Ironi hari buruh di Rembang, Jawa Tengah. Tidak ada aksi massa. Tidak ada libur atau hari tenang. Badan para buruh yang masih terasa pegal dan nyeri tetap harus berangkat ke pabrik. Berangkat pagi buta, pulang bisa nyaris larut malam.
Tetap “mburuh” di Hari Buruh
Ketika bus rute Jogja-Kudus yang saya tumpangi masuk ke Semarang, kemacetan tampak mengepung jalan. Puluhan buruh—dengan mobil bak dan motor—tumpah ruah di jalanan Semarang.
Sang orator yang berdiri di sebuah mobil bak, melalui corong toa, menyerukan hak-hak buruh yang acapkali diabaikan oleh kapital.
Hari itu, Kamis (1/5/2025), cuaca siang hari di Semarang terasa panas menyengat. Para buruh di jalanan itu tampak bermandi peluh. Tapi mereka—buruh laki-laki dan perempuan—tampak tak mau tunduk pada terik matahari.
Hari itu adalah hari mereka: Hari Buruh. Momentum bagi mereka untuk buka suara atas hak-hak mereka yang kerap dirampas: hak cuti, upah layak, hingga keamanan dan kesehatan kerja.
Wajah lesu buruh pabrik di Rembang
Ketika bus yang saya tumpangi—setelah pindah bus jurusan Semarang-Surabaya di Terminal Terboyo—memasuki Rembang kota sekitar jam 5 sore, pemandangan berbeda tersaji.
Di pinggir-pinggir jalan, tampak beberapa buruh dari pabrik pengolahan tangkapan laut menanti angkutan umum. Mayoritas adalah ibu-ibu. Wajah mereka menyiratkan letih yang teramat sangat.
Saya tahu belaka. Pabrik pengolahan hasil laut di Rembang memang nyaris tidak pernah meliburkan buruhnya, sekalipun tanggal merah atau cuti bersama.
Para buruh hanya bisa libur saat hari raya Idulfitri dan saat sedang dalam keadaan darurat bagi diri sendiri atu anggota keluarga inti. Seperti sakit dan sejenisnya. Sementara jika ada acara keluarga yang bersifat seremonial, potensi bisa izin libur rasa-rasanya susah.
Jangan berharap libur pula dari hari raya lain seperti Iduladha atau hari raya bagi agama selain Islam seperti Natal, Waisak, Imlek, dan lain-lain.
Kenapa saya tahu persis? Karena ibu saya sudah bertahun-tahun menjadi buruh di salah satu pabrik pengolahan tangkapan laut di Rembang.
Baca halaman selanjutnya…
Tenaga diperas habis-habisan dari pagi hingga larut malam, tak pernah ada libur
Tenaga buruh pabrik di Rembang diperas habis-habisan
Setiba di rumah, ibu saya ternyata sudah di rumah. Hari itu dia ternyata sengaja izin libur karena ada saudara yang meninggal.
“Kalau pabrik tetap masuk. Teman-teman (sesama buruh di Rembang) juga pada masuk,” ungkap ibu. “Hari buruh tetap kerja.”
Ibu mulai bekerja menjadi buruh di sektor pengolahan ikan di Rembang sejak 2020. Berpindah-pindah dari satu pabrik ke pabrik lain hingga sekarang.
Ibu sebenarnya sempat ingin berhenti. Akan tetapi, karena dia merasa masih belum terlalu tua, agak sayang jika tenaganya tidak disalurkan untuk sesuatu yang produktif—menghasilkan uang. Itung-itung buat tambahan kebutuhan.
Toh pabrik yang ibu tempati sekarang setidaknya menawarkan upah yang jauh lebih layak dari pabrik-pabrik lain. Pemberian upah lembur pun sesuai. Meski memang, sama seperti pabrik lainnya, nyaris tidak pernah ada hari libur untuknya.
Sebelumnya memang lebih ngeri. Ibu bisa berangkat pagi buta, tapi pulang hingga larut malam. Itu berlangsung nyaris setiap hari. Menyisakan nyeri luar biasa di setiap persendian. Sementara upah dan lembur yang diberikan pabrik di Rembang itu tidak sebanding dengan tenaga yang ibu dan para buruh lain keluarkan.
Satu-satunya jalan untuk hidup cukup
Jika ibu masih punya pilihan berhenti, maka berbeda dengan teman-temannya sesama buruh di Rembang.
Ibu saya berumur 45-an. Sedangkan mayoritas temannya adalah ibu-ibu yang lebih tua. Yang sudah punya cucu pun ada.
Kata ibu, banyak di antara mereka yang memang tidak punya banyak pilihan. Kehidupan di Rembang serba sulit. Umumnya para laki-laki menggantungkan hidup dengan bertani, melaut, atau nguli.
Demi hidup cukup, maka para istri mau tidak mau harus ikut bekerja. Sialnya, tidak banyak pilihan kerja juga untuk para ibu-ibu. Apalagi dengan usia paruh baya.
Nah, keberadaan pabrik pengolahan tangkapan laut di Rembang menjadi satu-satunya jalan yang bisa mereka ambil. Tanpa syarat keterempilan tetap bisa masuk. Karena nanti bakal dilatih. Tidak ada syarat minimal ijazah pula.
Beda misalnya dengan sejumlah pabrik lain di Rembang—tekstil dan sepatu—yang mensyaratkan minimal ijazah SMA bagi yang hendak melamar.
Di pabrik pengolahan tangkapan laut, syarat utamanya pokoknya siap bekerja, beres. Dan siap bekerja itu berarti harus siap diperas tenaganya. Harus siap jika berangkat pagi buta dan pulang larut malam tujuh hari dalam seminggu, alias tidak ada libur satu haripun.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Ibu-Ibu Rembang Dipaksa Kerja Pabrik karena Para Suami Tak Bisa Lagi Jadi TKI di Malaysia, Kaget Ternyata Kerja Secapek Itu, Baru 3 Hari Langsung Berhenti atau liputan Muchamad Aly Reza di rubrik Liputan
