Cak Ubaid, Pelukis Spanduk Pecel Lele yang Bertahan di Tengah Gempuran Printing

Lamongan dikenal sebagai gudangnya pelukis spanduk pecel lele. Para seniman ini melukis di spanduk kain dengan cara manual. Namun, terkini marak spanduk pecel lele printing. Lantas, bagaimana eksistensi para pelukis ini?

***

Sabtu (05/03/2022) pukul 16.00 WIB bersama seorang kawan yang bernama Bahrudin Zain (26), saya nongkrong di warung kopi legendaris di desa kami, Desa Manyar, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Namanya ‘Warung Mbah Ni’. Nama ini disematkan karena pemilik warung ini bernama Hj. Kameni.

Obrolan sore itu seputar profesi pelukis spanduk pecel lele. Kebetulan Bahrudin anak seorang pelukis spanduk pecel lele jadi sedikit banyak tahu tentang spanduk pecel lele yang ikonik itu. Namun, yang istimewa, kami juga mengundang Ubaidillah (35). Salah seorang pelukis spanduk pecel lele.

Selepas Asar, Cak Ubaid, sapaan akrabnya, tiba di warung kopi dengan senyuman. Sesampainya di warung kopi ia menjelaskan kalau setelah Asar adalah waktu istirahat dari aktivitasnya melukis spanduk pecel lele. Beda dengan saya lebih suka minum kopi hitam, Cak Ubaid langsung memesan kopi susu. “Kadang kalo pengin ya pesen kopi (hitam), tapi lebih sering kopi susu,” ujar Cak Ubaid.

Setelah Cak Ubaid menyulut rokoknya, saya meminta ia untuk bercerita tentang awal memulai usaha spanduk pecel lelenya. Dengan santai dia lalu bercerita: “Dulu saya memulai usaha ini secara otodidak, tidak ada yang mengajari dan juga tidak pernah ikut orang melukis spanduk. Hanya melihat spanduk-spanduk yang ada, kemudian mencari bahan-bahannya sendiri misalnya kain, cat, dan kuasnya dan kemudian mencobanya,” tutur Cak Ubaid.

pelukis spanduk pecel lele mojok.co
Cak Ubaid sedang melukis spanduk pecel lele. (Dok. pribadi Ubaidillah)

Cak Ubaid sebetulnya sudah sejak sekolah punya bakat melukis. Kebetulan saya satu almamater dengannya di Madrasah Aliyah Ihyaul Ulum, Manyar, Lamongan, jadi tahu hasil karyanya. Mungkin hingga sekarang masih ada lukisan yang dipajang di dinding kelas. Karena Cak Ubaid selalu dipercaya untuk melukis dinding sekolah kami.

Lukisan di dinding kelas tertera nama “Tebu” sebagai watermark dari Cak Ubaid, maksudnya adalah “Ubet” (dibalik). Mulai dari sana nama Cak Ubaid terkenal sebagai pelukis, dan bertahan sampai sekarang. Ia sudah 12 tahun menggeluti usaha lukis spanduk pecel lele.

Menggencarkan promosi menjadi hal yang mesti dilakukan jika ingin merintis usaha lukis spanduk pecel lele. Ia mengaku di tahun pertama terjun ke dunia lukis spanduk ia terus mempromosikan karya spanduknya. Mulai dengan cara yang sederhana yakni jaringan pertemanan sampai mempromosikan di media sosial. “Untuk awal harus promosi, selanjutnya jika letter kita sudah dikenal, orang akan balik lagi,” imbuh bapak satu anak ini.

Proses pembuatan spanduk

Ketika awal melukis di kain ia merasa mempunyai tantangan tersendiri. Pasalnya melukis di kain tak semudah melukis di kanvas. Melukis di atas medium kain harus dilakukan dengan memegangi kainnya agar cat yang digoreskan tidak meluber kemana-mana.

“Namanya melukis yang mudah kan di media yang diam dan datar, makanya harus dipegangi, sekarang saya mencoba menggunakan bingkai agar lebih  mudah melukisnya, tangan kiri bisa memegang catnya,” ungkap Cak Ubaid. Ia juga menambahkan ia yang pertama memulai melukis spanduk dengan teknik membingkai kain.

Tahapan awal membuat lukisan di atas spanduk adalah dengan membuat sketsa menggunakan pensil. Kemudian menebali dengan cat lalu mewarnainya. Ketika saya tanya proses yang paling sulit, Cak Ubaid mengungkapkan proses membuat sketsa adalah proses tersulit ketimbang proses lainnya. Ia mengaku pada awalnya ia membutuhkan waktu dua jam untuk membuat sketsa. Namun, kini hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk menyelesaikan sketsa satu spanduk.

Spandul pecel lele dengan karakter Inspektur Ladusing karya Cak Ubaid. (Rizal Firdaus/Mojok.co)

Tentang lama pengerjaan ia mengungkapkan: “Minimal ya bisa selesai dalam satu minggu, tergantung panjang dan banyaknya gambar yang dipesan, terkadang pelanggan ingin cepat padahal ngelukis kan juga tergantung mood, kalo mood tidak baik bisa gak bagus hasilnya.”

“Kalo soal harga, Cak?” saya menimpali.

“Kalo harga rata-rata Rp150.000 hingga Rp190.000 per meter. Kalo minta full color ya nambah biaya,” jawabnya singkat.

Karena pelanggannya tidak hanya dari Lamongan, tapi luar Lamongan, bahkan luar Jawa, Cak Ubaid mengaku sering mendapat orderan dengan gambar yang beragam. Mulai dari gambar Upin dan Ipin, logo Persela, gambar anak dari si pemesan, sampai gambar karakter kartun dari India Inspektur Ladusing (Laddu Singh) yang sedang menangkap ayam.

Beragamnya permintaan pelanggan tersebut coba dilayani dengan baik. “Asal tidak gambar yang mengganggu orang lain (tidak senonoh), saya siap untuk melukisnya,” tuturnya sambil tersenyum.

Kemunculan spanduk printing

Setelah panjang lebar menjelaskan awal merintis usahanya, saya mulai mengulik tanggapannya mengenai mulai maraknya spanduk printing. Apakah kemudian bisa menggeser eksistensi spanduk lukis manual? Cak Ubaid langsung menjawab bahwa spanduk printing mulai booming 1-2 tahun belakangan.

Namun, menurutnya spanduk printing saat ini belum bisa menggeser spanduk lukis manual. Pasalnya, pertama masyarakat kadung menganggap bahwa spanduk lukis manual sudah menjadi identitas tersendiri bagi warung pecel lele. Kedua, terkait kualitas, kain yang digunakan spanduk manual lebih tebal ketimbang  spanduk printing hal itu juga berpengaruh kepada awetnya spanduk.

“Kelebihan lainnya spanduk lukis manual bisa menyala jika terkena sinar, ini yang membuat spanduk pecel lele tersebut mencolok di malam hari,” terangnya.

Cak Ubaid saat sedang mengerjakan spanduk pecel lele pesanan orang dengan teknik membingkai kain. (Rizal Firdaus/Mojok.co)

Ketika saya meminta pendapatnya mengenai spanduk printing yang asal ‘comot’ dari karya para pelukis manual ia berusaha untuk memaklumi. “Jadi spanduk printing itu kan selalu mengikuti permintaan pelanggannya, misal minta seperti lukisan gambar pelukis A, maka percetakan akan mencoba mencarikan gambarnya,” ucapnya. Hal ini juga menurutnya pernah dibahas di komunitas pelukis spanduk dan bahkan sempat mau dilaporkan terkait hak cipta.

“Karena kami pakai prinsip orang Jawa kami berusaha memakluminya, rezeki sudah ada yang ngatur,” ungkapnya.

Diakhir obrolan, saya menanyakan tentang keberlangsungan usaha lukis manual spanduk pecel lele. Dengan lugas Cak Ubaid menjawab: “Saya yakin, spanduk manual akan tetap eksis di tengah-tengah masyarakat, karena sudah menjadi identitas warung pecel lele, selain itu setiap pelukis spanduk punya ciri khas masing-masing entah itu ada gambar yang macam-macam atau gambar ayamnya ekspresi marah atau menggunakan font yang seram dengan tetesan darah, dan yang paling penting adalah inovasi, karena di sini saja (Desa Manyar) sudah ada 15 pelukis spanduk pecel lele, belum di desa lain, pelukis yang selalu berinovasi dan punya karakter yang akan bertahan,” pungkas Cak Ubaid yang kemudian kami pun mengakhiri obrolan karena hari sudah mulai gelap dan azan Maghrib sudah berkumandang.

Reporter: M. Rizal Firdaus
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Candi di Kampung Lelembut: Menguak Peradaban Hindu-Buddha di Gunungkidul dan liputan menarik lainnya di Susul.

 

Exit mobile version