Saat pedagang es teh jumbo tak punya banyak pilihan
Beda pedagang, beda pula cara penyajian. Itu yang kemudian Kurnia tekankan ketika saya singgung perihal dugaan-dugaan terhadap pedagang es teh jumbo. Misalnya soal penggunaan air mentah, memakai teh sisa kemarin, gula berlebihan, campuran pemanis buatan, dan pemberian es batu yang kelewat banyak ketimbang tehnya sendiri.
“Dari semua itu, saya sesekali pakai teh kemarin yang tidak habis. Saya masukkan ke kulkas,” akunya.
Banyak pakar kesehatan menyebut, praktik tersebut sebenarnya tidak baik. Pasalnya, selain mengubah aroma dan rasa, daun teh yang sudah terendam air beberapa jam lamanya sudah riskan ditumbuhi bakteri.
“Modal sehari belum balik, tapi tehnya masih banyak, Mas. Itu alasannya. Mangkanya belakangan diakali dengan bikin tehnya nggak terlalu banyak. Itupun masih belum bisa habis karena tadi, bisnis ini sudah banyak pesaingnya,” tutur Kurnia.
Hal lain yang bisa Kurnia jawab karena berkaca dari dirinya sendiri dan pedagang di sekitarnya adalah: ada pedagang—termasuk dirinya—yang memisahkan gula dan tidak memiliki takaran pasti soal es batu. Dengan begitu, saat es teh dibuat, pembeli sebenarnya bisa request: misalnya gulanya sedikit saja atau bahkan tawar sama sekali. Bisa juga request es batunya jangan banyak-banyak.
“Kalau bilang begitu, kan bisa dituruti sama pedagangnya,” ungkap Kurnia.
“Harga es teh jumbo berapa to, Mas? Rp2.000, Rp2.500, paling mahal Rp3.000. Lalu dituntut tanpa cela. Sementara misalnya beli minuman manis di gerai besar dengan harga jauh lebih mahal, seperti nggak ada masalah. Dinikmati saja. Padahal punya risiko penyakit juga,” sambungnya.
Lamunan kosong menanti pembeli
Malam harinya, sepulang dari Kotabaru bersama istri dan dua teman kantor pada pukul 20.30 WIB, saya iseng mampir di lapak pedagang es teh jumbo yang tidak jauh dari kos. Pedagang itu ibu-ibu 40-an tahun.
Sebelum saya berhenti persis di depan lapaknya, ibu-ibu itu tampak melamun, kosong menatap lalu-lalang kendaraan. Lamunannya buyar saat saya dan istri berhenti di depan lapaknya persis. Dia tampak bergegas berdiri, bersiap melayani.
“Ngelamun napa e, Buk? (Melamun apa e, Bu?),” goda saya.
Si ibu malah terkekeh sebelum akhirnya menjawab, “Alah, Mas, nunggu orang beli ini, loh. Kok ada Mase.”
Sudah sejak pertengahan 2024 lalu si ibu menjadi pedagang es teh jumbo. Awal-awal hasilnya memang manis karena sangat laris. Hanya selang beberapa menit, ada saja pembeli yang mampir.
Tapi seiring waktu, seiring makin menjamurnya eh teh jumbo, butuh waktu dua jaman untuk mendapat satu pembeli. Alhasil, kini si ibu malah kepikiran untuk menutup lapaknya.
Banting harga
Harga satu cup es teh jumbo yang saya beli dari si ibu adalah Rp2.500. Katanya, si ibu dulu menjualnya dengan harga Rp3.000.
“Mau nggak mau harus turun, Mas. Karena yang lain banting harga. Ada yang jual Rp2.500, ada yang Rp2.000,” ungkap si ibu.
“Jadi kalau lihat angka harga Rp3 ribu, kayaknya orang akan pikir-pikir untuk beli, mending cari yang harganya di bawahnya,” sambungnya.
Tapi karena dengan harga Rp2.500 pun masih sepi, masa harus turun lagi menjadi Rp.2000? Harga itu sudah tidak masuk dalam hitung-hitungan laba si ibu. Alhasil, harga paling mungkin yang bisa dia pasang adalah Rp2.500.
“Ibu buka sampai jam berapa?” Tanya istri saya.
“Buka dari jam 9 pagi, Mbak. Tutupnya dulu itu Isya sudah tutup. Belakangan maksa sampai jam 9 malam. Tapi tetep nggak nutup. Tapi habis ini langsung saya tutup, sudah capek e, Mbak,” jawab si ibu.
Untuk membunuh bosan, hanya dua pilihan yang bisa si ibu lakukan dalam hari-hari menanti pembeli: kalau tidak lihat YouTube atau TikTok, ya melamun. Tapi… lihat hp juga ada jenuhnya, sementara kalau melamun, pikiran malah jadi ke mana-mana: termasuk pikiran putus asa untuk menutup lapaknya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Kebaikan Hati Pedagang Salak Kaliurang Jogja, Selamatkan Saya yang “Terjebak” Berjam-jam di Lereng Merapi atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan










