Pasar Kotagede Yogyakarta atau juga punya sebutan Pasar Legi, Sargede sudah berubah. Pasar yang konon sudah ada sejak berdirinya Kerajaan Mataram Islam ini sudah kehilangan beberapa ciri khasnya.
***
Pagi itu, Sabtu 25 November 2023, tujuan saya sudah pasti, sarapan Gulai Kambing Mbah Salam. Warung ini letaknya ada di tengah-tengah Pasar Kotagede dan buka pagi hari pukul 05.30. Sudah terbayang nasi panas dengan kuah gulai yang kemebul akan jadi penyemangat di akhir pekan.
Menyusuri Jalan Mondorakan, salah satu akses jalan menuju Kotagede, suasana cukup ramai di akhir pekan. Sekitar 50 meter sebelum tiba di pasar, pandangan saya tertuju pada penjual buah pinggir jalan. Ada yang menggoda mata.
Motor segera saya parkirkan di depan Pasar Kotagede, dan memilih berjalan kaki menuju penjual buah. Dugaan saya tepat. Buah yang terlihat dari atas motor itu memang duwet. Sekilas seperti anggur. Memang, orang-orang kadang menyebutnya sebagai anggur jawa.
Buah eksotis bernama duwet
Nama di setiap daerah macam-macam. Ada yang menyebutnya juwet, duwet, jamblang, atau jambu keling. Keling atau gelap merujuk pada warnanya yang ungu gelap ketika buah matang.
Saya sedikit melupakan tujuan utama saya datang ke Pasar Kotagede untuk makan gulai. Tanpa sarapan nasi, saya langsung mengambil buah itu untuk saya makan. Manis, kecut, sepat, jadi satu di lidah. Dulu saat masih kecil, dengan teman-teman akan saling menunjukkan lidah. Siapa yang warnanya paling gelap, dia yang menang.
Terakhir saya makan buah ini beberapa tahun lalu. Sebelum pandemi. Saat itu saya menggunakannya untuk second fermentation kombucha yang saya buat.
“Harga 40 ribu sekilo mas,” kata penjual itu. Saya lantas ngobrol dengan penjual yang mengenalkan namanya sebagai Widi (45). Sudah 10 tahun ia jualan buah musiman di kios buah tak jauh dari Pasar Kotagede tersebut.
Sebelumnya ia pernah bekerja sebagai kenek bus, truk, sampai kemudian memilih jualan buah musiman. “Mungkin karena ingin meneruskan usahanya simbok,” kata Widi melirik ibunya yang juga ada di kios tersebut. Namanya Mbah Kasiyah. Kata Widi, usia simboknya lebih dari 80 tahun. Hari itu mereka berdua menjual duwet, mangga manalagi, pisang, dan nangka.
Setiap hari buah yang mereka jual bisa saja berganti. Tergantung buah apa yang mereka dapatkan atau sedang musim. Widi tak menjual buah-buah impor karena sadar akan risikonya.
“Harus ambil banyak dan takut kalau nggak habis, kan busuk. Kalau saya ini kan buah matang yang di pohon dan nggak banyak, jadi kemungkinan besar pasti habis,” kata Widi.
Hari itu ia beruntung mendapat pasokan dari pencari buah. Duwet tergolong buang yang saat ini jarang ditemukan. “Di Jogja sudah jarang, Mas. Ini dapat dari Wonogiri,” kata Widi.
Baca halaman selanjutnya
Yang hilang dari Pasar Kotagede
Yang hilang dari Pasar Kotagede
Widi, lahir dan besar di Kotagede. Ia merasakan perubahan dari tahun ke tahun di Kotagede. Termasuk suasana di Pasar Legi.
“Sekarang itu jalanannya macet, mau pagi, siang, sore. Apalagi pas akhir pekan atau malam Minggu,” kata Widi.
Saat kecil, Widi masih merasakan suasana jalanan di Kotagede yang relatif lengang. Kalau pun ramai itu di hari-hari tertentu saat hari pasaran.
Nama Pasar Legi disematkan karena dulunya pasar ini hanya bukan di hari pasaran Legi. Keberadaan Pasar Kotagede konon bahkan sudah ada sebelum kerajaan Mataram Islam lahir. Sekarang pasar ini buka tiap hari. Sebelum pandemi, salah satu ciri khasnya di setiap pasaran legi, selalu ada penjual unggas.
“Yang hilang itu suasana saat hari pasaran Legi. Dulu itu pasti ramai dengan orang-orang yang menjual hewan, terutama unggas dan burung. Sekarang sudah tidak ada lagi,” kata Widi.
Saat masih ramai, orang-orang dari Yogyakarta dan sekitarnya untuk jual beli hewan piaraan khususnya ayam dan burung.
Selain pasar unggas tiap Legi yang hilang, salah satu hal yang menurut Widi jadi ciri khas Pasar Kotagede adalah keberadaan andong.
Angkutan tradisional yang mengandalkan tenaga kuda ini di masa lalu dengan mudah ditemui di sekitar Pasar Kotagede. “Sekarang jarang banget lihat andong. Dulu bahkan sampai Pasar Beringharjo,” kata Widi mengingat masa lalu.
Tak terasa, duwet yang saya beli itu sudah berkurang banyak karena saya makan. Perut yang sedikit melilit karena buah yang asam membuat saya teringat pada tujuan utama saya untuk makan pagi di Tongseng dan Gulai Mbah Salam.
“Pun telas, Mas gulene,” kata Bu Walijah, penerus kuliner legendaris Mbah Salam. Saya akhirnya memesan sate klatak sebagai obat kecewa karena gule yang habis.
Buah lokal yang kini menghilang
Saat duduk menunggu sate itulah, seorang kakek tiba-tiba mengambil buah duwet di plastik yang saya letakan di meja.
“Wah ini duwet, buah jaman aku cilik,” kata laki-laki tua itu sambil mengunyah sebiji duwet. Matanya merem melek karena mencecap rasa manis, sepet, dan kecut yang jadi satu. Namanya Untung (68), tinggal di Ngipik, Bantul. Tidak begitu jauh dari Kotagede.
Kami akhirnya ngobrol tentang buah-buahan yang kini tak tampak lagi di pasar karena sudah langka. Ia menyebut buah mundu, wuni, kokosan, salam. Buah yang dulu dengan mudah ia dapatkan di sekitar rumah.
Sambil menyantap sate pesanannya, dari mulutnya mengalir obrolan tentang duwet, buah yang sudah langka itu. Dulu di tempatnya masih mudah menemui buah-buahan seperti duwet, salam, mundu, wuni, kokosan dan lainnya.
Sama seperti Pak Untung, saya berharap, buah-buahan itu suatu hari akan muncul lagi di pasar tradisional. Bukan sekadar nostalgia, tapi karena memang buah lokal itu memang layak ada di sana untuk menantang buah-buahan impor.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Hammam Izzuddin
BACA JUGA Saat Hanung Bramantyo Coba Menghilangkan Mitos Keramat Novel ‘Cinta Tak Pernah Tepat Waktu’