Burung Hantu dan Perang Antargeng di Cancangan

Pada suatu malam di bulan Desember 2013, Lim Wen Sin berjalan di pematang sawah. Ia melangkah sendirian menuju rumah burung hantu (rubuha) yang baru dipasangnya malam hari sebelumnya. Cahaya kunang-kunang tak begitu jelas terlihat karena di langit bulan separuh menyinari tempatnya berjalan.

“Bulan Desember tahun itu musim kemarau panjang, tidak ada hujan. Tapi air mengalir di pesawahan karena di sini memang banyak mata air,” katanya, Kamis (25/2). Kedatangannya ke sawah malam itu untuk menerima ajakan perang dari geng tikus yang ada di Dusun Cancangan, Wukirsari, Cangkringan, Kabupaten Sleman, Provinsi DIY.

Sehari sebelumnya, ia memasang sebuah rubuha setelah memastikan burung hantu memang ada di Dusun Cancangan. Itu terlihat ketika beberapa hari sebelumnya dia memasang tenggeran (tempat burung bertengger) dari bambu berbentuk huruf T, ada burung hantu yang datang.

Pagi hari setelah malamnya ia memasang rubuha, Pak Lim mendapati benih padi yang baru ditanam petani ludes digasak tikus. Dalam radius 50 meter dari Rubuha yang dibangun, benih tanaman padi diacak-acak, seperti sebuah ejekan untuknya maupun kepada burung hantu.

Malamnya, layaknya bicara kepada manusia, Lim Wen Sin atau Pak Lim lantang menerima tantangan geng tikus di Cancangan.

Nek ngene carane, ngejak perang (kalau begini caranya, ngajak perang). Oke, kita mulai. Kita lihat siapa yang paling kuat!” batin Pak Lim.

***

Sejak malam itu, strategi perang disusun. Pak Lim tidak bisa sendiri. Ia meminta komitmen dari petani-petani pemilik lahan di sekitar tempat itu. “Jangan melakukan gropyokan (berburu) tikus dan memasang racun tikus di sawah,” pinta Pak Lim.

Ia juga meminta petani untuk membuat tenggeran di sawah-sawah. Itu sebenarnya lebih penting karena menjadi tempat istirahat burung hantu yang melewati dusun sekaligus digunakan burung bernama latin Tyto alba javanica mengawasi tikus. Sebuah pit stop untuk burung hantu.

“Mereka bisa bersarang di mana saja, yang penting ada tempat untuk bertengger,” ujarnya.

Rudi (48) petani di Dusun Cancangan mendirikan tenggeran untuk burung hantu yang sempat roboh.
Rudi (48), petani di Dusun Cancangan, mendirikan tenggeran untuk burung hantu yang sempat roboh. Semua foto oleh Agung Purwandono/Mojok.co.

Soal larangan gropyokan atau menangkap tikus beramai-ramai, Pak Lim bernafas lega sudah tidak ada. Warga mengatakan bahwa gropyokan tikus terakhir dilakukan tahun 1962. Sedangkan, racun tikus, itu adalah cara lumrah yang dilakukan mereka yang selalu mengalami gagal panen akibat serangan tikus. Serangan tikus membuat lahan mereka hanya bisa dipanen 10 persen dari seharusnya. Sisanya yang 90 persen dirampok gerombolan.

Gropyokan tidak dilakukan salah satunya karena pematang sawah di Cancangan sebagian besar berupa tumpukan batu. Saat gropyokan, dinding batu itu harus dibongkar, yang mana untuk memperbaikinya seperti semula butuh waktu enam bulan.

Pak Lim melarang racun tikus karena bisa membahayakan sahabat mereka, si Serak Jawa, jenis burung hantu yang akan membantu melawan geng tikus. Tikus-tikus yang sudah kena racun akan membuat Serak Jawa mati.

Pak Lim bukan sedang melebih-lebihkan soal keberadaan geng tikus di Cancangan. “Setidaknya ada tiga geng tikus di tempat ini, sawah itu sampai ke selatan, yang di sebelah barat jalan, kemudian yang di timur,” kata Pak Lim menunjuk arah mata angin tempat keberadaan markas besar geng tikus.

Tikus itu berkelompok dengan struktur organisasi dan peran masing-masing. Ada yang jadi bos atau pimpinan, koordinator, prajurit, hingga mata-mata. Setiap kali akan menyerang, mereka akan mengirim tikus mata-mata. Begitu kondisi dirasa aman barulah tikus-tikus tersebut menyerang persawahan yang menjadi teritori mereka.

Saat serangan sudah selesai, akan ada tikus yang bertugas untuk memastikan tidak ada tikus yang tertinggal di area persawahan. Biar tak ada cerita tikus yang ketiduran karena kekenyangan, sebab semua pasti akan ketahuan tim sweeper tikus.

Sebagai geng, mereka tidak akan menyerang teritorial yang dikuasai geng tikus lainnya. Kecuali karena adanya peristiwa tertentu, seperti gropyokan tikus tadi.

Menurut Pak Lim, gropyokan itu kalau tidak tepat dan tidak tahu caranya, justru akan membuat serangan tikus lebih merajalela. Ia juga memperhatikan ketika ada gropyokan, rata-rata tikus yang ditangkap atau dibunuh adalah tikus jantan.

“Saya pernah tanya salah satu petugas penyuluh lapangan saat ada gropyokan tikus di kawasan lain, saya minta hitung tikus betina dari jumlah tikus yang ditangkap. Dari 200-an tikus, hanya empat yang betina,” kata Pak Lim.

Padahal teorinya, satu tikus jantan itu punya empat tikus betina. Ke mana tikus betinanya? Tikus betina punya karakter untuk tidak keluyuran, ia akan berjaga di bagian paling dalam sarangnya. Tikus betina ini bahkan tidak memerlukan tikus jantan untuk regenerasi karena mereka punya kantong sperma yang besar.

“Saya membuktikan sendiri. Saya kan memelihara tikus, ada tikus yang mau saya sapih. Ternyata betinanya itu sudah hamil lagi. Dari mana coba? Padahal jelas-jelas tidak ada jantan di kotak itu,” katanya.

Ada mitos bahwa setelah gropyokan, biasanya tikus melakukan serangan yang lebih dahsyat ke sawah-sawah. “Bukan balas dendam, itu perang antargeng,” katanya.

Tikus hidup dalam sistem komunal yang kompak. Kalau ada induk tikus yang mati, anak-anaknya akan dibesarkan oleh tikus-tikus lainnya. Teorinya, jika ada 200 tikus jantan mati, berarti masih tersisa 600 tikus betina yang masih hidup.

“Katakanlah tidak 1 banding 4, tapi 1 jantan memiliki 2 betina. Jadi kalau 200 pejantan yang dibunuh, masih ada 400 tikus betina yang butuh makan.” Itu analisa pertama.

Analisa kedua, perang antargeng. Tikus-tikus yang menguasai wilayah lain akan segera mendapat laporan dari tikus mata-mata. “Si tikus mata-mata ini ngasih laporan, ‘Hoi… geng sebelah kena gropyokan, saatnya kita ekspansi,'” kata Pak Lim.

Ketika geng-geng tikus lain berpikiran sama, satu wilayah yang kena gropyokan petani akan didatangi dua geng tikus. Terjadilah perang geng untuk memperebutkan makanan di situ. Pemenang perang antargeng akan memperbudak tikus di wilayah tersebut.

“Ini yang tidak diamati dan dipelajari petani-petani kita, tahunya hanya mengeluh panen gagal karena tikus,” kata Pak Lim.

Penelitian tentang karakter tikus yang menyerang persawahan ini Pak Lim pelajari dari penelitian orang Jepang di Indonesia di tahun ’90-an. Selama 3-4 tahun, peneliti ini mengamati dan mencatat tentang pola dan karakter serangan tikus di persawahan di Indonesia. Saat itu fokus penelitian di daerah Sukabumi. Sayangnya, publikasi penelitian itu tidak banyak yang dibaca petani.

“Maka sebenarnya kita tidak bisa menghabisi semua tikus. Yang bisa dilakukan adalah mengontrol atau membatasinya dengan burung hantu. Jangan sampai tikusnya keluyuran ke mana-mana, tapi cukup makan di teritorinya.

***

Menurut Pak Lim, setahun setelah seruan perangnya, petani di Cancangan mulai merasakan manfaat. Hasil panen di musim panen berikutnya meningkat hingga 50 persen. Petani setempat mulai aktif terlibat mendirikan rubuha. Mereka kemudian memunculkan program “Burung Hantu Sahabat Petani”.

Di akhir 2020 hasil panen meningkat lagi hingga 90 persen, mencapai 10,2 ton per hektare. “Musim panen besok saya prediksi paling sekitar 6 ton per hektar karena tikus sedang berkembang biak, hama wereng akan banyak, juga burung. Siklusnya memang seperti itu,” kata Pak Lim.

Kepada petani, Pak Lim menyarankan untuk menggunakan pranata mangsa (kalender pertanian) sebagai patokan dalam menanam. “Pranata mangsa itu penting, petani jadi tahu hasilnya, termasuk kapan wereng banyak menyerang, penyakit yang ada di tanaman itu apa saja,” kata Pak Lim.

Perubahan fungsi lahan pertanian juga bisa membuat tikus merajalela. Salah satu yang diceritakan adalah efek dari pembangunan jalan tol Solo-Surabaya yang melewati wilayah Cangkringan. Memang, dalam pembuatan jalan tol dilakukan analisa dampak lingkungan (amdal). Tapi, amdal itu tidak dilakukan di jalan yang menjadi jalur tikus migran. Karena kehilangan jalur, tikus-tikus migran ini menyerang wilayah-wilayah yang dikuasi oleh tikus teritorial.

Petani kemudian menggunakan cara-cara berbahaya untuk membunuh dan menangkapnya. Cara berbahaya yang sampai saat ini masih digunakan yaitu menggunakan kabel yang dialiri setrum.

“Saya dapat laporan di Sragen, ada lebih dari 20 petani yang meninggal karena kena setrum,” kata Pak Lim dalam nada lirih. Laporan di media menyebut bahwa di Sragen hingga awal November 2020, ada 12 petani yang tewas tersengat listrik penjebak tikus.

Burung hantu jenis Serak Jawa ini sangat efektif karena meski dia hanya memakan satu atau dua tikus setiap hari, ia selalu membunuh hewan ini tiap menjumpainya. Seperti ada dendam abadi antara dua makhluk ini. Bagi burung hantu, tikus adalah musuh yang harus dibunuh. Konon ini ada kaitannya di masa lalu ketika tikus suka mengambil telur burung hantu.

Lim Wen Sin mengatakan bahwa sukses tidaknya pengendalian hama tikus menggunakan burung hantu diukur dari hasil panennya, bukan dari banyak tidaknya rubuha yang dibuat. Ia prihatin, di beberapa daerah rubuha ini jadi sekadar proyek. “Kesuksesan itu dihitung dari hasil panennya, meningkat tidak, itu baru berhasil,” katanya.

Faktor lain juga soal malas tidaknya petaninya. Ia menilai, petani sekarang harusnya mengingat kembali tradisi-tradisi yang dijalankan nenek moyangnya. Dulu, setiap malam petani rajin datang ke sawah, mereka kadang menanyi. Itu bukan hal yang mistik, tapi tengah mengecek, hama yang menyerang tanaman mereka, sekaligus  sedang berinteraksi dengan alam.

BACA JUGA Lim Wen Sin, Tionghoa yang Memilih Bersama Petani di Kaki Merapi dan kisah0kisah menarik lainnya di rubrik SUSUL.

 

[Sassy_Social_Share]

Exit mobile version