Sejak keriuhan pembredelan pameran Yos Suprapto di Galeri Nasional, Jakarta, saya dan Pak Yos (begitu saya memanggil) sudah saling berkirim pesan. Melalui pesan WhatsApp, dia mengabarkan akan lekas kembali ke kediamannya di Kaliurang, Sleman, Jogja.
Yos Suprapto dan obrolan soal kondisi bumi
Semua orang membicarakan lukisan Yos Suprapto. Ada yang membelanya, tapi ada juga yang tidak sejalan dengan menyebut lukisannya terlalu vulgar.
“Pasti lelah sekali menghadapi pertanyaan-pertanyaan wartawan yang isinya sama: kalau tidak makna lukisan ya tanggapan usai pembredelan,” batin saya.
“Saya berharap bisa berbincang dengan Pak Yos, tapi kita menepi sejenak dari riuh pembredelan lukisan. Bicara soal kondisi bumi hari ini,” begitu tawaran saya kepada Yos Suprapto saat dia masih di Jakarta.
Pesan itu saya kirim pada Jumat (27/12/2024) pagi WIB. Pak Yos membalasnya beberapa saat berselang.
Pak Yos tampaknya tertarik. Dia mengabarkan kalau dia memang sudah pulang ke Kaliurang, Sleman, Jogja. Namun, dia masih belum bisa ditemui karena kondisi kesehatannya agak menurun. Dia perlu istirahat: tidak hanya mengistirahatkan tubuh, tapi juga batin.
Saya tentu maklum. Keriuhan di Jakarta pasti membuat energinya benar-benar terkuras. Apalagi dia juga sudah tidak muda lagi (72 tahun).
Aktivis sosial dan lingkungan
Banyak orang mengenal—atau lebih nyaman—menyebut Yos Suprapto sebagai seorang seniman atau pelukis. Tapi yang tidak banyak dibahas secara mendalam, Pak Yos juga merupakan aktivis sosial dan lingkungan.
Sedianya, itulah hal yang bakal menjadi topik obrolan kami jika ketemu.
Pak Yos lahir di Surabaya. Lalu melanjutkan sekolah seni di ASRI Yogyakarta. Setelahnya, dia menyelesaikan gelar PhD bidang Sosiologi Kebudayaan dari Southern James Cook University, Australia.
Sebagai seorang aktivis lingkungan, Pak Yos dikenal ahli dalam bidang pertanian. Selama 10 tahun dia meneliti kandungan mineral. Dia juga memahami penerapan teknologi pertanian.
Bersama beberapa penulis, dia pernah menulis buku berjudul Aplikasi Pupuk Kandang yang Ramah Lingkungan dalam Persepktif Budaya (2022)
Pak Yos juga pernah menjadi Ketua Umum The Rainforest Information Centre di Lismore, NSW Australia, sebuah organisasi yang bekerja sama dengan Walhi, CUSO (organisasi sosial Kanada), dan NGO lain.
Hanya saja, Pak Yos memang lebih banyak menggunakan lukisan sebagai medium untuk menyuarakan isu-isu sosial dan lingkungan dari fenomena yang dia amati. Sehingga lebih terkenal sebagai seniman.
Pak Yos nyaman dikenal sebagai yang mana? Itu adalah salah satu pertanyaan yang hendak saya bawa untuk sowan ke kediamannya di Kaliurang, Sleman, Jogja.
Berteduh di rumah Yos Suprapto
Senin (30/12/2024), Pak Yos mengabarkan kalau dia sudah bisa saya temui. Saya menjadwalkan sore selepas Asar. Pak Yos lantas mengirim alamat rumahnya.
Maka selepas Asar, meski hujan turun sangat deras, saya tetap memacu motor naik ke Kaliurang, Sleman, Jogja.
Rumah Pak Yos terletak di pojok perkampungan. Persis bersebalahan dengan sungai yang dikelilingi pohon-pohon rindang. Hijau sekali.
Rumahnya agak menjorok ke bawah. Pelatarannya berbentuk memanjang, mirip sebuah lorong. Rumah sederhana nan asri.
Saya melepas mantel yang sudah basah kuyup. Seorang perempuan, saudari jauh Pak Yos—yang kemudian saya tahu bernama Sri Hidayati—mempersilakan saya duduk. Hujan teramat deras, kami harus saling mengeraskan suara untuk berbicara.
“Pesan Pak Yos, kalau ada wartawan datang, bilang saya masih belum bisa ditemui,” ujar Sri Hidayati.
“Pak Yos baru saja dilarikan ke rumah sakit,” sambungnya.
Sebab keriuhan Jakarta
Saya duduk di kursi kayu teras rumah Yos Suprapto, ditemani Sri Hidayati. Kami lalu berbincang hal-hal sederhana, sebelum akhirnya perempuan 40-an tahun itu mengeluhkan situasi keriuahan di Jakarta saat pembredelan lukisan itu.
“Kan digoreng terus itu, Mas, sama media,” keluh Sri.
“Apalagi ada yang menggoreng kalau pembredelan di Jakarta itu hanya siasat Pak Yos saja biar lukisannya laku seperti di Australia. Padahal tidak begitu,” sambungnya.
Pak Yos sempat wawancara daring dengan Dahlan Iskan yang juga sudah tayang di Disway.
Dalam wawancara tersebut, Pak Yos bercerita bahwa momen serupa pernah dia alami saat pameran di Australia.
Lukisan Pak Yos dianggap terlalu erotik. Media setempat pun ramai-ramai memberitakannya. Gelombangnya mirip dengan riuh-rendah pembredelan di Galeri Nasional.
Nama Yos Suprapto pun sontak jadi sorotan. Ujungnya, lukisan-lukisan Pak Yos diborong oleh kolektor.
Dalam wawancara tersebut, Pak Yos mengatakan, “Saya jadi kaya raya gara-gara itu.” Hanya saja tentu dengan konteks tidak serius.
Sialnya, di media sosial ada saja netizen yang menggoreng kalimat Pak Yos itu. Menuding Pak Yos menggunakan siasat seperti di Australia lagi agar viral, lalu lukisannya diborong kolektor, kemudian mendapat banyak uang.
Sementara kata Sri, kalimat tersebut dilontarkan Pak Yos bukan dengan serius. Tapi semata guyonan karena dia berhubungan baik dengan Dahlan Iskan.
Pelataran tempat melukis
Sedari saya tiba, Sri memang agak sibuk dengan layar ponselnya: meng-update kondisi Pak Yos. Sebelum akhirnya dia pamit untuk masuk ke rumah.
“Mau saya buatkan kopi dulu?” Tawar Sri dengan ramah. Saya menggeleng.
“Kalau teh hangat?” Saya menggeleng lagi.
Saya hanya minta izin diperbolehkan berteduh sejenak di teras rumah Pak Yos. Karena hujan malah makin deras.
“Kalau tempat Pak Yos melukis biasanya di mana ya, Mbak Sri?” Tanya saya saat Sri melangkah masuk rumah.
“Pak Yos biasanya melukis di situ itu (di pelataran yang bentuknya memanjang dan berbentuk seperti lorong tadi),” jawabnya, lalu berlalu.
Saya lantas berjalan-jalan di pelataran, sejenak menatap kosong hujan yang membasahi pohon-pohon di bawah rumah Pak Yos.
***
Hingga tulisan ini tayang, Pak Yos masih istirahat, belum bisa ditemui. Mungkin lain waktu saya akan sowan lagi untuk berbincang tentang lingkungan dan kondisi bumi.
Saat menulis ini, saya baru sadar kalau saya tidak mengambil foto. Hari itu pikiran saya tertuju pada satu hal: sakit apa Pak Yos? Saya hanya mengambil foto lukisan Pak Yos yang terpajang di depan pintu, di kursi kayu tempat saya duduk yang gambarnya bisa Anda lihat sela-sela paragraf sebelumnya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Kus Sri Antoro, Suarakan Isu Difabel Melalui Wayang Limbah Plastik atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan