Kalis Mardiasih: Aku Tahunya Islam Sehari-hari, Jadi Itulah yang Aku Tulis

MOJOK.CO – Berbincang dengan penulis perempuan terkini, Kalis Mardiasih, yang mengunjungi Mojok di suatu siang yang cerah. Baginya, semua pembaca adalah lovers, bukan haters. Mantap!

Pekan lalu Mojok kedatangan tamu. Namanya sudah sungguh harum bagi para pembaca. Bahkan, tanpa perkenalan pun, kebanyakan orang mungkin akan bergumam, “Ooooh, Mbak yang itu.” Di dunia per-Mojok-an aja, entah sudah berapa banyak karyanya yang dimuat dan menjadi salah satu jejak pencapaiannya dalam bidang tulis-menulis. Tsaaaaah~

Namanya Kalis Mardiasih, penulis perempuan ini. Kebiasaannya menulis ternyata telah ditekuninya sejak zaman kuliah karena desakan ekonomi.

“Dulu, zaman kuliah itu, bapakku kurang peduli dengan anaknya. Dibiar-biarin, gitu. Duit abis, dibiarin. Dia selalu menguji ketahanan hidupku… Xixixi.”

What a creative father.

Tanpa banyak cincong, marilah kita simak liputan wawancara Audian Laili dari Mojok dengan masa depannya Agus Mulyadi ini.

Halo, Mbak Kalis. Mbak Kalis maunya disebut sebagai apa, nih?

Apa ya? “Perempuan” aja.

Perempuan yang berprofesi sebagai…?

Penulis.

Masih muda?

Masih muda. Insyaallah.

Apakah Mbak Kalis masih ingat topik yang pertama kali dibahas dalam tulisan pertama?

Tulisan pertama yang dimuat itu tentang pramuka! Hehehe….

Aku dulu Bantara, loh, pas SMA. Terus, dulu itu Kwartir Nasional ngadain lomba karya tulis ilmiah. Aku nggak menang dan nggak ada pengumumannya. Aku sebal sama Kwarnas karena nggak ada pengumuman, tapi lalu aku ringkas (tulisannya) dan kirim ke koran Solo Pos.

Itu aku nulis pertama kali, aku kirim ke koran, dan langsung dimuat. Mungkin karena jarang orang yang nulis soal pramuka, ya.

Lalu sekarang, topik apa, sih, yang bikin nyaman ditulis terus-menerus?

Kalau sekarang, (aku nulis) soal keislaman dan perempuan. Tapi, aku nulisnya tentang islam sehari-hari dan pengalaman perempuan saja, karena aku nggak punya latar belakang studi keislaman maupun kajian perempuan. Dan, aku pun merasa bahwa pengalaman itu sebetulnya modal yang paling penting dalam menulis dibandingkan teori yang ada di buku apa pun.

Jadi itu rahasianya kenapa tulisan Mbak Kalis relate ke banyak orang?

Ya, dan memang orang-orang jarang yang meng-cover itu. Misalnya, tema-tema keislaman atau bahasan yang kita lihat di televisi dan di media itu tuh selalu tentang Islam yang kayaknya “tinggi” dan jauh dari kehidupan keseharian. Nah, padahal aku lebih ingin, misalnya, mendokumentasikan bagaimana keberagamaan tukang angkringan, bagaimana keberagaman pedagang asongan. Seperti itu.

Topik tulisan Mbak Kalis kan dekat dengan keseharian. Lalu, ada tuntutan nggak dari masyarakat untuk sosok Mbak Kalis sendiri?

Ada. Dosa itu dilakukan oleh Mojok.co!

Jadi, karena pertama kali orang mengenal saya lewat karakter tulisan Mojok yang sifatnya menyerang, lucu, dan sarkas (tulisan pertama Kalis di Mojok berjudul “Sebuah Curhat untuk Girlband Jilbab Syar’i“), orang selalu menuntut saya untuk menulis dengan gaya seperti itu. Padahal, publik nggak tahu bahwa gaya tulisan seperti itu tuh banyak haters-nya. Mereka mau enaknya aja, mau lucunya, tapi mereka nggak tahu kalau saya di-DM-in orang di Instagram, di-inbox di Facebook, dikata-katain. Hih!

Apakah itu semacam cyber bullying? Bagaimana cara Mbak Kalis bertahan dengan keadaan itu?

Bukan cyber bullying, sih. Kalau nulis tema agama tu biasanya mereka balik mendakwahiku. Jadi, mungkin aku dianggap (sebagai) sosok yang sangat berdosa, sangat hina, dan kadang memecah belah umat. Ih padahal, kan, nggak kayak gitu.

Mbak Kalis akhirnya memilih untuk tidak menanggapi pesan-pesan tersebut?

Kadang aku jawab, “Ya, salam kenal, terima kasih.” Tapi kadang mereka yang nginbox itu terlalu bernafsu untuk ngajak diskusi panjang-panjang. Aku males. Mending ketemu aja. Toh, aku juga sering muncul di forum-forum.

Pernah sampai tutup akun? Berapa hari?

Pernah, 2-3 hari. Itu pun karena karena terlalu banyak inbox yang masuk. Twitter itu mention-nya juga nggak habis-habis.

Lalu, dari berbagai banyak media yang kamu isi kolomnya, paling nyaman nulis di mana?

Paling nyaman? Di akun Facebook-ku sendiri.

Percaya nggak percaya, kalau setelah menulis di Microsoft Word aku harus kirim email itu rasanya aku terganggu banget. Tapi, kalau untuk nulis status di Facebook bisa cepet banget. Nggak tahu kenapa.

Aku sendiri selalu setiap hari update status sebagai tabungan ide. Jadi, kalau selesai 5-6 paragraf di status, baru setelah itu aku giring ke laptop dan tambahin 3 paragraf.

Berarti Mbak Kalis masuk golongan yang tidak mau Facebook diblokir?

Nggak (mau Facebook diblokir), dong. Aku bingung kita ngapain (setelah Facebook diblokir). Biasanya pagi-pagi kan nggak salat dulu, malah langsung Facebook-an. Apalagi, wajahku kan nggak ramah Instagram, jadi satu-satunya senjata aku ya emang Facebook.

Oke, sekarang balik lagi ke tulisan. Ada beberapa penulis yang ketika tulisannya udah diedit oleh editor, malah merasa kurang sreg. Tanggapan Mbak Kalis?

Kalau dulu ketika kirim ke media massa cetak zaman kuliah mungkin seperti itu. Tapi, setelah bekerja tetap di beberapa media, ya, semuanya udah ada kesepakatan. Udah pitching story dan diskusi dulu sama editor. Kita mengajukan topik, lalu dibahas oleh rapat redaksi mereka. Untuk kirim pun tinggal kirim aja, karena udah merasa sesuai dengan kesepakatan.

Dari tulisan Mbak Kalis di Facebook, pernah nggak sih sampai bertengkar dengan teman dekat dan saudara sendiri?

Pernah. Itu sedih banget, sih. Kita kan cuma ngeluarin gagasan, tapi ternyata dia tersindir. Wah, dinamikanya ruwet. Tapi, netizen itu kan belajar, ya. Aku juga. Misalnya, kalau di tahun 2014 kita “panas” karena politik, aku yakin 2018 kita tetap sepanas itu, tapi lebih berkurang tensi ketegangannya.

Pernah disindir?

Ya sering, tapi udah unfollow, sih. Aku orangnya gampang menyerap energi, baik positif maupun negatif. Jadi, kalau orangnya semangat, aku ikut semangat. Tapi kalau orangnya sedih, misalnya ada temen yang curhat sedih, aku bisa lebih sedih daripada yang curhat.

Bagaimana dengan di grup WA keluarga?

Nggak punya grup, keluargaku konservatif…. Oh, tapi aku punya grup WA alumni atau WA komunitas!

Jadi, waktu itu aku nulis di Detik.com. Di grup ada yg mendukung gagasanku, tapi yang kontra juga banyak. Yang mendukung itu share link dan ngasih selamat, padahal banyak juga yang kontra. Akhirnya, aku menghubungi orang yang share link, lalu berkata, “Tolong besok-besok nggak usah di-share di grup yang itu.”

Lalu, bagaimana dengan perdebatan Mbak Kalis dengan Felix Siauw dan Gilang Kazuya Shimura yang followers-nya banyak banget?

Apalah artinya follower di dunia maya? Itu semu belaka sebetulnya. Toh, sehari-hari kita juga melakukan aktivitas bangun tidur, masak, ketemu teman, lari-lari….

Tugas saya hanya nulis karena ada gagasan yang ingin saya sampaikan. Ketika gagasan ketemu gagasan, lalu ada diskursus perdebatan, itu artinya proses transfer berhasil.

PS: Tahun 2017, tulisan Kalis sedang ramai dibicarakan, terutama karena menyangkut komentar Kalis terhadap caption Felix Siauw serta feedback dari Gilang Kazuya Shimura terhadap tulisan Kalis yang dimuat di Mojok.

Selain nulis, kegiatan Mbak Kalis apa?

Aku tu sensitif kalau ditanya kayak gitu. Mentang-mentang kalian punya kantor!

YHAAAA emosi dia :((((

Bukan kayak gitu….

Hehe. Aku lagi bantuin riset di jaringan Gusdurian.

Menurut Mbak Kalis, perkembangan penulis perempuan indonesia itu gimana?

Kebebasan perempuan dalam berekspresi di Indonesia itu sudah jauh lebih maju daripada negara lain di dunia. Aku sendiri tergabung dalam pergerakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia. Di situ, aku dapat banyak input bahwa Indonesia itu keren dalam menjamin kemerdekaan perempuan. Kita sudah punya banyak tempat, baik di pemegang kebijakan, pemikir, dan jurnalis. Negara-negara lain nggak seberuntung kita.

Bagaimana Mbak Kalis memanajemen para haters?

Aku nggak ngerasa punya haters, gimana dong? Aku ngerasanya tu lovers semua. Terus nanti pas bukuku terbit, ya beli semua.

Dalam rangka apa, Mbak, penulisan bukunya?

Nggak dalam rangka apa-apa. Sebetulnya aku sangat tidak percaya diri untuk nerbitin buku. Cuma, aku pernah ketemu sama Kang Maman Suherman yang di ILK. Kang Maman justru bilang, “Loh, justru kalau nulis itu jangan terlalu sempurna.” Aku kan waktu itu takut karena aku berpikir bahwa tulisanku harus sempurna, buku harus sempurna. Tapi, ternyata Kang Maman bilang justru harus tidak sempurna agar ada kritik dan masukan.

Obrolan kami dengan Mbak Kalis masih terus berlangsung seru, bahkan dengan kehadiran tamu rahasia yang sengaja dipersiapkan langsung oleh Mojok. Bersama si Tamu, Mbak Kalis makin banyak bercerita dan berbagi haha-hihi-nya yang khas dan spesial.

Penasaran? Tonton video di bawah ini, gaes.

 

Exit mobile version