Mengunjungi Pasar Seni Ubud mungkin bukan pilihan tepat bagi saya di penghujung tahun 2024, sebab ada beberapa pengalaman yang kurang mengenakkan saat saya berkunjung ke sana pada Kamis (19/12/2024). Padahal, pusat belanja di Bali itu sebetulnya nggak jelek-jelek amat.
***
Pasar Seni Ubud adalah jujugan bagi wisatawan yang ingin berbelanja oleh-oleh khas Bali. Tempat itu diklaim sebagai pusat perbelanjaan terbesar dan ramai yang dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun mancanegara.
Merujuk pada laman resmi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Ubud memiliki wisatawan dengan jangka waktu lama tinggal di suatu hotel. Sementara, Pasar Seni Ubud merupakan salah satu tempat yang menimbulkan kesenangan dan kenyamanan bagi pengunjung.
“Tamu-tamu kami kebanyakan dari Eropa, Amerika, sekarang juga ada dari Jepang dan juga China, mereka sangat tertarik menyaksikan keunikan kultur dan budaya yang masih sangat kental,” kata Bagus pada Senin (19/8/2024).
Berdasarkan pengalaman saya bersama rombongan Mojok, Ubud terbukti dikunjungi oleh banyak turis mancanegara. Meski waktu saya datang, mayoritas turis India yang saya jumpai.
Selain itu, cuaca di Ubud terus mendung. Kebetulan, kami datang saat musim hujan. Maka, hawa dingin dan gerimis yang menyambut piknik saya bersama karyawan Mojok mengganggu pengalaman kami liburan, sebelum natal dan tahun baru.
Hujan menghadang di Pasar Seni Ubud
Saya dan lima orang kawan saya harus mengenakan jas hujan maupun payung guna berjalan dari parkiran bus ke Pasar Seni Ubud. Jalanan terlihat becek dan cuaca masih gerimis. Rupanya, Fendi (27) tidak membawa jas hujan dan ingin membeli sandal.
Fendi meminta saya menunggu sejenak karena dia ingin mampir ke Alfamart untuk membeli sandal jepit. Kata dia, sepatunya sudah basah dan kurang nyaman dipakai.
Saya pun bertanya, kenapa Fendi tidak membeli sandal di toko-toko kerajinan yang akan kami lewati nanti? Dia hanya menjawab singkat.
“Mahal,” kata Fendi kepada saya, Senin (19/12/2024).
Toko oleh-oleh yang ada di sepanjang jalan Pasar Seni Ubud memang banyak, tapi saya bisa menghitung dengan lima jari, berapa toko yang menjual sandal jepit. Belum lagi, toko itu tidak terlihat seperti kios biasa. Dekorasinya tampak mewah dengan hiasan lampu yang menyala.
Pedagang Pasar Seni Ubud jutek
Kurang lebih 15 menit saya dan rombongan Mojok tiba di Pasar Seni Ubud. Kami menyusuri tiap kios yang memperlihatkan karya dari seniman Bali. Di sana, saya dapat melihat lukisan, ukiran kayu, patung, kain tradisional, perhiasan, topeng dan wayang kulit, kerajinan rajut, serta aksesoris yang dijual.
Mata saya menyorot suatu kios yang menjual karya seni rupa berupa patung bronze yang terbuat dari paduan tembaga dengan timah atau seng. Kebanyakan, bentuknya adalah dewa yang disembah oleh warga Bali beragama Hindu.
Saya tidak bisa bertanya-tanya lebih lanjut kepada sang penjual. Mukanya saja sudah jutek saat saya memotret-motret barang dagangannya. Barangkali dia risih karena saya masuk ruko dan menghalangi jalannya.
Bisa jadi juga, berdasarkan pengalamannya, dia tahu bahwa saya adalah tipe wisawatan yang kemungkinan tidak membeli dan hanya melihat-lihat. Terlebih, kegiatan memotret mungkin dinilai dapat merusak barang dagangannya, karena tidak sengaja menyenggol barang tersebut.
Ya, masih ada banyak lagi kemungkinan lain. Saya sih beruntung karena tidak diusir atau dimarahi.
“Sudah? Kalau sudah, ayo kita lihat-lihat yang lain,” ajak Fendi mengingatkan saya.
Kami pun lanjut berjalan, masih di lantai satu area tengah. Sayangnya, saya tidak bisa leluasa melihat seluruh karya seni, sebab beberapa pedagang menutupinya dengan terpal atau plastik agar tidak terkena air hujan.
Sejumlah surat kabar bahkan menginformasikan hujan deras mengguyur wilayah Gianyar, Bali pada Senin (16/12) siang hingga sore. Sementara, cuaca di Pasar Seni Ubud masih gerimis siang itu. Namun, pusat belanja di Bali itu sepertinya memang tak pernah sepi dari turis.
Pedagangnya sampai mengemis
Setelah puas melihat-lihat, kami memutuskan beristirahat di dekat pintu masuk. Tak jauh dari tenda sponsor milik Bank Pembangunan Daerah Bali (BPD) berwarna hijau. Tenda itu menjadi lapak sementara bagi pedagang yang terkena dampak kebakaran pada Sabtu siang (17/8/2024) lalu.
Merujuk pada laman resmi Kemenparekraf, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar, I Wayan Gede Sedana Putra mengatakan kebakaran terjadi di sisi bagian pedagang Pasar Seni Ubud saat pagi atau blok timur.
Dia mencatat, kurang lebih ada seribu pelaku UMKM ekonomi kreatif yang berjualan di sana, 238 diantaranya terdampak oleh kebakaran tersebut. Sejumlah pedagang pun sudah direlokasi.
Baru beberapa menit saya dan rombongan Mojok bercengkrama, sudah ada dua orang pedagang yang menawarkan barang dagangannya secara bergantian. Pedagang pertama menjual jas hujan.
Dia menawarkan jas hujan dengan harga Rp30 ribu. Wajah Fendi terlihat sedikit terkejut karena harganya yang mahal. Dia pun mengeluarkan keahliannya menawar. Proses itu tidak berlangsung lama, hanya sedikit adu rayu.
Sampai akhirnya, Fendi dan pedagang itu sepakat. Dia menawar jas hujan itu dengan harga Rp25 ribu. Fendi memilih jas hujan berwarna merah muda, sekaligus memakainya. Tidak berhenti sampai di situ, pedagang itu juga mengajak kami mampir ke tenda dagangannya.
“Ayo, Nak! Mampir. Saya kasih murah. Kalau di dalam mahal tidak bisa ditawar,” kata pedagang yang rupanya berjualan kain maupun baju Bali itu.
Namun, kami pun menolaknya: tidak dulu. Tak lama kemudian, muncul pedagang kedua. Pedagang itu juga menawarkan barang yang sama, yakni kain khas Bali. Kami sudah menolak, tapi ibu itu terus merayu.
“Kasihan ibu, Nak. Barang dagangan habis terbakar. Omset terus menurun. Beli lah,” rayu pedagang Pasar Seni Ubud itu. Kami pun memutuskan pergi dari sana.
Barang yang dijual mahal dan tidak bervariasi
Rupanya, pengalaman tidak mengenakkan mengelilingi Pasar Seni Ubud, bukan saya saja yang merasakan. Salah satu pengunjung bernama Penelope merasa tidak puas saat berbelanja di Pasar Seni Ubud, sebab harga barang yang dijual terlalu mahal.
“Harga yang terlalu tinggi memaksa pengunjung melakukan tawar-menawar tanpa henti sampai dia mendapatkan harga yang adil,” ucapnya dari ulasan Google Maps Pasar Seni Ubud, dikutip pada Selasa (24/12/2024).
Proses tawar-menawar itu membuatnya lelah setiap mengunjungi kios-kios yang ada di sana. Padahal, barang dagangan yang ada di sana juga tidak terlalu bervariasi. Alias, jenisnya sama.
Penelope berujar pusat belanja itu gagal menunjukkan keragaman kerajinan Bali, meski sekilas sudah menunjukan suadana pasar tradisional dengan hiruk-pikuk kehidupan masyarakat Bali.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News