Sudah lama saya tak menyapa motor kesayangan saya, Yamaha Mio 2012. Kepulangan saya ke Nganjuk pada Jumat (25/10/2024) membuat saya mencoba mengendarainya lagi sembari bernostalgia. Sebab, motor ini menjadi saksi pahit-pahitnya saya saat merantu di Kota Surabaya.
Motor Yamaha Mio 2012 itu memang sempat saya abaikan sangat lama. Kira-kira tujuh bulan. Penyebabnya, motor tersebut pernah harus servis total gara-gara saya pakai secara awur-awuran.
Tragedi becak dan disita polisi saat berkencan
Saya masih ingat betul bagaimana Bapak mendapatkan motor Yamaha Mio 2012 ini pada akhir 2019 silam. Motor ini bapak beli dari seorang saudara di Jombang, Jawa Timur.
Sebelumnya, ketika saya SMP (sekitar 2016-an), Bapak membelikan saya motor Astrea Grand. Motor Astrea itu saya pakai hingga SMA. Sebelum akhirnya saya ketiban nasib sial.
Suatu kali di tahun 2019, saya sedang memboncengkan pacar jalan-jalan di sekitar Nganjuk Kota. Sial betul, ketika melintas di Jalan Ahmad Yani, beberapa polisi sedang siaga: menilang para pengendara yang surat-suratnya tak lengkap.
Lantaran tak sempat putar balik, saya pun kena pemeriksaan. Sudah pasti Astrea Grand saya disita. Wong memang tidak ada surat-suratnya alias bodong. Saya dan pacar saya pun terpaksa naik becak untuk pulang.
Sisi beruntungnya, alih-alih marah atau malu, pacar saya justru menenangkan saya yang saat itu lemas dan pucat pasi. Lah piye, motor diambil polisi je, Kang!
Tapi, sisi sialnya, saat saya melapor ke Bapak, sudah jelas saya jadi sasaran amarah. Lebih dari itu, Bapak menegaskan tidak ada niatan untuk membebaskan motor itu. Toh belinya juga hanya Rp1,5 juta saja.
Bapak dan usahanya membeli motor Yamaha Mio 2012
Beberapa bulan kemudian, di akhir tahun 2019, Bapak diam-diam ternyata membelikan saya motor baru, Yamaha Mio 2012. Bapak membelinya dengan mencicil. Totalnya, setahu saya, Rp4 jutaan.
“Ini buat kamu sekolah. Bikin SIM, biar nggak kena tilang lagi,” kata Bapak waktu itu.
Begitu lah Bapak. Di balik amarah dan diamnya, ada banyak hal yang dipikirkan dan diupayakan untuk membahagiakan keluarganya.
Motor Yamaha Mio 2012 itu kemudian menemani saya merantau ke Surabaya: kuliah di Universitas Airlangga (UNAIR). Motor terjelek memang dibanding motor teman-teman saya yang mayoritas keluaran terbaru. Namun, motor jelek bukannya tanpa “kelebihan”.
Motor Yamaha Mio 2012 saya: motor terjelek di parkiran UNAIR
Pada 2021, saya dinyatakan lolos menjadi mahasiswa baru di UNAIR Surabaya.
Pernah ada perasaan minder ketika membawa motor Yamaha Mio 2012 itu ke kampus. Di gerbang masuk kampus, di parkiran, rata-rata adalah Aerox, Honda PCX, Scoopy, Vario dan motor-motor keluaran terbaru lainnya.
Jadi ketika menaruhnya di parkiran UNAIR kampus C, tentu saja motor saya paling mencolok. Beberapa teman bahkan menjadikannya bahan gojekan.
“Cuk, motor butut masih dipakai aja.”
“Dho, Dho (panggilan saya), pakai motor Yamaha Mio begitu apa ya ada cewek yang bakal mau.”
Kira-kira begitu kalimat-kalimat yang keluar-masuk telinga saya. Belum yang bernada satire. Tapi saya tak pernah memasukkannya ke dalam hati.
Toh di kemudian hari, malah terbukti, bututnya motor saya justru menjadi kelebihan dan keuntungan tersendiri.
Lolos dari ngerinya curanmor Surabaya
Suatu ketika, motor saya terparkir di depan kost, bersampingan dengan motor teman saya: BeAT keluaran terbaru. Waktu itu, saya bahkan lupa kalau kunci motor saya masih menggantung, belum saya copot.
Saat saya dan teman saya keluar kost, saya sempat mematung ketika mendapati teman saya panik motornya raib. Sementara motor Yamaha Mio 2012 masih terparkir. Tak geser sesenti pun dari asal.
Padahal, jelas-jelas kunci motor saya masih menggantung. Maling tinggal starter untuk membawanya kabur. Sedangkan BeAT teman saya, sudah lah dikunci stang, dikunci gembok pula.
Saya tidak sedang menertawakan nasib sial teman saya. Hanya saja, di titik itu, saya makin lapang: tak ada alasan untuk malu dengan motor yang kata teman-teman saya butut itu. Nyatanya kebututan yang membawa keuntungan.
Kesialan di Jembatan Suramadu
Namanya juga motor butut, kadang kala ada momen saat Yamaha Mio 2012 itu membuat saya emosi. Saya bahkan sudah pernah membuangnya.
Saat itu, saya sedang night riding memutari Kota Surabaya, bersama seorang teman kuliah dari NTT. Kami mencari pemandangan lampu-lampu Kota Surabaya.
“Pernah ke Suramadu nggak?,” tanya teman saya.
Saya menggeleng. Akhirnya, kami memutuskan untuk melintasi Jembatan Suramadu menggunakan Yamaha Mio 2012. Saat motor saya pacu menyeberangi Jembatan Suramadu ke arah Bangkalan, awalnya tak ada hal yang aneh. Semuanya mulus-mulus saja. Kami lalu mampir dan nongkrong di sebuah Indomaret di Bangkalan.
Saat jam menunjukkan pukul 23.00 malam, kami memutuskan pulang ke Surabaya, menyeberangi Jembatan Suramadu lagi. Akan tetapi, sesaat sebelum masuk gapura jembatan, saya merasakan motor saya mulai oleng.
“Motor kau bocor ini,” teriak teman saya dari belakang.
Benar saja. Bannya bocor. Sontak saja saya gemetar. Pikir saya, sudah hampir tengah malam, apa masih ada tambal ban yang buka? Apalagi, ini pertama kali saya menginjakkan kaki di Madura.
Saya pun mendorong Yamaha Mio 2012 saya untuk mencari tukang tambal ban. Untungnya, ada satu tambal ban yang buka dan tak jauh dari jembatan. Saya terpaksa merogoh Rp15 ribu agar bisa pulang.
Pernah saya buang, tapi tak ada yang memungut
Tapi kata sial sepertinya tak jauh dari saya kala itu. Baru saja keluar dari Jembatan Suramadu (memasuki Surabaya, di sekitaran Kedung Cowek), ban saya kempes lagi.
“Motor terkutuk!” Begitu umpat teman saya berulang-ulang.
Saya pun jadi ikut naik darah. Dengan bersungut-sungut, saya mencoba mendorongnya lagi, mencari tambal ban terdekat.
“Kalau jam segini sudah nggak ada tambal ban, Mas. Coba jalan terus ke selatan siapa tahu masih ada yang buka,” ujar salah satu pedagang yang saya temui tengah malam itu.
Tapi, sejauh kaki ini melangkah, tak ada satu pun tambal ban yang buka. Hampir dua jam saya bergiliran dengan teman saya mendorong Yamaha Mio 2012 terkutuk ini.
Akhirnya, saya dan teman saya memutuskan istirahat di sebuah Alfamart di Kenjeran. Lalu dengan putus asa, saya meninggalkan motor saya di Alfamart itu dan memesan gojek untuk pulang ke kost.
Persetan apakah motor itu bakal hilang digondol orang. Saya sudah capek betul. Saya benar-benar sudah merelakan motor terkutuk hilang. Bahkan saya sudah mengarang alasan untuk menjelaskan ke Bapak nanti. Yang penting malam itu saya bisa lekas balik kost: tidur.
Pagi ketika pikiran saya mulai jernih dan hati sudah mulai adem, saya terdorong untuk kembali ke Alfamart tempat saya “membuang” Yamaha Mio 2012 itu. Dasar memang motor terkutuk, orang pun tak ada yang berminat untuk memungutnya. Motor saya masih di tempat.
Memakan korban di Blitar
Entah kutukan apa yang mengenai motor Yamaha Mio 2012 saya. Motor ini pernah memakan korban, yakni ketika saya bawa melakukan program pengabdian masyarakat.
Tiga kali saya melaksanakan pengabdian masyarakat di berbagai kota: Sampang, Blitar, hingga Bojonegoro.
Saat di Sampang, Madura, pada Januari 2023 , motor ini sebenarnya punya jasa besar bagi kelompok saya. Pasalnya, selama di sana, motor ini jadi inventaris kelompok saya. Entah untuk bepergian atau mengangkut barang.
Sebab, saat itu, di kelompok saya tidak banyak yang membawa motor. Dan mungkin karena motor saya paling butut, spek motor golek ramban, alhasil kerap dipakai buat angkut-angkut.
Baru lah ketika pengabdian di Blitar, Jawa Timur, pada Juli 2023, Yamaha Mio 2012 ini menunjukkan keterkutukannya lagi.
Sama halnya di Sampang, saat di Blitar, motor saya juga menjadi inventaris untuk angkut-angkut barang teman sekelompok. Suatu waktu, seorang teman meminjamnya untuk menuju satu titik acara di lokasi pengabdian.
Nahas, saat melintas di jalanan berpasir dan agak menjorok, rem depan motor Yamaha Mio 2012 itu blong. Dua teman saya pun tersungkur: lengan dan kakinya lecet-lecet. Sejak hari itu, dua teman saya itu langsung trauma tiap kali melihat motor saya terpakir di depan posko: tak pernah mau menggunakannya lagi.
Pengabdian terakhir motor Yamaha Mio 2012 di medan terjal Bojonegoro
Motor Yamaha Mio 2012 masih menemani saya di pengabdian ketiga. Persisnya di Dusun Bunten, Desa Tondomulo, Bojonegoro, Jawa Timur, pada Januari 2024 lalu. Sebuah desa yang bisa dibilang sangat terpencil.
Yamaha Mio 2012 saya cukup tersiksa di sana. Sebab, medan untuk menuju desa tempat saya mengabdi ternyata sangat ekstrem. Tidak ada aspal maupun paving. Hanya tanah liat becek dan penuh jeglongan. Jalannya juga menanjak ekstrem. Rasa-rasanya, hanya motor trail yang cocok melewati medan tersebut.
Selama seminggu di sana, motor saya hari demi hari sudah menunjukkan tanda-tanda kerusakan. Setiap saya gas, mesinnya menderu berat, kemudian keluar asap hitam.
Benar saja. Sepulang dari Bojonegoro, motor saya oleh bengkel dinyatakan turun mesin.
Sejak hari itu, saya tak pernah lagi memakainya untuk perjalanan jarak jauh. Motor itu saya tinggal di rumah, saya tak membawanya lagi ke Surabaya.
Selama sebulan melanjutkan kuliah di Surabaya, saya mau tak mau lebih banyak jalan kaki tiap ke kampus. Meski kadang kala juga meminjam motor teman misalnya hendak ke warung.
Hingga pada Maret 2024, seorang saudara berbaik hati memberikan saya Vega RR 2015. Motor yang kemudian menemani saya dari Surabaya hingga saat ini magang di Jogja.
Penulis: Muhammad Ridhoi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News