Tradisi berbuka puasa dengan takjil berupa bubur sayur lodeh masih dilestarikan oleh Masjid Sabiilurrosyaad atau juga dikenal dengan Masjid Kauman Bantul. Tradisi yang sudah berlangsung ratusan tahun ini merupakan warisan Panembahan Bodho, murid Sunan Kalijaga dari Sidoarjo yang melakukan syiar Islam di Bantul.
***
Tradisi Islam di Jawa selalu punya keterkaitan dengan sejarah panjang perjalanan para wali di tanah Jawa. Tradisi itu ada yang mengakar sangat kuat. Saking kuatnya akar yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat yang mewarisinya, tradisi itu terus dijaga keberlangsungannya secara turun temurun hingga saat ini.
Salah satu tradisi Islam yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat itu ada di Masjid Sabiilurrosyaad, Bantul, Yogyakarta. Menurut catatan sejarah, masjid ini sudah ada sejak abad ke-16. Dan tradisi yang dijaga hingga saat ini adalah berbuka puasa dengan takjil bubur sayur lodeh. Saya penasaran dengan rasa bubur sayur lodeh yang sudah jadi tradisi sejak ratusan tahun yang lalu itu.
Kamis sore, 7/4/2022, saya menghubungi seorang teman fotografer bernama Tirta Perwitasari yang rumahnya dekat dengan Masjid Kauman. Dari Tirta, saya mendapat nomer kontak seorang remaja Masjid Kauman bernama L Nisak. Nisak lantas memberi saya nomer kontak bernama Kesra. “Itu takmir masjidnya, Mas,” kata Nisak.
Sore itu juga saya berkirim pesan pada Pak Kesra bahwa saya akan datang ba’da Jumat ke Masjid Kauman.
Hari Jumat, 8/4/2022, akhirnya saya bekunjung ke Masjid Sabiilurrosyaad. Masjid ini berlokasi di Padukuhan Kauman, Kalurahan Wijirejo, Kapanewon Pandak, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Letaknya yang berada di tengah pemukiman desa membuat masjid ini terlihat megah. Menjulang. Karena atapnya bertumpang.
Titik tertinggi atap masjid merupakan mustaka yang terbuat dari tanah liat peninggalan murid Sunan Kalijaga. Halamannya luas dikelilingi pagar tembok yg kokoh. Dulu, masjid ini bernama Masjid Kauman. Karena begitu banyak para kaum dan alim ulama yang tinggal di sekitaran masjid.
Lelaki generasi terakhir juru masak bubur sayur lodeh
Saya memarkir motor di halaman masjid pada pukul 14.00 wib. Serambi masjid masih sepi. Namun, dari arah belakang terdengar suara beberapa orang sedang berbicara.
Saya menuju ke belakang lewat pintu sisi kanan masjid. Dari pintu bagian belakang masjid saya melihat ada enam orang. Satu lelaki. Lima perempuan. Dan dua panci besar di atas tungku batu bata dengan bahan bakar kayu. Yang lelaki bernama Khasanuddin. Usianya 61 tahun. Dia duduk di atas bangku kayu menghadapi sebuah panci besar berisi bubur yang tengah dimasak.
Tangannya sibuk mengaduk agar tidak gosong. Di depan Khasanuddin ada Istimuqadimah, 51 tahun, yang juga tengah mengaduk panci besar berisi bubur. Seorang lagi bernama Sri Suwarni atau biasa dipanggil Mak Sri. Usianya 59 tahun. Saat saya datang, dialah yang sibuk wira-wiri membawa kayu dan memasukkannya ke dalam tungku. Dia menjaga nyala api agar tetap stabil. Dua orang lagi yang tengah duduk pada dingklik bernama Waziyah, 62 tahun, dan Bardini, 70 tahun.
“Wah, ini lagi pada masak bubur ya, Bu. Berapa kilo ini dua panci?” Tanya saya dalam bahasa Jawa.
“10 kilo, Mas. Per panci masing-masing 5 kilo,” jawab Istimuqadimah.
“Setiap hari 10 kilo?”
“Khusus hari Jumat saja, Mas,” sahut Mak Sri.
“Kalo hari biasa?” tanya saya lagi.
“Lebih sedikit, Mas. Cuma satu panci saja. Karena kalo hari biasa hanya untuk warga kampung sini saja. Kalo hari Jumat khusus buat jamaah masjid sini yang datang dari luar,” jawab Mak Sri.
“Bumbunya apa saja sih, Bu?
“Satu panci ini 5 kilogram beras, garamnya 12 sendok, santannya satu ember, dan daun salamnya sekitar 15 lembar,” jawab Istimuqadimah.
“Kalau dua panci ini bisa untuk berapa piring bubur, Bu?”
“Bisa jadi 350-400an piring bubur, Mas,” jawab Bu Misbach.
Di antara mereka berenam, yang paling lama sebagai juru masak bubur adalah Khasanuddin. Sejak usia 15 tahun dia sudah membantu memasak bubur di Masjid Sabiilurrosyad.
Menurut Mak Sri, Khasanuddin merupakan lelaki generasi terakhir juru masak bubur yang masih tersisa. Selain Khasanuddin, juru masak bubur lainnya adalah Wardhani, yang belum lama ini meninggal dunia. Sedangkan yang lainnya ialah Ngadiman. Kini sudah sepuh.
Mak Sri sendiri merupakan mantu dari Ngadiman. Mak Sri mulai membantu memasak bubur sejak tahun 1980 bersama Bu Misbach. Mereka berdualah yang menjadi generasi pertama juru masak bubur perempuan.
“Generasi lebih lama lagi ada almarhum Mbah Muhadi dan almarhum Zarkasi,” kata Mak Sri. “Saya masih kecil tapi masih ingat,” kata Mak Sri, “Mbah Muhadi dan Mbah Zarkasi ini yang keliling kampung mencari sumbangan beras dan gabah.”
Tradisi dari Penembahan Bodho
Saat saya sedang asyik ngobrol dengan mereka berenam, Pak Kesra datang dan berdiri di pintu belakang. Saya mengakhiri perbincangan dan menuju serambi masjid bersama Pak Kesra. Di samping masjid dekat sumur terlihat beberapa perempuan tengah memasak sayur lodeh. Ada yang sedang menumis mi lethek. Ada juga yang sedang memasak telur kuah kuning. Lalu ada juga yang tengah memasak krecek.
Takmir masjid Kauman ini namanya bukan Kesra seperti dalam ponsel yang dikirimkan Nisak. Nama aslinya Haryadi. Usianya 55 tahun. Kesra merupakan Kesejahteraan Rakyat. Jabatan di tingkat Desa. Sejak tahun 2000 Haryadi dipercaya oleh warga Kauman menjadi takmir.
Menurut Haryadi, masjid Kauman ini dulu bangunannya tidak seperti ini.
Dulu bangunan aslinya mirip dengan Masjid Gede Kauman. Karena arsiteknya juga sama. Namun, karena tuntutan zaman dan kurang perhatiannya dinas instansi pemerintah terkait keberadaan benda cagar budaya sehingga keaslian masjid sebagai benda cagar budaya berubah sejak dibangunnya masjid pada tahun 1983.
Namun niatnya, kata Haryadi, semata karena fungsinya. Karena bangunan masjid lama sudah tidak muat lagi kapasitasnya jika untuk dipakai Jumatan. Jadi, pembangunan masjid itu semata untuk memperluas masjid agar bisa menampung jamaah lebih banyak lagi.
Masjid Kauman sudah ada sejak abad ke-16 atau sekitar tahun 1570 Masehi. Sedangkan menurut catatan H Moh Hadi, masjid Kauman berdiri sejak tahun 1485 Masehi. Mohammad Hadi adalah penyusun sejarah ringkas pemugaran masjid Kauman, Wijirejo, Pandak, Bantul, Yogyakarta.
Menurut cerita Haryadi, masjid Kauman dibangun oleh Raden Trenggono. Cucu Adipati Terung, Sidoarjo. Kadipaten Terung merupakan Kadipaten di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit era Brawijaya V. Raden Trenggono merupakan murid Sunan Kalijaga. Dia mendapat julukan sebagai Penembahan Bodho karena tidak mau mewarisi jabatan sebagai Adipati Terung dan lebih memilih meninggalkan sifat keduniawian lalu mengembara melakukan syiar agama Islam.
Raden Trenggono menerima julukan bodoh itu dengan rendah hati. Karena baginya urusan keduniawian tidak lebih penting dari urusan akhirat. Dia rela tidak memilih menjadi adipati melainkan lebih memilih mensyiarkan agama Islam. Raden Trenggono oleh Sunan kalijaga kemudian ditugaskan untuk mengembara mensyiarkan agama Islam di Mataram lalu mendirikan Masjid Kauman, Bantul.
Makna dalam seporsi bubur sayur lodeh
“Lantas sejak itu ada tradisi bubur di sini, Pak?” Tanya saya.
“Ya, kita meyakini bahwa tradisi bubur sayur lodeh telah ada sejak berdirinya Masjid Kauman ini,” jawab Haryadi.
“Kenapa bubur, Pak?” Tanya saya.
“Pertama, bubur itu berasal dari kata bibirin yang artinya suatu hal yang bagus. Artinya, jika nanti masuk masjid ini akan disuguhi bubur, itu maknanya akan diberi ajaran atau suatu hal yang bagus, yang baik, yakni ajaran agama Islam,” kata Haryadi.
Kemudian yang kedua, bubur itu dari kata beber artinya penjelasan. Nanti di masjid ini akan ada penjelasan-penjelasan tentang ajaran-ajaran yang baik. Dengan pengajian-pengajian dan dakwah yang ada di masjid ini.
Sedangkan yang ketiga bubur memiliki makna babar. Babar itu sama dengan bubur itu. Dengan materi yang sedikit tapi bisa membabarkan atau menyebarkan secara merata pada banyak orang. Misalnya, kalo beras sekilo itu dimasak jadi nasi hanya bisa untuk 10 orang, kalo dibuat jadi bubur ‘kan bisa untuk 25-30 orang. Babar artinya merata untuk semua kalangan,”papar Haryadi.
Nantinya, orang yang datang ke Masjid Kauman akan dikasih ajaran agama Islam itu yang merata. Untuk semua kalangan. Tua, muda. Kaya, miskin. Pejabat dan rakyat jelata. Pamungkasnya, bubur itu teksturnya lembut. Cocok untuk takjil. Tidak membikin perut bergejolak. Cocok untuk berbuka puasa. “Itu maksudnya, ajaran agama Islam itu harus disampaikan dengan lemah lembut. Tidak menimbulkan pro dan kontra. Tanpa kekerasan. Bisa mudah dicerna bagi mereka yang awam terhadap ajaran agama Islam,” pungkas Haryadi.
Menurut Haryadi, sepengetahuannya, sejak dulu bubur selalu dilengkapi dengan sayur lodeh. Ia kurang tahu, duluan mana tradisi bubur sayur lodeh di Masjid Kauman Bantul dengan keraton. Dulu, keraton jika terjadi suatu peristiwa selalu saja menganjurkan pada kawula Mataram untuk membuat sayur.
“Sayur lodeh itu sebuah pesan. Beda lagi jika misalnya dalam keadaan genting, sayurnya tentu berbeda lagi. Lodeh ini pesannya agar kita perhatian dalam memahami sesuatu yakni ajaran agama Islam. Makanya, bubur itu materinya apa adanya. Yang penting sayurnya lodeh. Lodeh dengan tahu tempe. Ada telur ya dicampurkan. Tapi intinya sayur lodeh,” pungkas Haryadi.
Tak terasa beduk azan asar telah dibunyikan. Haryadi menuju ke dalam. Saya menuju samping masjid untuk mengambil air wudu. Usai dari dalam masjid kemudian ke ruangan dekat sumur tempat perempuan menata piring-piring bubur disajikan. Orang-orang mulai berdatangan.
Piring berisi bubur telah tertata rapih di atas palet kayu berukuran sekitar empat kali dua meter. Piring-piring berisi bubur itu disusun rapi. Terlihat indah dengan warna santan kuning yang menggoda otot perut. Di atas piring-piring bubur itu tersimpan sejarah panjang kesetiaan menjaga warisan kebudayaan dari para leluhur. Warisan budaya dari orang-orang terdahulu yang secara turun temurun. Orang-orang yang istiqomah membuat bubur sayur lodeh setiap bulan ramadan.
Orang-orang terdahulu itu ada Kalwan yang sejak tahun ‘70-an menjadi juru masak. Ada Samingan. Ada Ngadiman dan adiknya Zurkoni. Ada Wardani hingga Khasanuddin dan Mak Sri. Juga ada warga yang dengan tulus menjadi donatur hingga bubur sayur lodeh tersaji sejak ratusan tahun yang lalu hingga saat ini.
Serambi masjid kini telah dipenuhi orang. Mereka duduk bersila. Ada ceramah pengantar menjelang waktu berbuka yang diwedarkan oleh seorang ulama. Piring-piring bubur telah dihantarkan oleh anggota remaja Islam masjid atau Risma. Piring-piring itu diletakkan di depan setiap orang yang bersila dengan takjim.
Saya dan beberapa teman-teman jurnalis duduk di samping masjid. Di depan saya ada sepiring bubur sayur lodeh dan segelas teh hangat manis. Warna bubur sayur lodeh di depan saya terlihat menguning tua. Perpaduan warna santan dan rempah kunir yang matang sempurna. Kuahnya yang menguning itu menggenang mengelilingi bubur yang berwarna putih. Di bagian tengahnya terdapat irisan-irisan tempe.
Sepotong krecek kulit sapi. Dan separuh telur rebus yang berminyak karena siraman kuah areh yang terlihat legit. Paling atas dari sajian bubur ini terdapat sejumput tumisan mi lethek yang warnanya meredam semua warna yang ada di atas piring menjadi harmonis. Semua warna di atas piring itu seperti punya kekuatan magis. Lalu menyatu dalam sebuah kesatuan dalam sepiring bubur sayur lodeh.
Beduk telah dipukul. Saya menyeruput seteguk teh hangat manis. Melihat piring bubur yang akan saya santap, teringat sejarah panjang yang diceritakan Mak Sri dan teman-temannya di belakang masjid tadi. Segala yang tulus tertuang ke dalam sajian. Takaran garam yang pas. Daun salam yang berkhasiat. Santan yang bermanfaat. Juga ketulusan dari jiwa-jiwa yang tanpa pamrih, hadir begitu saja di depan saya.
Saya sendok kuah kuning yang berada di tepian piring. Rasa gurih langsung menyergap ujung lidah hingga ke rongga mulut. Aromanya khas. Rasa gurihnya membawa imajinasi saya pada suasana sebuah desa yang jauh. Desa yang penuh kearifan. Menentramkan. Sesuap bubur warna putih kemudian secara bergiliran masuk ke dalam mulut. Lembut. Legit. Perpaduan santan, garam, dan daun salam, sepertinya telah benar-benar menyatu. Karena aroma daun salamnya masih tercium, khas. Apalagi saat krecek dan telur susul menyusul masuk ke dalam ruang indra perasa. Beuh, rasanya saya ingin bergegas saja melahap habis karena gairah.
Sepertinya saya ingin kembali lagi ke sini hari Jumat depan. Tentu saja untuk menyantap sepiring bubur sayur lodeh yang kini telah menjadi legenda.
Reporter: Eko Susanto
Editor: Agung Purwandono