarnya.
“Donald Trump pakai Twitter ya layak, karena Twitter perusahaan Amerika. Jokowi mungkin perlu pakai yang lain; Kaskus, misalnya.”
Danny tertawa, dan kemudian mengajak kami makan siang. Kami menyambut gembira.