Kisah Gus Amar, seorang anak kiai di Kendal sempat menghebohkan karena pengakuannya. Ia yang semula perempuan, memilih untuk menjadi pria. Mojok berbincang secara daring dengan Gus Amar yang baru saja terpilih untuk mendapatkan beasiswa di lnggris.
***
Saya berkesempatan berbincang dengan sosok Amar Alfikar. Seorang transpria yang orang tuanya memiliki sebuah pondok pesantren di Kendal. Saya menyapa beliau dengan panggilan Gus Amar.
Sebelum membuka percakapan lebih lanjut, tak lupa saya memberi selamat kepada beliau yang baru saja terpilih menjadi salah satu awardee beasiswa Chevening dan lolos Program Magister Jurusan Theology and Religion di University of Birmingham.
Saya berbincang dengan Amar Alfikar yang akrab dipanggil Gus Amar via Google Meet sebab pandemi tidak mengizinkan kami untuk bertatap muka secara langsung. Saya memulai obrolan gender dan seksualitas dengan bertanya kepada Gus Amar kapan beliau merasakan keganjilan terhadap identitas seksual beliau.
“Ya, sejak membaca gender dan seksualitas,” jawab Gus Amar. “Kalau sepengalamanku di Indonesia ini kan akses pengetahuan soal gender dan seksualitas sedikit, ya. Jadi, kebingungan orang terhadap dirinya itu ya kalau bagi teman-teman trans, mereka nggak tau rujukannya untuk belajar tentang dirinya dari mana.”
Gus Amar bercerita bahwa kebingungan mengenai identitas gendernya sudah ia dapatkan sejak kecil. Ketika lingkungan selalu mengotak-ngotakkan dengan aturan tak tertulis seperti anak laki-laki bermain robot-robotan, perempuan bermain boneka, pakaian laki-laki harus begini dan perempuan begitu. Dari situlah ia merasa tidak nyaman berada di dalam ‘kotak’ perempuan.
“Meskipun itu tidak selalu berhubungan dengan identitas gender, tapi dari pengotak-ngotakan itu, kalau dari pengalamanku itu membuat bingung karena tidak merasa di dalam ‘kotak’ perempuan gitu,” lanjut Gus Amar.
Ia melanjutkan, berbeda dari orang yang Cisgender (red: seseorang yang identitas gendernya sesuai dengan jenis kelamin yang sudah ada pada mereka sejak lahir). Mungkin mereka tidak akan merasakan kebingungan dan keganjilan yang sama dengan yang dirasakan oleh teman-teman trans. Namun, bagi Gus Amar, ketika ia sudah diidentifikasi sebagai perempuan dan merasa aneh dengan sematan tersebut. Maka, ketika semakin tumbuh dewasa, sematan itu akan semakin membingungkannya.
Peristiwa titik balik Gus Amar menyadari bahwa, “I’m not a woman”
“Sebetulnya ada kisah menarik di balik perjalananku ketika aku mengingat di tahun 2012 berangkat haji bersama ibuku,” kenang Gus Amar sembari mengingat kisah sembilan tahun yang lalu tersebut.
Momen ibadah haji itu masih lekat dalam ingatan Gus Amar hingga saat ini. Ia ingat pada saat itu ibunya selalu bilang, ‘Ayo kamu doa di depan Ka’bah’. Saat itu ibunya berdoa kencang sekali mendoakan santri-santrinya diberikan rezeki, ilmu yang manfaat dengan suara beliau yang begitu kencang. “Tapi, aku tidak bisa berdoa sekencang beliau karena aku nggak tau apa yang harus aku minta,” kata Gus Amar.
Gus Amar yang tak tahu apa yang harus ia pinta hanya bisa terus-terusan membatin mengenai kebingungannya terhadap dirinya.
“Jadi, sepanjang haji itu ya permintaanku cukup dalam batin dan aku hanya berucap, ‘Ya Allah, saya itu bingung saya ini siapa.’ Dan itu selalu ku ulang lagi dan lagi, ‘Ya Allah, saya bingung saya ini siapa.”
Sampai akhirnya saat berada di Padang Arafah, ibu Gus Amar menyirami dirinya dengan air zam-zam dari atas sampai bawah tubuhnya. “Beliau bilang bahwa Arafah adalah tempat yang paling mustajab dan menyuruh saya untuk berdoa apapun. Bahkan beliau sempat marah kenapa saya nggak berdoa dan memang kedekatan saya dengan ibu waktu itu masih jauh sekali,” kenang Gus Amar.
Namun, menariknya, Gus Amar bercerita bahwa sepulang dari ibadah haji ia merasa bahwa Allah menunjukkan jalan kepadanya.
Sepulang dari ibadah haji, Gus Amar bertemu dengan Buya Husein dalam sebuah acara lintas iman yang diadakan di Jakarta. Gus Amar menceritakan pertemuan mereka tersebut, katanya, “Buya Husein bilang begini, Allah itu tidak melihat apa gender kita, asal kita, orientasi seksual kita, yang Allah lihat itu adalah ketakwaan kita.” Itu adalah kali pertama Gus Amar mendengar kalimat yang sangat progresif dari kacamatanya yang belum belajar apapun mengenai gender.
Lebih lengkapnya, beliau mengatakan, “Ketika mendengar Buya Husein berkata itu kemudian aku mengatakan kepada diriku; kalau Allah tidak melihat siapa aku, berarti persoalannya ada di aku, aku ini siapa? Dan kemudian aku berkesimpulan bisa jadi sebetulnya aku bukanlah ‘aku’ yang sekarang dan itu totally fine di mata Allah. Karena kan sebelumnya tau sendiri narasi keagamaan yang sering kita dengar itu selalu mengafirkan orang yang berbeda apalagi minoritas gender dan seksualitas. Juga selalu melihat kelompok minoritas gender dan seksualitas sebagai pendosa dan orang-orang yang dilaknat.”
Momen itulah yang membuat Gus Amar belajar tentang gender dan seksualitas terutama mengenai transpria. Namun, ia berujar bahwa pada tahun 2013 hingga 2014, masih sulit bagi beliau untuk mengakses pengetahuan mengenai transpria. “Lalu, setelah mengetahui sedikit banyak tentang itu, aku coming out ke ibuk, sih, yang pertama.”
Dengan keganjilan terhadap identitas gender yang ia tahan selama bertahun-tahun lamanya, ia mau tidak mau mengutarakan identitas gendernya kepada orang tuanya dan sudah siap jika harus berakhir terusir dari rumah.
“Jadi, pertimbanganku coming out ya karena udah nggak betah aja sih bohong terhadap diri sendiri dan orang lain. Apalagi soal identitas gender itu ibaratnya dunia seperti dalam neraka karena dipaksa menjadi orang lain” terang Gus Amar.
“Bayangkan aja misalnya Mbak Yafi’ bisa mengidentifikasi diri sebagai perempuan, tapi orang mengatakan bahwa Mbak Yafi’ itu laki-laki yang harus pake peci dan sarung. Itu pasti rasanya menyiksa sekali karena tidak sesuai dengan apa yang kita sadari,” kata Gus Amar kepada saya yang membuat saya terpecut seketika.
Gus Amar kemudian memilih untuk jujur terhadap sendiri. Sebab, menahan kebenaran identitas gender yang disadarinya membuatnya berkali-kali melakukan self-harm yang menyiksa fisik dan mentalnya. Ia juga seringkali berpikir bahwa agamanya adalah agama yang tidak adil dan penuh kebencian.
Sebelum bercerita kepada orang tua, Gus Amar masih berpikir bahwa Islam adalah agama yang penuh kebencian dan sangat diskriminatif terhadap kelompok rentan. Ketika Gus Amar bercerita dan mendapatkan respon dari orang tua, ia tidak menyangka bahwa orang tuanya akan menerima.
“Bahkan, ibuku selalu bilang,‘Ibu semakin sayang sama kamu’. Itu jawaban yang sangat di luar logikaku waktu itu ketika berpikir kok bisa ibuku menerimaku begitu saja,” terang Gus Amar.
Meskipun proses yang dialami Gus Amar tetap panjang dan berliku. Pun, penuh dengan perdebatan dan diskusi yang panjang. Namun, orang tuanya berhasil memperlihatkan kepadanya wajah Islam yang sebenarnya.
Gus Amar berkata, “Ya, meskipun prosesnya tetep panjang ada diskusi dan perdebatan yang juga bagian dari proses. Tapi, dari penerimaan orang tua justru aku melihat bahwa Islam yang dipraktikkan oleh orang tuaku adalah sesuai dengan Islam yang diajarkan. Dalam arti apa yang orang bilang bahwa Islam itu agama damai, Islam itu memanusiakan manusia, Islam itu adil yang sebelumnya hanya terdengar seperti jargon-jargon dan narasi kosong belaka.”
Namun, dari penerimaan orangtua Gus Amar, diskusi dan perdebatan yang ada di antara mereka, juga bagaimana ibu Gus Amar begitu teguh, beliau berkata di situlah beliau melihat wajah Islam yang sebenarnya. “Itulah saat aku melihat konsep Islam yang katanya rahmatan lil ‘alamin itu ya itu,” tutup Gus Amar.
Kesulitan memperoleh akses spiritual
Melihat Gus Amar yang datang dari latar belakang keluarga yang religius, dan menengok teman-teman transgender yang seringkali kesulitan mendapatkan akses spiritual seperti beribadah di tempat umum, mengikuti pengajian umum, dan sebagainya. Saya bertanya kepada Gus Amar, pernahkah beliau mengalami kesulitan yang sama?
Dan beliau pun menjawab, “Wah itu pasti ada, nggak mungkin nggak ada, hehe. Banyak pengalaman ketika diusir saat jumatan. Dan itu tidak hanya dialami olehku, banyak juga kawan-kawan trans yang mengalami hal yang sama.”
Di samping kesulitan tersebut, Gus Amar juga bercerita mengenai hal positif ketika masyarakat menerimanya dengan baik di rumah ibadah mereka. Meski masih banyak yang menyimpulkan bahwa itu hanyalah realitas kecil, namun menurutnya, seharusnya hal itu mendorong orang Muslim membuka pintu rumah ibadahnya untuk kelompok apapun, lebih inklusif, dan lebih ramah.
“Apalagi dalam keyakinanku, Islam itu kan memerdekakan kelompok yang tertindas. Sejarahnya kan Nabi Muhammad mencoba melepaskan umatnya dari tradisi perbudakan, mencoba mengangkat suara perempuan dan sebagainya. Meskipun tidak sepenuhnya berhasil karena kita melihat di Arab misalnya, justru adalah negara yang paling diskriminatif,” imbuhnya.
Selama perjalanannya menjadi trans, tentu Gus Amar banyak menjumpai kata-kata yang paling menyakitkan hati yang pernah dilontarkan orang kepadanya. Kata-kata yang tidak hanya diterima oleh Gus Amar, melainkan juga kelompok gender yang direpresi oleh masyarakat.
Gus Amar bercerita, “Banyak yang bilang seperti, ‘oh, kamu itu melanggar fitrahmu’ atau ‘kamu itu melawan takdir Allah’ hingga, ‘kamu itu seperti kaum Nabi Luth yang akan dilaknat oleh Allah.’”
Yang paling menyakitkan bagi Gus Amar adalah ketika ada orang yang mengatakan bahwa ia adalah penyebab orang tuanya meninggal. “Padahal orang tuaku adalah pihak pertama yang menunjukkan penerimaan yang luar biasa. Meski, kami sering berbeda pendapat, misalnya mengenai transgender itu diterima oleh Allah atau tidak, tapi perbedaan apapun yang terjadi itu tidak membuat orang tuaku mengusirku atau menghakimiku secara terus menerus.”
“Ibuku sebetulnya tetap berpendapat bahwa nggak ada transgender dalam islam. Tapi, beliau tetap menemaniku bahkan memberi kesaksian ketika aku sidang ganti nama dan mendukungku di hadapan hakim waktu itu. Pun, dari saudaraku yang menerima juga tetap berpendapat bahwa apa yang aku lakukan itu salah, tapi hak-hakku untuk hidup dan mendapat pendidikan serta bermasyarakat itu adalah hak-hak yang tetap mereka hargai,” tutup Gus Amar.
Tuntutan untuk menjadi maskulin dan harapan terhadap masyarakat
Saat saya bertanya apakah sebagai transpria ia mendapat tuntutan untuk menjadi maskulin, ia mengiyakan dan berkata, “Bahwa di masyarakat yang biner di mana laki-laki harus maskulin itu sebenernya teman-teman transpria juga terjebak dalam pusaran itu.”
Ia kemudian menjelaskan bahwa menjadi keliru ketika kita memaksa seseorang menjadi maskulin atau feminin. “Padahal identitas gender dan ekspresi gender itu dua hal yang berbeda. Saya bisa mengakui, menyadari dan mengidentifikasi diri bahwa identitas gender saya laki-laki. Tapi, itu tidak berarti bahwa ekspresi gender saya itu harus maskulin.”
Gus Amar lalu bercerita bahwa ia dan teman-teman trans sering mendapat tuntutan dari masyarakat untuk menjadi maskulin. “Wah, kamu kan laki-laki, angkat galon dong!’ Itu sering banget saya terima,” terang Gus Amar.
Namun, Gus Amar sendiri mengaku tidak terlalu serius menanggapi hal itu. “Kalo aku pribadi sih anggap bercanda aja karena kita memang tidak hidup di dunia ideal yang sesuai dengan yang kita pahami,” katanya.
Gus Amar mengatakan, yang kita impikan bahwa dunia itu harus adil, harus lepas dari patriarki, tapi faktanya society masih sangat patriarkal sekali dan mendiskreditkan kelompok yang berbeda.
“Ya memang mau nggak mau kita hidup di dunia yang begini ya gimana? Yang penting kita tetap melakukan perjuangan-perjuangan strategis yang bisa kita lakukan sesuai dengan kemampuan kita,” terang Gus Amar.
Mengutip detik.com, saya ingat Gus Amar ini sangat mengagumi Gus Dur. Salah satu pesan yang selalu terekam di benak Gus Amar adalah pesannya tentang pluralisme dan toleransi. Itu juga yang semakin menguatkan tekadnya untuk bertransisi dari seorang perempuan ke laki-laki.
Selain Gus Dur, sosok ulama lain yang ia kagumi adalah Buya Hamka, yang hadir dalam sidang ganti jenis kelamin pertama di Indonesia.
Setelah mendengar cerita mengenai proses penerimaan yang sangat baik dari keluarga Gus Amar hingga perlakuan masyarakat terhadap teman-teman transgender, saya bertanya mengenai harapan Gus Amar terhadap masyarakat yang masih sering merepresi kelompok gender tertentu.
“Harapanku untuk masyarakat tentu tidak hanya untuk teman-teman trans ya karena ketika berbicara tentang diriku aku juga ingin mengajak orang untuk menghargai keragaman apapun,” katanya.
Harapannya, untuk orang Indonesia yang mengaku beragama, gunakan agamanya untuk kebaikan, inklusifitas, kemanusiaan, dan berlomba-lomba dalam kebaikan. “Kan, fastabiqul khairat, ya. Betapa sering kita mendengar para ulama mengatakan fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan, red) itu kan kita tempuh dengan cara berbuat baik terhadap orang yang ada di dunia selama kita hidup,” katanya.
Maka, menurutnya kalau meyakini fastabiqul khairat seharusnya orang berlomba-lomba untuk memanusiakan manusia. Bukan berlomba-lomba untuk membunuh, mempersekusi, membenci, tapi berlomba-lomba untuk menunjukkan bahwa agama kita yang paling humanis. “Jadi, orang beragamaーapapun agamanyaーitu menunjukkan kualitas keagamaannya dengan cara yang powerful,” tutup Gus Amar mengakhiri perbincangan.
BACA JUGA Anak Nakal dan Mahasiswa yang Jadi Relawan: Makian dan Tangisan di Pemakaman dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.