Meninggalnya seorang desainer grafis di Bantul memberi gambaran, pekerjaan di industri kreatif rawan mengalami gangguan kesehatan. Normalisasi kerja lembur nggak kenal waktu jadi salah satu sebabnya.
***
“Bro, masih freelance desain grafis?,” tanya saya ke seorang kawan, Mono (43) melalui pesan singkat lewat WhatsApp.
“Masih. Wingi ono sik mati nang Banguntapan,” balas teman saya. Ia sudah menduga, arah pertanyaan saya akan kemana.
Saya lantas mengirimkan link salah satu berita media lokal di Jogja berisi informasi meninggalnya seorang desainer grafis berinisial AS, (30), Minggu (16/7/2023). Korban yang asli Purworejo, Jawa Tengah meninggal di kosnya karena dugaan menderita asam lambung. Korban biasa bergadang setiap hari dan minum kopi.
Setidaknya itu yang Kepala Seksi Humas Polrs Bantul, Iptu I Nengah Jeffry Prana Widnyana sampaikan kepada wartawan setelah menggali keterangan dari pihak keluarga. Kepada keluarganya, korban sempat mengeluh sakit perut karena menderita asam lambung.
“Karena pekerjaannya seorang desainer grafis, korban sering bergadang dan minum kopinya kuat,” ucap Jeffry di Harianjogja.com.
Bukan hanya desainer grafis
Kawan saya mengatakan, ia memahami kalau desainer grafis itu sering lembur. Ia juga melakukan hal serupa ketika klien menuntut bekerja cepat. “Otak diperas, fisik untuk bergadang,” katanya.
Namun, ia menegaskan bahwa hal seperti itu sebenarnya bukan hanya desainer grafis yang mengalami, tapi juga secara umum pekerja di industri kreatif rasakan, apalagi freelance. Ia sendiri selain bekerja sebagai desainer grafis lepas juga sebagai kru produksi film atau iklan.
“Kru film atau iklan sebenarnya lebih kejam, Bro. Bisa lebih dari 14 jam. Banyak yang sakit terus meninggal,” katanya. Menurutnya banyak pekerja di dunia film/iklan yang bekerja bahkan hampir 24 jam. Namun, hal itu banyak yang menganggapnya sebagai sebuah kewajaran.
“Untungnya sekarang aku ikut produksi yang pimpinannya melakukan upaya setiap kontrak job tidak lebih dari 14 jam per day shoot. Jika lebih dari 14 jam, esok harinya kru datang setelah istirahat tidur 8 jam,” kata bapak dua anak ini.
Tujuannya agar kru sehat secara fisik dan emosi atau psikis. Sebagai freelance ia harus pintar-pintar untuk mencari pekerjaan. Risikonya memang kadang kesehatan menjadi faktor kesekian.
Normalisasi lembur di industri kreatif
Kasus meninggalnya desainer grafis di Bantul mengingatkan saya akan film Thailand produksi tahun 2015, “Heart Attack”. Film ini menggambarkan bagaimana seorang pekerja desainer grafis freelance yang nggak bisa menolak pekerjaan klien. Sang desainer grafis bahkan pernah tidak tidur hingga 5 hari karena menyelesaikan pekerjaannya.
Kawan saya yang lain, sebut saja Mino (35) mengatakan, bukan ngopi dan bergadang yang membuat desainer grafis di Bantul meninggal dunia.
“Yang membuat meninggal itu ya normalisasi kalau kerja di industri kreatif itu identik harus lembur nggak kenal waktu, kerja malam hari, ngopi bergelas-gelas, nggak ada jam kerja, otak dan fisik diforsir,” kata Mino.
Ia mengatakan, freelance desainer grafis seperti dirinya bukan hal mudah untuk melakukan negosiasi dengan klien. Kalau klien butuh cepat ya konsekuensinya ia harus mengerjakan, meski harus lembur, dan memforsir otak dan fisiknya agar pekerjaan selesai sesuai permintaan klien.
Klien kadang tidak peduli dengan situasi yang desainer grafis hadapi. Yang penting pekerjaan harus selesai secepatnya. Menolak, berarti rezeki lewat.
“Mereka bisa langsung cari freelance yang lain karena kan banyak pilihan sekarang,” kata Mino yang tak mau disebut identitasnya.
Kopong (34) desainer grafis di sebuah perusahaan media di Jogja pernah merasakan bagaimana kerja tak mengenal waktu saat masih bekerja di sebuah agensi di Jakarta. Kerja over time, bergadang, fisik dan otak diforsir itu sudah jadi keseharian. Tuntutan itu membuat ia nggak teratur urusan makan. “Kadang ya klien minta revisi itu bisa kapan saja, jadi seperti nggak ada batas jam kerja,” kata Kopong.
Variabel yang kompleks
Penting bagi agensi atau klien untuk memanusiakan pekerjaan seorang desain grafis. Kopong kemudian memilih keluar dan bekerja di sebuah media di Jogja dengan jam kerja yang lebih manusiawi. Usai jam kerja ia bisa mengerjakan pekerjaan freelance sebagai desain grafis.
“Kalau yang saya rasakan tuntutan sebagai freelance soal deadline itu sih masih masuk akal. Biasanya ada spare waktu 3-7 hari, biasanya saya kerjakan setelah jam kantor,” kata Kopong.
Desainer grafis senior Yogyakarta, Dimas Nurcahyo mengungkapkan pekerjaan seorang desainer grafis sebenarnya tidak berbeda dengan pekerja di industri kreatif lainnya. Tantangan di industri kreatif saat ini variabelnya cepat berubah.
Variabel itu juga sangat komplek dibandingkan industri konvensional, termasuk seorang desainer grafis. “Misalnya, dapat pekerjaannya dari mana, cara pengerjaannya seperti apa, lewat tatap muka atau online, freelance atau kerja di perusahaan, dan lainnya,” katanya.
Variabel yang sangat kompleks tersebut kemudian berhubungan juga dengan kebiasaan pekerja. Misalnya, apa yang dikerjakannya merupakan hobi, karena asyik melakukan sampai lupa waktu, lupa istirahat. Selain itu, memang ada pekerjaan di industri kreatif yang kadang harus dilakukan secara maraton atau terus menerus.
Dimas juga melihat ada hal-hal yang dinormalisasi dalam industri kreatif. Misalnya, kalau nggak lembur bukan pekerja kreatif, pekerja kreatif harus siap kapan pun. Padahal tidak bisa seperti itu.
Lembur itu bukan keharusan
Saya kemudian menghubungi Koordinator Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI) Chapter Yogyakarta, Aryo Pamungkas (39). Ia menggatakan, lembur sebenarnya adalah pilihan, bukan sebuah keharusan bagi seorang desain grafis.
“Kalau kliennya luar negeri, mereka itu sebenarnya sudah paham, kita itu hidup di zona waktu yang berbeda. Jadi kalau mereka minta revisi, kemudian ada delay untuk merespon mereka bisa menerima kok,” kata Aryo yang memang banyak menangani klien dari luar negeri.
Menurut Aryo, yang sering jadi masalah, karena ingin memberikan servis yang baik, setiap ada revisi selalu fast respon, langsung dikerjakan dan dikirim. “Nggak perlu segitunya juga, asal kita bisa memberikan pengertian, klien mau kok nunggu,” kata Co-Founder Slab! Design Studio ini.
Itu yang ia berlakukan di studionya. Hampir tidak ada lembur di perusahaannya. Daripada lembur, mending ia minta waktu tambahan ke klien. “Kalau pun sifatnya urgent dan ada tenggat waktu, kita keroyokan untuk menghindari lembur, dan itu nggak ada masalah,” katanya.
Selain itu, karena banyak kliennya dari luar negeri ia sengaja membentuk satu divisi yang bekerja dari pukul 9 malam hingga subuh jam 5. Dari awal rekruitmen di lowongan sudah diberi judul Night Owl Desginer, atau desainer burung hantu.
“Sudah ada disclaimer dari awal, jadi mereka tahu manajemen siklus istirahatnya. Ini sudah jalan 10 tahun dan alhammdullilah tidak ada yang sakit sampai berkepanjangan,” kata Aryo.
Kalau bergadang jangan lupa makan yang banyak
Aryo mengatakan, ada fase dalam hidupnya sebagai desainer grafis yang memiliki dua siklus kerja dalam sehari. Dari jam 9 pagi sampai maghrib, istirahat sebentar kemudian jam 9 malam hingga jam 3 pagi. Namun, itu dulu saat ia masih sering ikut kontes.
Menurut Aryo, mungkin saja, desainer yang meninggal di Bantul itu karen sedang ikut kontes. Dari informasi yang ada, korban meninggal karena asam lambung setelah sering bergadang dan minum kopi. “Mungkin karena makannya nggak teratur. Kalau bergadang, itu kuncinya makan teratur, makan yang banyak, sama olahraga,” kata Aryo.
Aryo berpesan kepada rekan-rekannya desainer grafis untuk jangan lupa memberikan yang sudah seharusnya tubuh dapatkan sebagai hak, yaitu tidur yang cukup, makan yang cukup, dan olahraga.
“Itu sudah cukup, pekerjaan kita itu memang membuat ‘hanyut’ dan terlena. Harus menyadari, duduk berjam-jam di kamar, ngopi, ngrokok, itu nggak sehat. Jangan sampai mati-matian ngejar duit, malah duit habis membiayai tubuh kita di hari tua,” katanya.
ADGI sendiri belum masuk ranah advokasi, seperti perlindungan pada profesi desainer grafis, karena itu masih menjadi kebijakan di ranah masing-masing agensi, studio dan markom. “Kasus ini akan membuka ruang diskusi soal perlindungan profesi ini,” kata Aryo.
Penulis: Agung Purwandono
BACA JUGA Menjadi Desainer Grafis Akar Rumput: Waktu itu Fana, Revisi Abadi