Musimin terpaksa menolak permintaan untuk ekspor kopi ke Jepang. Ia sudah berusaha mengumpulkan biji kopi dari petani di lereng Merapi di wilayah DIY, tapi jumlahnya tak cukup banyak untuk memenuhi permintaan.
Tawaran dari lembaga untuk menanam bibit kopi hasil entres atau bibit unggul agar tanaman kopi lebih produktif juga ditolaknya. Ia lebih percaya pada bibit-bibit yang memang sudah ada di alam.
***
Motor matik 125cc berumur sewindu ini saya kebut menelusuri jalan menanjak di Turgo, Pakem, Sleman. Mendekati lereng Gunung Merapi. Sebuah plang penanda tempat tujuan tampak di kiri jalan dari arah selatan. Tanda saya harus berbelok.
Ban motor yang sudah agak halus ini dituntut menapaki jalan batu yang sudah berlumut sepanjang seratus meter. Setelah itu, saya tiba di halaman sebuah rumah sederhana, seperti jalanan tadi gentingnya sudah banyak ditumbuhi lumut. Rumah ini tepat berada di bawah bukit Turgo.
Sepasang suami istri yang sedang beraktivitas, ramah menyambut saya. Pak Musimin yang sedang membuat kandang ayam meletakkan palu dan gergajinya. Begitu pula, Sarinah sang istri yang menghentikan gerakan tangan menyapu dedaunan.
Mereka berdua mengarahkan saya menaiki beberapa anak tangga ke sisi utara rumahnya, menuju sebuah bangunan yang didominasi gedhek bambu dan kayu. Di sinilah, sebuah kedai kopi sederhana yang mereka kelola berada. Jam menunjukkan pukul setengah sembilan pagi, saya jadi pelanggan pertama hari ini.
Sarinah segera menyiapkan secangkir kopi tubruk dengan biji arabika dari perkebunan Merapi yang saya pesan. Sembari menunggu, mata ini mengamati sekitar. Di dalam kedai, beragam spesies anggrek bertengger di dinding. Menambah kesan ‘hijau’ tempat ini. Sebab tanpa itu pun, ruang yang hanya dikelilingi gedhek dan pagar kayu yang renggang ini membuat pengunjung bisa melihat langsung alam sekitar yang penuh tumbuhan.
“Sebelumnya sudah pernah ke sini Mas?” tanya Sarinah dengan bahasa Jawa halus sambil mengantar kopi ke meja saya.
Saya pernah kemari pada Januari lalu. Namun, saat itu tak sempat berbincang banyak dengan pemilik kedai ini lantaran pengunjung sedang ramai. Kali ini, mumpung sepi saya berkesempatan berbincang banyak dengan Musimin dan Sarinah.
Mengenal kopi
Beberapa seruput kopi, Musimin pun datang dan duduk di hadapan saya. Pria ini langsung menyalakan sebatang rokok Djarum Coklat miliknya dan bercerita bagaimana awal ia menjajakan cangkir demi cangkir hasil seduhan biji kopi dari lereng Merapi.
“Sebenarnya belum lama, sekitar tahun 2018 saya buka kedai,” katanya.
Meski kedainya masih terhitung baru, kedekatan Musimin dengan kopi sudah terjalin lama. Kopi merupakan salah satu jenis komoditas yang banyak ditanam di lahan-lahan petani lereng Merapi. Namun, dulu ia mengenal kopi ala kadarnya.
“Saya belum tau cara merawat dan pengolahan yang baik,” jelasnya singkat.
Sampai tahun 2017, Sulistyono, peneliti dari Pusat Studi Lingkungan Universitas Sanata Dharma mengenalkan Musimin pada Firmansyah atau akrab Pepeng dari Klinik Kopi, Sleman. Pepeng yang semula sekadar memesan beberapa kilogram biji kopi, ternyata membuat Musimin sadar bahwa kopi Merapi punya nilai lebih jika benar dalam merawat dan mengolahnya.
Masih lekat dalam ingatan Musimin, suatu hari Pepeng mengumpulkan beberapa petani kopi di Turgo. Pepeng mengajak mereka menjajal seduhan biji hasil roasting dari Klinik Kopi. Setelah mencobanya, para petani mengakui kenikmatan rasa dan bertanya dari mana asal kopi tersebut.
“Ya ini kopi yang diambil dari sini,” ujar Musimin tertawa, menirukan penjelasan Pepeng kala itu.
Sejak saat itulah, Musimin dan sejumlah petani kopi lain menyadari potensi kopi yang mereka tanam di kebun. Hal itu juga yang membuat pria ini akhirnya membuka kedai kopi sendiri.
Dahulu, kedai milik Musimin berada di pinggir jalan raya. Di seberang gang kecil berbatu yang saya lewati tadi. Konsep makanan dan minuman yang disajikan serupa, hanya saja tempatnya berbeda. Baru sejak 2020, Musimin kepikiran untuk memanfaatkan lahan di samping rumahnya untuk membuat kedai baru.
Ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi. Pertama ia ingin kedainya lebih dekat dan menyatu dengan rumahnya. Sedangkan alasan kedua, ia lelah wira-wiri dari kedai ke rumah untuk mengantarkan pelanggan yang ingin melihat anggrek yang ia tangkarkan.
Hidup untuk konservasi
Alasan kedua itulah yang akan membawa kita mengenal lebih jauh sosok Musimin. Pria kelahiran 3 Agustus 1965 ini sejak lama dikenal sebagai sosok yang berusaha melindungi beragam kekayaan alam di lereng Merapi. Anggrek jadi salah satu yang paling ia jaga.
Sejak 1996 Musimin sudah punya perhatian khusus kepada anggrek. Selama lebih dari dua dekade, pria ini sudah menangkar sekitar 80 spesies anggrek yang beberapa di antaranya merupakan spesies khas kawasan Gunung Merapi.
Lahir dan tumbuh besar di Turgo membuat Musimin ingat, dahulu anggrek merupakan barang yang mudah sekali ditemukan di hutan. Namun belakangan, hal itu berubah. Beberapa erupsi besar, membuat habitat anggrek di lereng selatan bagian barat rusak. Momen erupsi 1994 adalah titik di mana kesadaran Musimin untuk menjaga anggrek di lereng Merapi mulai terbangun.
Sejak saat itu Musimin terus bergerak melestarikan Anggrek. Kolaborasi dengan sejumlah kalangan, mulai dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DIY, Taman Nasional Gunung Merapi, hingga sejumlah peneliti seperti Sulistyono dari USD.
Beragam kerja sama itu juga yang membuat pengetahuan Musimin tentang anggrek begitu kaya. Ia begitu detail saat menjelaskan berbagai jenis-jenis anggrek. Hafal nama latin dan karakteristik yang melekat pada tumbuhan ini.
Atas jasanya terhadap pelestarian anggrek di kawasan ini, Musimin pernah diberi penghargaan UNY Kencana Wijaya 2015. Penghargaan tersebut diberikan rektor uny kala itu, Prof. Dr. Rochmat Wahab.
Namun sejatinya, Musimin tak hanya fokus pada pelestarian anggrek saja. Bahkan sebelum fokus ke anggrek, ia sudah banyak melakukan kegiatan restorasi tanaman hutan. Beragam jenis pohon yang direstorasi mulai dari sentigi, tasek, berasan dan jenis-jenis lain yang memang sejak lama kerap ditemukan di Merapi.
Hal yang masih terus ia lakukan sampai sekarang. Semua ia lakukan karena kesadaran untuk menjaga kelestarian alam sekitar tanah kelahirannya.
“Kalau bibit tanaman restorasi itu ada 25 spesies. Sering juga restorasi bambu di hutan,” ujarnya.
Ia menyiapkan bibit-bibit tersebut di kebun dekat rumahnya. Jika ada pihak yang ingin melakukan kegiatan restorasi, maka ia akan menyediakan bibit dan mengantar ke titik di hutan yang dihendaki untuk dilakukan penanaman.
Kesadaran untuk menjaga kelestarian itu terus berlanjut. Sampai saat Musimin mulai memahami secara mendalam dunia kopi. Sejak 2017, kopi dari kawasan lereng Merapi memang terus berkembang dan mulai dikenal banyak kalangan. Musimin menyadari itu, maka ia membuka kedai kopi yang bisa saya nikmati saat ini.
Selain untuk pemenuhan kedainya sendiri, kopi-kopi dari sini mendapat permintaan dari banyak kalangan, termasuk pasar luar negeri. Salah satu yang Musimin ingat adalah permintaan dari Jepang.
“Awalnya kami kirim enam kilogram biji kopi arabika grade A2. Kemudian ngirim lagi dua kuintal dua kali pengiriman. Terakhir lima kuintal lalu berhenti,” ujarnya terkekeh.
Katanya, tak kuat memenuhi permintaan sebanyak itu. Padahal untuk ukuran industri, permintaan di bawah satu ton belum terhitung banyak.
“Jumlah itu juga sudah saya kumpulkan dari kelompok tani di sekitar sini,” katanya.
Kopi di seputar lereng Merapi memang didominasi robusta. Perbandingannya antara robusta dan arabika sangat jauh. Sedangkan permintaan yang datang saat itu kebanyakan untuk biji kopi arabika.
Sebenarnya, Musimin bisa saja menanam bibit kopi yang secara kuantitas bisa lebih menghasilkan. Ia menyebut ada sejumlah tawaran untuk menanam bibit kopi yang bisa lebih produktif.
“Kadang-kadang ada yang tertarik dengan bibit sambungan entres. Nanti itu memang bisa menghasilkan biji kopi yang lebih besar atau cepat pertumbuhannya. Jadi produktif,” katanya.
Namun, ia punya keinginan agar tetap mempertahankan bibit-bibit yang sudah lama tumbuh dan dibudidayakan di kebun-kebunnya. Baginya, ada kebahagiaan tersendiri jika bisa mempertahankan kekayaan kopi khas daerahnya.
“Saya punya prinsip untuk melestarikan suatu spesies yang masih original. Bagi saya itu akan membawa nilai dan manfaat. Saya percaya suatu saat orang juga akan mencari yang demikian,” ujarnya.
“Anugerah Allah yang sejak awal seperti itu saya kira kok perlu dilestarikan,” sambungnya dengan mantap.
Di sela perbincangan, Musimin kembali menyalakan rokok untuk ke sekian kalinya. Bungkus rokok Djarum Coklatnya sudah kosong, kini berganti ke bungkus baru lagi.
“Saya itu memang banter rokoknya. Sehari kadang bisa dua bungkus,” ucapnya terkekeh.
Hari mulai siang, namun kabut masih menyelimuti sekitar. Sesekali, kicauan burung nyaring terdengar dari hutan yang jaraknya hanya selemparan batu dari tempat ini. Bagi saya, ini jadi kenyamanan yang tak bisa didapat setiap hari.
Namun, buat Musimin ini adalah hal lumrah yang ia rasakan setiap hari. Musimin benar-benar tumbuh dan besar di area ini. Masa kecilnya dihabiskan di rumah yang sama dengan yang ia tempati sekarang.
“Bedanya kalau dulu saya kecilnya di rumah bagian belakang,” kenangnya.
Hal-hal yang hilang di lerang Merapi
Hal itu membuat Musimin bisa mengamati dengan jeli gejala-gejala yang terjadi di alam sekitar. Termasuk hal-hal yang dulu mudah ditemukan namun kini mulai hilang.
“Saya merasa kehilangan beberapa hal. Ada contohnya dua jenis talas. Satu talas nama lokalnya blantenan dan satu sente urang,” jelasnya.
Dulu jenis talas merupakan hal penting bagi warga sekitar. Sumber pangan yang mudah dijumpai.
“Dulu simbok dan bapak kalau anaknya nangis lapar, tinggal ambil aja talas di sekitar. Dikupas dan dikasih ke anak,” ujarnya.
Sebagian besar talas mungkin dianggap agak membuat gatal tenggorokan. Tapi menurut Musimin, talas blantenan itu lain, bahkan untuk dimakan mentah saja sudah manis dan gurih. Keberadaannya sangat membantu keluarga orang tuanya yang dulu ekonominya serba pas-pasan.
“Dulu selain buat dimakan, talas itu (blantenan) bisa dibuat untuk mengobati luka. Tinggal dikunyah atau ditumbuk lalu ditempelkan di bagian yang luka. Pelepah talasnya untuk membalut,” tambahnya.
Tahun 2016, saat sedang jalan-jalan ke ladang, Musimin menemukan satu talas blatenan. Ia bawa ke rumah untuk dirawat. Ia tanam di pot dengan harapan bisa tumbuh besar.
“Tapi malahan mati, mungkin karena saya merawatnya berlebihan karena takut hilang. Padahal talas kan biasanya nggak diapa-apain sudah hidup sendiri. Itu juga saya temukan di antara rumput semak-semak begitu” curhatnya.
Selain itu, ia juga menanam delapan jenis pisang di ladang. Sebagian di antaranya jenis yang mulai jarang ditemui di sekitar Merapi. Dahulu ada jenis pisang yang tidak enak dimakan secara langsung. Hanya nikmat jika direbus atau dikukus.
“Itu kalau orang sini menyebutnya gedhang kidang. Warna pohon dan buahnya merah kehitaman. Itu sudah sangat jarang. Tapi masih ada di kebun saya,” ucapnya.
Bahkan pria ini juga punya perhatian pada tumbuhan edible yang tampak sederhana, banyak ditemukan di sekitar, namun punya bisa dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Istilah edible sendiri merujuk pada pengertian tanaman yang bisa dimakan. Tumbuhan seperti itu, menurutnya mudah tumbuh dan buat banyak orang tidak penting sehingga sering dicabuti.
“Eryngium foetidum yang seperti daun rerumputan. Itu kami coba olah dan manfaatkan,” jelasnya, pria ini terdengar begitu lanyah menjelaskan nama-nama latin berbagai jenis tumbuhan. Hal yang menurutnya didapat karena belajar dan perjumpaan dengan banyak orang.
Baginya, potensi alam yang ada jika digali punya banyak sekali manfaat. Kehilangan salah satu di antaranya merupakan kesedihan. Bagi Musimin tumbuhan di sekitar sudah seperti keluarga sendiri. Ia rawat dan cintai sepenuh hati.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono