Jasa cuddle care semakin digemari para pencari jalan keluar dari kesepian. Pelukan hangat dan keintiman yang ditawarkan membuat sebagian orang tak cukup hanya sekali memakai jasa ini. Di Yogyakarta, jasa ini semakin banyak dicari melalui grup hingga tagar yang bisa ditemui lewat hampir semua sosial media.
Batas antara pelukan hangat dalam ruang remang dan aktivitas seksual dalam jasa cuddle care memang tipis. Tapi justru itulah yang membuat para pemberi jasa ini dituntut memiliki kemampuan komunikasi dan pengendalian situasi yang andal.
***
Mahasiswa yang butuh pelukan di tengah suntuk mengerjakan skripsi
Seorang kawan kuliah, sebut saja Indra*(23), mengabarkan dengan bungah bahwa belum lama ini ia menyewa jasa cuddle care. Selama satu jam menjelang tengah malam, ia berpelukan hangat di atas ranjang. Sesekali di tengah sesi ia mengaku bahwa ingin lebih dari sekadar pelukan. Ia ingin melakukan penetrasi seksual, mencoba merayu sang perempuan, namun keahlian sang penjaja jasa tersebut untuk menemukan obrolan yang memecahkan pikiran nakal membuat Indra mengurungkan niatnya.
“Mbaknya pintar sekali mengarahkan pembicaraan, selalu ada topik yang diajukan. Dan itu membuat saya cukup puas, meski tak bisa melakukan lebih dari pelukan dan sentuhan-sentuhan di badan,” kata Indra.
Indra memang mahasiswa perantauan yang sedang di akhir fase studi S1. Jadwal kuliah yang lengang dan kawan-kawan yang banyak pulang ke kampung halaman selama pandemi membuatnya rentan kesepian. Jasa cuddle care adalah solusi di tengah kebuntuannya mengatasi sepi. Ia adalah satu dari banyak mahasiswa yang jadi pasar potensial penjaja jasa cuddle care.
Jasa yang dipakai Indra secara rinci menegaskan pelayanan dan batasan-batasan yang ditawarkan. Paket pertama cuddle care satu jam dengan tarif Rp150.000 meliputi pelukan dan sentuhan-sentuhan di badan, eksplorasi payudara, dan lepas busana. Paket kedua hampir sama, hanya tambahan layanan hand job dengan tarif Rp350.000. Batasan pada semua paket yang ditawarkan yakni no sex dan ciuman di bibir.
Seorang ibu tunggal yang berjuang untuk keluarganya
Berbekal informasi dari Indra, saya menghubungi seorang penjaja jasa cuddle care lewat sebuah grup Facebook. Setelah berkirim pesan dan janjian, akhirnya saya dan perempuan bernama Risa* (29) bertemu di sebuah kafe daerah Prawirotaman pada Selasa (31/8/2021) siang yang terik.
Risa datang mengenakan sweater merah dipadukan rok warna hitam. Saat membuka masker, keringat tak bisa disembunyikan dari wajahnya. Nampak gerah dengan gincu yang mulai luntur tak cerah. Ia pun melepaskan sweater dan menyisakan kaos crop top berwarna hitam sebelum akhirnya kami berbincang panjang.
“Maaf agak telat ya, habis dari Seturan. Ada pelanggan dari pagi tadi,” ucap perempuan ini membuka obrolan. Hari itu, ia melayani pelanggan tetapnya sejak jam sembilan pagi. Menemui saya di siang hari dan berkata masih ada satu pesanan yang harus ia layani di malam hari. Begitulah, dalam sehari ia mengaku rata-rata melayani tiga hingga lima pelanggan pria yang ingin dipeluk.
Jauh sebelum membuka jasa cuddle care, perjalanan Risa di Yogya diawali dengan menjadi karyawan di sebuah perusahaan rokok yang memiliki anak cabang di Yogya pada 2016 silam. Risa merupakan perantau asal luar Jawa yang berharap bisa membuka lembaran baru di kota pelajar ini. Setelah melewati perjalanan panjang dan penuh beban sebagai ibu tunggal di usia 20-an.
“Saya dulu menikah umur 17, dua tahun kemudian punya anak, setahun setelahnya cerai. Mantan suami saya menghilang dan tak pernah menafkahi anak lelaki kami,” ucapnya lirih.
Tanggung jawab sebagai orang tua tunggal sekaligus tulang punggung keluarga karena kedua orang tuanya sudah renta dan tak bisa bekerja membuat Risa terus berupaya mencari rupiah sebanyak-banyaknya. Pekerjaan di pabrik rokok pun tak bertahan lama. Upah karyawan pabrik di Yogya menurutnya tak bisa diandalkan untuk memenuhi begitu banyak kebutuhan.
Risa berganti-ganti pekerjaan. Sempat menjadi karyawan di berbagai tempat hingga akhirnya mencoba peruntungan usaha kuliner. Namun sekali lagi, sebagaimana yang dirasakan banyak orang, pandemi menghantam telak pertahanan ekonomi warga. Ia kembali pindah haluan pekerjaan.
“Ijazah saya cuma SMA, mau buat kerja yang mentok-mentok jadi buruh pabrik atau karyawan restoran,” ucapnya sambil melirik meja pelayan.
Risa pun mencoba peruntungan menjual jasa, namun sebelum akhirnya mengenal cuddle care ia terlebih dulu menjajal jadi tukang pijat panggilan. “Cuma modal nonton Youtube aja, terus ya mulai menawarkan diri di sosial media. Ternyata bisa untuk bertahan hidup,” ujarnya sambil merapikan poni rambutnya.
Saya menyimak berbagai variasi pijat yang ia cantumkan dalam katalog jasanya. Harganya berkisar antara 100-150 ribu rupiah perjamnya. “Walaupun saya cuma belajar dari Youtube, pijatan saya enak lho Mas. Buktinya banyak yang repeat order,” katanya sambil tertawa ringan.
Di tengah perbincangan kami, saya mengambil jeda sesekali. Saya sudah mendengar sebagian kisanya dari penuturan Indra dan mencoba mengecek konsistensi dengan apa yang Risa ceritakan langsung.
Dari anak SMA yang kesepian hingga pria yang minta berpakaian pengantin
Berjalan beberapa bulan menjadi tukang pijat panggilan, Risa bertemu dengan seorang kawan yang baru saja kembali dari Jepang. Kawannya bercerita, bahwa di negeri sakura sana ada jasa untuk menemani kencan hingga pelukan yang lazim digunakan para manusia yang sedang kesepian dan butuh afeksi.
“Kata teman saya, di Jepang orang malas menikah karena komitmen dan tanggung jawabnya. Makanya jasa itu banyak dicari,” kenang Risa.
Bak didukung semesta, pada pekan yang sama Risa mendapat panggilan pijat dari seorang anak muda yang sama sebanyak tiga kali. Risa penasaran, mengapa pemuda yang masih mahasiswa itu gemar sekali memesan jasanya. “Katanya, dia cuma butuh ditemani. Makanya kadang pesan pijat tapi kok sampai tempatnya saya ga disuruh memijat,” katanya heran.
Berangkat dari beberapa kejadian itu, Risa akhirnya menambahkan cuddle care dalam paket jasa yang ia tawarkan. Hingga obrolan kami dilangsungkan, Risa mengaku sudah berjalan empat bulan menawarkan jasa cuddle care. Dalam waktu yang cukup singkat, pendapatannya melonjak. Sebab pesanan jasa pelukan ini jauh melampaui pijat. “Kalau dibandingkan ya 20:80 lah Mas, banyak cuddlenya,” paparnya.
Selama ini ia telah melayani pelanggan dari berbagai kalangan. Ia memang tak memberikan kriteria khusus bagi pemesan jasanya. Mau muda mau tua, asal bayar dan sesuai prosedur maka ia jalani. Risa mengaku pelanggan paling mudanya usia 16 tahun, anak yang masih SMA. Sedangkan paling tua bapak-bapak yang ia taksir usia 50-an.
Seringnya ia dipesan untuk menemani di kamar. Namun sesekali ada pula pemesan yang butuh ditemani minum dan jalan-jalan. Semua ia layani dengan sepenuh hati, asal bayaran sesuai dengan tarifnya.
Rupa-rupa watak pelanggan pun telah ia temui. Mulai dari mahasiswa yang kesepian di tengah proses skripsi, hingga bapak-bapak yang butuh hiburan karena suntuk pekerjaan dan masalah di rumahnya.
Namun yang paling membuatnya tersentuh sekaligus bingung adalah pertemuannya dengan seorang mahasiswa yang gay. Ia bingung mengapa seorang gay memesan jasanya. Bahkan berkali-kali. Selama melayani mahasiswa itu, tak ada kontak fisik berarti maupun keintiman yang terjadi. Sang pelanggan hanya bercerita dan Risa menjadi pendengar setia.
“Dia ternyata sangat kesepian. Belum terbuka ke banyak orang tentang orientasi seksualnya. Orang tuanya kaya, kerja jadi diplomat yang sering ke luar negeri dan sang anak sering ditinggal sendiri dari kecil. Tertutup banget dan kelihatan rapuh orangnya,” kata Risa.
Menurut Risa, ada juga laki-laki penjaja jasa cuddle jika memang seorang gay membutuhkan jasa serupa. Namun pelanggannya yang tadi lebih memilih Risa. Entah karena tidak tahu jasa cuddle care lelaki atau memang sudah nyaman dengannya.
Pekerjaan ini membawa Risa pada hal-hal yang tak pernah ia duga sebelumnya. Ada pelanggan yang pernah meminta Risa untuk berdandan seperti pengantin. Lalu memeluknya di kasur dengan dandanan lengkap itu.
“Biasanya kan suka yang bugil, ini malah saya didandani lengkap kaya pengantin. Dia sudah bilang dulu sebelumnya kalau nanti saya disuruh pakai kostum,” katanya menahan tawa.
Barangkali hal demikianlah yang membuat para penyedia jasa cuddle care tak cukup memiliki badan elok untuk memenuhi nafsu pelanggannya. Tanpa kemampuan komunikasi dan kesediaan untuk menjadi pendengar yang baik, jasanya tak akan disukai dan mendapatkan pesanan kembali dari orang yang sama berkali-kali.
Bagi risa, kunci dalam mengerjakan tugas ini adalah tidak menghakimi apa pun situasi pelanggannya. “Orang kan bermacam-macam Mas. Mau bentuk fisiknya, sifatnya, masalahnya, sampai bau badannya, yang jelas jangan sampai menghakimi. Kalau ada yang gak srek diempet dulu,” ucapnya.
Semprotan mrica yang selalu dibawa Risa
Di tengah obrolan kami, bread toast dan potato wedges yang Risa pesan diantar pelayan. Ia menyantapnya dengan lahap sambil pelan-pelan melanjutkan pembicaraan. Menuju bagian yang tak begitu menyenangkan.
Meski pesanan silih berdatangan dan Risa mengaku bisa mengantongi 5-9 juta rupiah setiap bulan dari jasanya, tetap saja ada banyak tantangan. Tak jarang, ada pelanggan yang tak membayar sesuai tarif yang telah disepakati.
Situasi yang begitu memang sulit untuk ia atasi. Pernah suatu hari ia mendatangi pelanggan yang berada di Jalan Parangtritis sekitar kampus Institut Seni Indonesia (ISI). Setelah satu jam memberikan pelukan hangatnya, ternyata sang pelanggan hanya memberikan uang setengah dari tarif seharusnya.
Ia sempat protes, situasi sedikit tegang, namun sang pelanggan tetap kekeh dan enggan memberikan uang lebih. Risa pun tak punya pilihan selain mengalah. “Saya tahu tipikal orang kaya gitu, kalau saya debat lebih lanjut bisa melakukan hal yang berbahaya,” kata Risa.
Hal demikian tak hanya terjadi sekali, bahkan ia beberapa kali ditinggal diam-diam setelah usai memberikan servisnya. “Pernah suatu hari saya melayani pelanggan di hotel, setelah usai dia izin bentar mau ke ATM, barangnya masih ada yang ditinggal makanya saya percaya. Tapi setelah saya tunggu ternyata gak balik lagi,” curhatnya.
Para penjaja layanan panggilan serupa memang rentan terhadap tindakan sewenang-wenang. Mereka bekerja sendiri dan tak ada yang mengawasi. Sehingga segala risiko perlu dimitigasi sedemikian rupa agar tak terjadi.
Risa merasa beruntung karena meski ada sejumlah kendala, ia tak pernah mendapat perlakuan fisik yang menyakiti diri. “Setidaknya selama empat bulan ini ya Mas, gatau besok-besok ini,” tukasnya sambil tertawa lepas.
Untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk yang terjadi, Risa selalu membawa semprotan mrica setiap berjumpa dengan pelanggan yang baru ditemuinya. Ia membuka tas dan nampak berusaha mencari semprotan mrica yang ia maksudkan. “Oiya lupa, tadi yang di Seturan itu pelanggan yang sudah sering pakai jasa saya. Jadi saya ga bawa semprotan mrica itu tadi,” jelasnya.
Pengalaman buruknya juga membuat Risa lebih memperhatikan betul letak geografis penyewa jasanya. Perempuan yang memiliki tinggi 153 cm dengan bobot 50 kg ini memang tergolong tak memberikan syarat banyak. Ia bersedia datang ke hotel, rumah, bahkan kos untuk melayani pelanggannya.
“Asal nyaman dan bersih saja,” tukasnya. Namun ia sudah memiliki daftar daerah yang enggan ia datangi, misalnya seperti area sekitar kampus ISI karena pengalaman buruknya di sana.
“Jadi saya bisa memperkirakan nih kalau pemesan itu minta di kos. Misal kosnya daerah Seturan atau Kotabaru, itu kan biasanya bagus-bagus. Kalau yang di pinggiran-pinggiran itu saya ragu bahkan kadang nolak, ya karena pengalaman buruk tadi,” paparnya.
Bukannya takut, malah ingin rawat pelanggan yang sakit
Setiap hari Risa memang menerima puluhan pesan masuk di chatnya. Selain sebagian yang hanya tanya-tanya tanpa keseriusan, sisanya memang Risa tolak karena alasan lokasi. Ia menjelaskan hal itu sambil menunjukkan pesan-pesan yang masuk ke hpnya.
Bisnis ini ia awali di tengah situasi pandemi. Saat ditanya apakah ia memiliki prosedur khusus agar meminimalisir potensi tertular virus, ia hanya menjawab santai, “Takut, tapi di profesi seperti ini ya tidak banyak yang bisa dilakuin.”
Risa bercerita bahwa suatu ketika ia pernah melayani seorang yang nampak kurang fit. Sesekali batuk dan badannya terasa hangat. “Pas itu mahasiswa, saya malah rasanya kasian ingin merawat. Bukan malah takut. Mahasiswa rantau pasti kan sendiri gak ada yang merawat Mas,” cetusnya.
Selama pandemi, Risa pernah terpapar Covid-19 sekali dan harus rehat dari aktivitasnya sekitar setengah bulan. Namun itu bukan jadi penghalang baginya untuk meneruskan pekerjaan setelah sembuh. Banyak kepala yang harus ia hidupi.
Selain perkara yang tak mengenakkan, adakalanya Risa senang bertemu beberapa jenis pelanggan. Ketika ditanya, Risa paling suka pelanggan yang komunikatif dan tak banyak permintaan yang menyusahkan. Ia suka berbincang dan sebenarnya benci mendapat sentuhan di badan.
“Rasanya risih sebenarnya disentuh badannya oleh orang asing. Saya gak merasakan kenikmatan. Saya lebih suka obrolan, makanya kalau ada pelanggan yang komunikatif saya senang sekali,” katanya.
Ketidaknyamanan ini juga yang membuat Risa mengaku tak tertarik untuk menawarkan jasa berhubungan badan. Baginya, dengan menawarkan jasa ini saja kebutuhan sehari-harinya sudah cukup terpenuhi,
Selain itu, ada karakter pelanggan yang ia sukai. Mereka yang royal dan memberi tip lebih untuk jasa yang Risa berikan tanpa meminta servis tambahan. “Bahkan pernah ada yang memberi di atas satu juta, untuk durasi 2-3 jam saja,” katanya dengan senang.
Di Twitter, saya sempat melakukan observasi ke beberapa akun penjaja jasa serupa dengan Risa. Harganya memang beragam untuk durasi dan servis yang sama. Risa termasuk mematok tarif terjangkau. Dua akun yang sempat saya tanyai melalui direct message memasang tarif 350-500 ribu rupiah dalam satu jam. Bahkan salah satunya mensyaratkan pelanggan untuk mengirim foto selfie.
Menurut Risa, permintaan selfie dilakukan penjaja jasa untuk melalukan seleksi. “Kadang kan ada yang menerima kriteria fisik dan muka tertentu aja,”katanya. Namun ia menyayangkan hal tersebut, karena foto pelanggan menurutnya juga privasi yang perlu dihargai.
“Kalau saya lebih bebas aja Mas, pelanggan juga pernah ada yang komentar kalau harga saya tergolong murah, tapi saya gapernah naikkan. Biar banyak yang repeat order saja,” katanya.
Dalam penelurusan saya, selain cuddle care ada juga yang menambahkan kategori dengan label love care. “Sebenarnya sama saja sih Mas, cuma kadang cuddle care itu untuk yang biasa, lebih intens lagi atau ada tambahan servis dinamai love care,” jelas Risa.
Pelukan sebagai afeksi dan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi
Dari perbincangan kami, memang nampak ia orang yang bisa memberikan empati. Sesekali ia menawarkan makanan yang ia pesan karena saya hanya memesan kopi. Kemampuan untuk berbincang dan memberikan perhatian pada ragam orang menurutnya didapat karena ia sering berpindah-pindah profesi sejak muda.
Esensi dari jasa ini sejatinya bukan pada aktivitas seksual. Melainkan berbagi afeksi yang kadang perlu sentuhan fisik berupa pelukan. Beberapa waktu lalu, pernah beredar di sosial media lowongan pekerjaan jasa cuddle profesional bertajuk Indocuddle. Jasa ini mensyaratkan sejumlah hal, di antaranya latar belakang studi S1 Psikologi dan kemampuan komunikasi yang baik.
Pelukan memang dapat memberikan dampak positif bagi kesehatan dan karenanya banyak orang yang membutuhkan. Dilansir dari PennMedicine, aktivitas ini dapat mendorong produksi hormon oksitosin. “Oksitosin diproduksi oleh hipotalamus dan dilepaskan oleh kelenjar pituitari ketika kita secara fisik penuh kasih sayang. Menghasilkan apa yang oleh sebagian orang digambarkan sebagai perasaan hangat – perasaan terhubung, terikat, dan kepercayaan,” kata Paula S. Barry, MD, dokter di Penn Family and Internal Medicine Longwood.
Namun manfaat itu hanya bisa dirasakan bagi mereka yang membutuhkan dan bersifat konsensual. “Penting untuk dicatat bahwa sentuhan fisik atau efek pelukan positif hanya pada mereka yang ada hubungan kepedulian bukan dari sentuhan yang tidak diinginkan. Faktanya, kontak fisik yang tidak diinginkan dapat memiliki efek sebaliknya dengan meningkatkan kadar kortisol dan stress,” tambah Paula.
Namun bagi Risa pribadi, pelukan yang ia berikan dan ia dapatkan bukan lagi persoalan rasa senang dan manfaat kesehatan. Ini adalah peran yang ia lakoni, sekali lagi, demi kepala-kepala yang harus ia nafkahi.
Ia mengaku punya kekasih yang sama-sama tinggal di Yogya. Menjalani hubungan tak berselang lama sejak ia hijrah ke daerah ini. Sampai saat ini, ia tak pernah bercerita tentang aktivitasnya menjajakan jasa ini. “Setahu dia, saya hanya melayani pijat,” kata Risa.
Beruntung, kekasihnya juga paham bahwa Risa perlu bekerja demi menghidupi keluarga. Ia tak mengekang dan membatasi. “Saya beruntung, meski pekerjaan pijat panggilan (yang diketahui sang kekasih) saja sebenarnya sudah sering dicap negatif tapi dia menerima. Dia bahkan tipikal laki-laki yang tak pernah cek hp pacarnya,” ungkapnya.
Setiap pekan, ia pasti meliburkan diri dua hari agar bisa bertemu dengan sang kekasih. Setiap hari menghubungi anaknya yang kini sudah berusia sepuluh tahun. Dan tak pernah berhenti bermimpi untuk hidup bersama kembali dan mentas dari pekerjaan yang ia lakoni saat ini.
*)Nama narasumber kami samarkan untuk menjaga privasi
BACA JUGA Mencoba Hobi Berbahaya Bapak-bapak yang Motret Model Telanjang dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.