Tangis yang mengiris
Di tengah cerita, Dwi tiba-tiba menunduk. Terlihat, matanya basah dan wajahnya agak memerah. Ia buru-buru mengelapnya dengan kaos yang ia kenakan.
Dulunya, ia punya lapak di tempat yang strategis di depan Mal Malioboro. Namun, sejak relokasi, ia dapat lapak kecil di tempat sepi. Pascarelokasi, suaminya juga terkena PHK dari tempat kerja. Ditambah, mengalami serangan jantung. Beban-beban itu lah yang menumpuk hingga berakhir tangis saat berbagi kisah dengan saya.
Dwi menghela nafasnya. Ia bercerita tentang satu hal yang belakangan agak membuatnya lega. Akhir tahun lalu anak bungsunya lulus dari sebuah kampus kesehatan di Jogja. Tanggungannya sedikit berkurang.
Dulu, untuk membayar uang kuliah anaknya di beberapa semester jelang lulus, perempuan yang tinggal di Soragan, Yogyakarta ini mengaku harus menjual motornya. “Dua kali semesteran, saya dua kali jual motor,” ujarnya.
Saking sepinya sisi timur, menurut Dwi para pedagang kerap bergurau. Melambaikan tangan sambil berteriak ke sisi barat, “di sini juga ada jualan. Sini-sini, ada hadiahnya.”
Setelah perjumpaan dengan Dwi, saya cukup lama tak bersua para PKL. Sampai akhirnya, kami berjumpa lagi pada Senin (18/12/2023, tapi bukan di Malioboro melainkan di Kantor Ombudsman RI (ORI) Perwakilan DIY.
Saat itu, perwakilan PKL Teras Malioboro 2 datang ke ORI untuk melaporkan Gubernur DIY Sri Sultan HB X terkait maladministrasi. Mereka mempersoalkan rencana relokasi kedua yang tidak melibatkan PKL dalam pembuatan rancangan bangunan (DED) di calon lokasi kelak.
Kematian yang tak banyak diketahui
Di sela proses audiensi bersama ORI DIY dan jumpa pers, saya berbincang dengan seorang perwakilan pedagang bernama Upi Supriyanti. Ia curhat soal sepinya dagangan meski saat itu sedang musim liburan akhir tahun.
“Semalam saya pendapatan kotor cuma 300 ribu. Padahal, di liburan akhir tahun saat masih di selasar, pedagang yang komoditas jualnya harga tinggi bisa dapat omzet Rp10 juta,” keluh Upik.
Namun, ia menceritakan hal lain yang baru saya ketahui saat itu. Ada pedagang yang meninggal setelah dagangannya tak laku berhari-hari. Semalam sebelum PKL itu meninggal, Upi masih bertemu dan berkeluh kesah dengannya.
“Almarhum Bu Kasil. Beliau di lorong A-B. Delapan hari, setiap malam kalau pulang mampir lapak saya mengeluh kok dagangannya nggak laku. Sehari berselang dapat kabar beliau meninggal, entah kecapekan atau bagaimana. Kejadiannya 2-3 bulan lalu,” ungkapnya.
Pada momen yang sama, perwakilan PKL Teras Malioboro lain juga membenarkan cerita itu. Bahkan, bukan hanya sekali, kabar pedagang meninggal di tengah kondisi ekonomi yang sulit.
Perubahan-perubahan yang sudah terjadi dua tahun terakhir dan akan terjadi lagi beberapa tahun mendatang jadi momen penuh ketidakpastian bagi mereka. Mereka terus berjuang, menanti, dan berharap hari baik akan datang meski sulit terbayang.
Kisah mereka ada di antara keramaian Malioboro. Di balik gemerlap jalan ikon pariwisata Jogja, ada pilu, tangis, dan kematian.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Predikat Jogja Sebagai Kota Pelajar Dinilai Sirna karena Faktor Keamanan hingga Biaya Hidup Mahal
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News