Saat yang lainnya menawarkan kemiripan dalam membuat sketsa wajah, Muhammad Harris Syahpuja Putra, justru menawarkan sebaliknya, sketsa atau sketch tidak mirip. Semua diawali karena Harris merasa nggak jago-jago amat dalam menggambar. Namun, jasa yang ia tawarkan justru banyak peminatnya.
***
Dari sekian banyak penyedia jasa menggambar di Jogja, perhatian saya tertuju pada stand Sketch Wajah Tidak Mirip kerap saya jumpai di Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) sebelum pandemi. Saat yang lain menawarkan kemiripan sketsa wajah, justru Sang Seniman dengan gamblang bilang gambarnya ‘’tidak mirip’’.
Saya bertemu dengan Muhammad Harris Syahpuja Putra atau lebih dikenal dengan nama Res Harris, empunya lapak Sketch Wajah Tidak Mirip.
Awan masih menyisakan kelabu sisa hujan yang belum lama reda. Udara lembab dan angin bertiup pelan. Sore pekan lalu, 2 Maret 2022, kami berjanji bertemu di sebuah kafe hidden gem bilangan Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Saya datang lebih awal. Dengan begitu saya punya cukup waktu menikmati suasana alam. Kebetulan di kafe terletak di sebelah sungai yang kiri-kanannya ditumbuhi pepohonan rindang. Suasana yang syahdu untuk menunggu. Chill kalau kata anak zaman sekarang.
Mas Harris pun datang. Saya menyapa dan mempersilakan beliau memesan menu. Pilihannya jatuh pada kopi yang saya lupa jenisnya, yang saya ingat diseduh dengan metode V60. Kemudian kami duduk di sebuah meja yang letaknya persis di bawah pohon. Kami memulai obrolan.
Berawal dari lapak yang sepi, Skecth Wajah Tidak Mirip unjuk gigi
Ide membuka jasa menggambar sketsa wajah tak bisa dipisahkan dari perjalanan hidup Mas Harris. Sejak belia, ia gemar menggambar komik. Saat berkuliah di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), jurusan yang diambil pun tak jauh dari menggambar; Pendidikan Seni Rupa. Di kampus, ia terbiasa melihat teman atau seniornya memperoleh cuan dari orderan menggambar dan mendesain poster, logo, dan lain-lain. Ia pun tertarik mencoba.
Dalam menggambar, Mas Harris mengaku kalah jago dari teman-temannya. Maka dari itu ia jarang menerima orderan. Pada suatu hari di tahun 2014, semuanya berubah. Saat itu ia sedang membuka lapak merchandise di sebuah acara pasar kreatif. Karena sepi, ia iseng menggambar sketsa wajah dan memajangnya bersama komik, zine, dan dagangan lainnya.
‘’Maksudku majang itu cuma buat ngisi doang nggak berharap ada yang ngelirik, eh ternyata ada. Satu doang tapi,’’ kata Mas Harris seraya tertawa.
Satu pelanggan itu cukup membuat kepikiran. Sepulang lapak, ia mulai bertanya-tanya. ‘’Aku tadi ngapain sih sebenarnya? Emang siapa yang mengharuskan gambar sketsa wajah harus mirip? Dan seterusnya,” kata laki-laki kelahiran tahun 1992 ini.
Malam itu, ia putuskan menyeriusi sketsa wajah dengang brand Sketch Wajah Tidak Mirip sebagai usahanya. Lalu ia mulai rajin menghadiri undangan lapak. Dari acara teman satu ke teman lainnya. Perlahan tapi pasti lapaknya mulai dikenal.
Obrolan kami terhenti oleh tetesan air yang jatuh ke meja. Kami mendongak beberapa saat. Hujan memaksa kami pindah ke tempat yang lebih teduh.
Omongan senior lebih serem dari lapak sepi pelanggan
Sebagai orang yang pernah merintis usaha, saya paham betul beratnya memulai. Apapun usahanya, baik berupa barang atau jasa, orang selalu takut usahanya sepi. Saya mencoba melanjutkan obrolan seputar itu. ‘’Ketakutannya bukan ke nggak laku sih, karena mindsetku.. ah paling juga nggak laku kok,’’ katanya.
Jujur saya sedikit terkejut mendengar jawaban itu. Entah mengapa pula saya tertawa. Untungnya sebelum ini kami sering nongkrong bareng, kalau tidak, mungkin saja Mas Harris tersinggung. Bukan pelanggan yang ia takutkan, melainkan respon negatif dari seniornya.
‘’Ketakutannya itu kayak omongan negatif di belakang ‘ah ini merusak pasar’ atau gimana kayak gitu-gitu. Lebih ke seniornya sih sebenarnya. Misalnya ‘iki ki seharusnya nggak gini bla-bla-bla…,” sambil menunjukkan gestur orang lain.
Selain merusak pasar, ia juga takut kalau style menggambarnya dianggap menyalahi pakem-pakem gambar tertentu. Saya menangkap maksud pria yang juga berprofesi sebagai guru animasi salah satu SMK di Jogja itu. Beberapa seniman memang saklek, ketika ada karya lain yang melenceng dari isme atau pakem yang diyakini, mereka bisa keras bereaksi. Ketakutan itu cuma ada di angan, pada kenyataannya Mas Harris tak pernah mendapati omongan negatif yang menyasar lapaknya.
Rutinitas melapak membuatnya bertemu banyak orang, dari yang sepantaran hingga seniman gambar senior. Pertemuan demi pertemuan itu mendatangkan informasi penting untuknya. Salah satunya mengenai jasa sketsa wajah dengan format ‘’tidak mirip’’ yang ternyata sudah ada sejak dulu. Fakta itu pula lah yang mendasari Mas Harris untuk tidak mengklaim Sketch Wajah Tidak Mirip sebagai sebuah brand miliknya.
‘’Karena sudah ada dan ini mudah. Maksudnya kamu pun kalau mau bisa bikin. Jadi aku nggak mau mematenkan. Dan memang aku juga bukan yang pertama, jadi ya malu lah,” katanya.
Memang, tak ada sama sekali informasi Sketch Wajah Tidak Mirip di bio Instagram Mas Harris (@/resharrris). Jika tidak sedang melapak di suatu tempat, Instagram jadi tempatnya berkomunikasi dengan orang-orang yang meminta ia buatkan sketsa wajah.
Tarif ‘’sepantasnya’’ dan pengalaman berkesan saat melapak
Mas Harris membebankan tarif ‘’sepantasnya’’ kepada pelanggan. Tarif ini dihitung per kepala. Metode ini memungkinkan pelanggan menentukan tarif sendiri berdasarkan kepuasan. Semacam rapor menggambar dengan ponten mata uang. Dari sini, ia mengaku bisa mengukur seberapa jauh pelanggan menilai hasil goresan tangannya. Penggunaan metode ini muncul atas kesadaran bahwa sketsa wajah yang ia ditawarkan ‘’tidak mirip’’.
‘’Kalau ngomongin sepantasnya itu beda dengan seikhlasnya. Sepantasnya ada timbangannya. Harapanku si gitu. Ketika dia lihat gambarku dia otomatis nimbang lah…’’
Mas Harris tak pernah menyentuh langsung uang dari pelanggan. Ia menyediakan kaleng biskuit bekas yang bertudungkan serbet sebagai wadah untuk pelanggan menaruh uang. Sebelum jam kerja usai, ia tak pernah benar-benar tahu berapa pendapatan hari itu. Tentu, ia juga tak tahu besar kecilnya upah dari tiap pelanggan.
Metode ini menurut saya mampu meredam prasangka penyedia jasa sekaligus membebaskan pelanggan dari rasa tidak enak. Penggunaan kaleng yang ditutup serbet ia adopsi dari wadah uang yang biasa ia temukan saat nyumbang, baik itu acara nikahan maupun sripah.
Tiba-tiba saya ingat pengalaman jahil waktu kecil. Pernah suatu ketika saya pura-pura memasukkan uang ke kotak infaq masjid padahal saya tak bawa uang. Saya iseng bertanya adakah kasus semacam itu.
‘’Aku nggak pernah tahu sih,’’ sambil tersenyum.
Suka-duka membuat sketsa wajah nggak mirip
Di acara pasar kreatif yang skalanya kecil, pengunjung lapak didominasi oleh anak kuliahan. Sedang di event besar seperti FKY, lapak ini dikunjungi pelanggan yang lebih beragam. Ada yang datang berpasangan, bersama geng, bahkan ada juga yang datang sekeluarg.
Banyak pengalaman berkesan yang didapat Mas Harris selama melapak. Mulai dari pelanggan minta kembalian, pelanggan komplain gambarnya tidak mirip, diundang lapak acara seminar kesehatan, dan lain sebagainya.
‘’Yang berkesan itu sampai datang di tahun berikutnya. Dia inget, aku lupa. Sampai ada yang masih inget, menurutku poin juga,’’ katanya.
Seiring waktu tujuan usahanya berubah. Ia merasa mendapati klien senang jauh lebih membahagiakan ketimbang uang. Ia selalu berkesan saat menerima orderan pelanggan yang sama sekali belum pernah digambar orang. Dengan begitu, ia merasa spesial sebab jadi yang pertama. Terlebih kalau hasil gambarnya diunggah ke media sosial setelahnya.
Mendengar momen menyenangkan saat melapak membuat saya penasaran akan pendapatan. Mas Harris tak berkeberatan menjawabnya. Dari sekian event, FKY (ikut serta sejak 2017-2019) masih menjadi lahan paling basah lapak Mas Harris. Ia bisa meraup Rp300 ribu – Rp500 ribu per hari, dari pukul 4 sore sampai 9 malam. Sedang di event biasa, ia hanya meraup Rp100 ribu – Rp200 ribu. Namun, itu bukan nominal yang pasti. Adakala lapaknya sepi pengunjung.
‘’Babar blas kosong itu sering juga. Tapi ya nggak masalah juga, niatnya nongkrong istilahnya.’’
Harris mengaku tak punya pengalaman kurang menyenangkan selama melapak. Kalau pun ada mungkin hanya sebatas resah, yaitu ketika mendapati pelanggan tidak mengambil gambarnya padahal sudah membayar.
Selepas Mas Harris mensketsa wajah pelanggan, ada momen menunggu tinta air yang digunakan kering. Di momen ini, ia memberi pilihan, mau menunggu atau ditinggal. Pelanggan yang malas menunggu biasanya pergi mengunjungi stan lain sebelum akhirnya kembali. Nah, adanya pelanggan yang tidak balik lagi inilah yang membuatnya bingung; si pelanggan beneran lupa atau tidak balik karena gambarnya jelek.
***
Hari sudah mulai gelap. Tak terasa sudah hampir tiga jam kami mengobrol. Saya merasa tak enak hati mencuri waktu Mas Harris lama-lama. Saya tahu setelah ini ia mesti membantu menjaga lapak sandal dan oleh-oleh khas Jogja milik bapaknya di Malioboro.
Obrolan sore itu saya tutup dengan tantangan. Mas Harris saya minta menggambar teman saya yang datang di tengah obrolan. Sepuluh menit kemudian sketsa wajah teman saya selesai.
Reporter: Iradata Ungkai Megah
Editor: Agung Purwandono