Hingga usianya menginjak kepala 6, Bagong Soebardjo masih setia jadi juru dongeng. Ia masih percaya bahwa dongeng adalah salah satu alat untuk membentuk karakter anak di kemudian hari.
***
Suara rekaman gamelan mulai terdengar sebagai pertanda pentas akan segera dimulai. Gunungan wayang mulai bergerak- gerak, memunculkan seorang pria berjenggot putih dengan blangkon sebagai penutup kepala. Suaranya langsung terdengar lantang mengucapkan judul pentasnya pada hari itu: Investasi Bodong!
Ada dua karakter wayang yang pertama dikeluarkan, Bagong dan Petruk. Mereka memakai setelan bernada hijau tua. Singkat cerita, Bagong mengajak Petruk berinvestasi agar mudah menggandakan uang. Tapi Petruk Nampak ragu, lalu menemui Semar untuk meminta nasihat.
Ketiga tokoh itu mewarnai video singkat yang berdurasi satu menit, wayang digunakan sebagai media penyampaian tips dan trik berinvestasi. Rupanya, video yang diupload tujuh bulan lalu dibuat untuk meramaikan kegiatan Bank Indonesia.
Pria tua yang saya tonton melalui Youtube pagi itu bernama Bagong Soebardjo (66). Ia menyukai dongeng sejak kecil dan memilih dongeng sebagai jalan hidupnya hingga usianya tak muda lagi. Saya menemui Bagong di rumah kontrakannya sekaligus lokasi sementara Sanggar Wayang Dongeng. Dalam kesehariannya, Bagong dikenal sebagai pendongeng, kartunis, ataupun penulis. Wayang-wayang yang ia buat dijadikan sebuah media untuk menyampaikan pesan melalui dongeng.
Bagong kecil mengenal dongeng dan wayang
“Saya bukan yang ujug-ujug jadi pendongeng dan pembuat wayang, lho,” ucap Bagong mengawali ceritanya. Ia tersenyum tipis, pandangannya jauh menerawang.
Pertama kali Bagong kecil mengenal dongeng dari kakeknya. Setiap akan tidur, sang kakek selalu memberi dongeng pengantar tidur untuk cucu kesayangannya. Bila kakek lupa, Bagong dengan senang hati akan meminta. Baginya, terasa ada yang kurang bila ia tidur tanpa mendengar dongeng dari kakeknya terlebih dahulu. Berbagai cerita dongeng pun sudah ia hafal di luar kepala
Waktu terus berjalan, Bagong mulai tumbuh menjadi siswa bangku sekolah dasar. Kedekatannya dengan dongeng membuat Bagong mulai penasaran mendengarkan cerita-cerita lain. Kala itu, rasa senangnya membawa Bagong secara tidak langsung masuk ke dunia pewayangan. Pertama-tama, ia hanya suka menonton pertunjukan wayang.
Lama-kelamaan ia makin dibuat penasaran dan mulai membeli beberapa wayang untuk koleksinya. Bocah berumur 9 tahun itu semakin beranjak dewasa, tak puas hanya mengoleksi wayang, ia lalu kesana kemari untuk belajar menjadi dalang dan pendongeng. Akhirnya, pada saat itu Bagong pelan-pelan unjuk diri dengan ikut ndalang di pentas wayang yang diadakan setiap malam Minggu di sekitar rumahnya.
Sekitar tahun 1979 menjadi tonggak sejarah bagi Bagong yang mencoba memproduksi sendiri wayang-wayang kartun dari karton dan barang bekas. Alasannya sederhana, barang baku yang murah dan mudah didapat. Ia tak perlu merogoh uang banyak sebagai modal.
Bertahun-tahun berkegiatan pada bidang wayang kartun dan dongeng, berkali-kali pula Bagong pindah dari pentas ke pentas. Berkenalan dengan banyak orang yang memiliki latar sama. Hingga pada tahun 1992, ia berkesempatan untuk pentas wayang kartun di Ancol, Jakarta pada kegiatan musyawarah besar paguyuban kartunis Indonesia.
“Setelah pentas, ada yang mau memfilmkan wayang kartun saya. Judulnya Bajra Bagaskara, pernah tayang di SCTV,” ucap Bagong tersenyum riang. Wayang dan dongeng pun berhasil membawa Bagong melancong ke luar negeri, pada saat itu ia telah pentas di Australia dan SIngapura.
Merintis Sanggar Wayang Dongeng
Beberapa kardus-kardus bekas yang tertata di hadapan saya mengalihkan perhatian. Dari ruang tamu tempat saya dan Bagong berbincang, terlihat ada berbagai macam karya seperti boneka ataupun wayang kartun yang bertumpuk jadi satu di dalam kardus. Walaupun masih ada beberapa yang tersimpan rapi di samping kardus sebagai pajangan.
Bagong berdeham sambil mencomot pisang goreng hangat dari meja kecil di hadapan kami, “itu belum seberapa, Mbak,” ucapnya.
Saya mengangguk-angguk, ikut mengambil pisang goreng dan melahapnya, lapar. Perjalanan 45 menit menuju Tempel ternyata cukup menguras tenaga.
“Masih banyak di belakang, rencananya mau saya angkut ke rumah saya yang belum jadi,” ujar Bagong lagi.
Rumah Bagong yang saya kunjungi saat ini memang hanya berstatus kontrak, bulan November inilah kontrak Bagong habis. Selama tinggal di Yogya dan menjadi pendongeng, Bagong telah terbiasa hidup nomaden alias berpindah-pindah kontrakan. Kalau dihitung-hitung, mungkin sudah sekitar 15 rumah kontrakan yang telah Bagong tempati.
Walaupun sebenarnya, Bagong masih memiliki rumah orang tua yang berada di dekat daerah Wirobrajan, Kota Yogyakarta, ia memilih kontrak sana-sini dengan alasan lebih leluasa meletakkan hasil-hasil karyanya. Jika di rumah sendiri saja ia masih kesulitan menyimpan ratusan karyanya, apalagi jika harus berbagi rumah dengan sanak saudaranya yang lain.
Tapi untuk tahun ini, di usianya yang makin bertambah dan fisiknya tak sekuat dulu lagi, Bagong agak bernapas lega. Ia mendapat tanah di Kampung Literasi Pakem (Kalipa), Ngemplak, Sleman. “Masih fokus bangun untuk rumah, semoga aja bisa ditempati sebelum kontrak rumah ini habis,” ujarnya sambil terkekeh.
Selain tempat tinggal, Bagong juga berencana membangun tempat yang lebih layak dan luas untuk Sanggar Wayang Dongeng. Ia memang sudah merintis sanggar tersebut seiring dengan perjalanannya menjadi pendongeng, namun tempat yang dimiliki masih belum memadai. Hanya mengandalkan teras rumah ataupun panggung dalang mini seadanya.
“Saya pengen bikin sanggar yang bisa nampung anak-anak untuk belajar ndongeng, ndalang, sekaligus nari,” ucap Bagong tersenyum, tangan kanannya mengangkat gelas berisi teh hangat, lalu menyeruputnya pelan.
Bagi pria asal Jogja ini, dongeng menjadi bagian penting untuk menemani pertumbuhan anak. Dongeng itu sebuah edukasi yang menyenangkan. Setiap kali mendongeng, Bagong juga selalu menanamkan ajaran-ajaran luhur bagi anak- anak.
“Saya selalu membuat cerita dongeng dengan contoh yang terpuji. Semisal biasanya kancil terkenal nakal ataupun suka mencuri, saya membuat tokoh itu sebagai hewan yang cerdik untuk hal baik,” ungkap Bagong. Selain itu, ia juga mengurangi cerita-cerita yang ia anggap kurang masuk akal agar anak-anak zaman sekarang mau menerima.
“Semangat saya didapat dari dongeng- dongeng kakek. Semakin besar, saya merasa dongeng perlu diubah untuk menyesuaikan jaman dan lebih logis,” ujarnya lagi.
Sayangnya, dongeng sulit menghidupi
Ada satu alasan kenapa Bagong masih bertahan menjadi pendongeng dan pembuat wayang kartun sampai sekarang: rasa cinta pada pekerjaan. Ia selalu menikmati apa yang telah dilakukan selama puluhan tahun ini. Walaupun kalau boleh buka-bukaan, pekerjaan ini bukanlah pekerjaan yang menjanjikan untuk bertahan hidup. Pendapatannya tak menentu dan bergantung pada pesanan wayang kartun dari orang-orang ataupun ajakan untuk mendongeng di beberapa acara.
Bahkan ketika merintis Sanggar Wayang Dongeng, Bagong rela menyisihkan sebagian pemasukannya untuk membangun sanggar bagi anak-anak. Berbagai peralatan pun ia beli satu-per satu, panggung sederhana tempatnya tampil ia buat sendiri untuk menghemat pengeluaran. Beberapa bulan yang llau Bagong juga sempat melakukan lelang karyanya untuk pembangunan sanggar.
Saya melirik papan kecil bewarna putih yang telah lusuh, ada bekas coretan spidol yang telah terhapus. Papan itu kosong, hanya tersisa satu kalimat dengan tanggal yang telah terlewat. Bagong menghela napas berat, katanya sebelum pandemi papan agenda ini sering penuh. Tapi sekarang, hanya tertinggal bekasnya saja.
“Ada sekitar dua puluh agenda yang ditunda waktu pandemi kemarin, bilangnya ditunda tapi ternyata batal karena pandemi masih ada,” ujar Bagong.
Kalau sudah dibatalkan, Bagong tidak bisa berbuat banyak. Hanya bisa pasrah dan menunggu panggilan pekerjaan lagi. Pendapatan pun juga gagal didapat karena biasanya tak ada uang muka dari setiap agenda yang dijadwalkan. Oleh sebab itu, biasanya Bagong akan mencari hal lain yang bisa dikerjakan seperti menulis, ataupun membuat gambar kartu, “Apapunlah, bikin Youtube juga pernah saya lakukan untuk ikut perlombaan juga. Tapi nggak banyak yang menonton,” katanya.
Begitulah kata Bagong kehidupan para pendongeng. Walaupun beberapa ada juga pendongeng bisa sukses, hidup enak berkecukupan dengan dongeng yang menghidupi. Sayangnya, Bagong tergolong pendongeng yang nasibnya kurang membahagiakan.
“Kalau boleh jujur, kami kurang mendapat perhatian dan tempat dari pemerintah. Biasanya kami hidup dari kepanitiaan, lembaga masyarakat, ataupun komunitas,” ucap Bagong.
Ia menekankan lagi, padahal dongeng menjadi bagian penting untuk menemani anak-anak tumbuh. Kadang ia diundang oleh sekolah-sekolah untuk mengisi materi ataupun workshop, cuma ya tadi hanya beberapa kali saja.
“Coba kalau dongeng diberi tempat untuk kurikulum sekolah atau semacamnya, akan sangat bermanfaat dalam pembentukan karakter anak,” ujarnya lagi.
Reporter: Rahma Ayu Nabila
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Motif Rahmat Dirikan Rumah Singgah Gratis di Banyuwangi untuk Traveler dan liputan menarik lainnya di Susul.