Alissa Wahid: Dari Mengenang Gus Dur hingga Kasus Afi Nihaya Faradisa

bertamu seru alissa wahid mojok

bertamu seru alissa wahid mojok

Rumah Alissa Wahid di Sleman, Yogyakarta, hampir tidak pernah sepi dari tamu. Mulai dari anak-anak muda pegiat Jaringan Gusdurian, tokoh-tokoh gerakan sosial, seniman, akademisi, hingga para pemuka agama lintas iman biasa hadir, baik untuk mengobrol biasa maupun agenda pertemuan.

Pada minggu kedua puasa, saya bersama bersama beberapa Kru Mojok; Prima, Agus, dan Ali, berkunjung ke sana. Tuan rumah menerima kami di sebuah gazebo yang nyaman di halaman belakang.

“Saya menikah Juli 1999. Tiga bulan sebelum Gus Dur jadi presiden. Saat itu suasana politik serbakacau, saya dan suami tidak mungkin pergi bulan madu. Tiba-tiba, Gus Dur jadi presiden. Ke mana-mana kami dikawal paspampres,” katanya, menjawab pertanyaan saya tentang apa yang paling diingatnya dari masa-masa ketika menjadi anak presiden.

“Saya dan suami sempat diam-diam pergi ke Bali, eh, dicegat Rotary Club yang nanyain soal konflik Ambon. Kami juga nekad pergi ke Singapura, kabur dari pengawal pas di Cengkareng.”

Putri sulung Gus Dur ini tergelak.

Dan kemudian ia bercerita, ia sedang hamil tua ketika Gus Dur dilengserkan pada Juli 2001. “Saat itu benar-benar masa yang sulit buat saya,” kenangnya.

“Kebetulan anak-anak Gus Dur perempuan semua ya, Mbak. Bagaimana sih sebetulnya harapan Gus Dur kepada anak-anaknya?” tanya saya.

“Ia membebaskan apa pun yang kami pilih. Bahkan andai saya memilih untuk tidak menikah, ia tidak pernah melarang.”

Suatu hari, Alissa ketahuan menangis oleh Gus Dur saat keluar dari kamar Ibu Sinta Nuriyah.

“Kenapa? Habis dimarahin Mama, ya?”

Alissa mengangguk dan menumpahkan unek-uneknya, mencoba membela diri.

“Mama itu sudah banyak berkorban buat Bapak. Mama mendampingi Bapak ketika Bapak tidak punya uang, Bapak kesusahan, dan ketika Bapak mendapat masalah apa saja. Dengan segala pengorbanan Mama buat Bapak saja, hukumnya wajib buat kalian menghormati Mama. Apalagi semua hal yang sudah Mama kerjakan untuk kalian.”

Pesan itu membekas sekali di hati Alissa. Selain sebagai nasihat personal, ia melihat amanat Gus Dur itu sebagai penghargaan yang amat tinggi bagi perempuan.

“Sejak muda, Bapak sangat sibuk dengan aktivisme melawan Orde Baru. Meskipun fisiknya nggak hadir, tapi psikisnya hadir. Kami menyaksikan keteladanan yang dicontohkan oleh Bapak,” kata Alissa.

Anak-anak perempuan Gus Dur berbagi peran meneruskan kiprah Bapak mereka. Yenny Wahid dan Anita Wahid, memilih dunia politik dan mengorganisasi The Wahid Institute. Sedangkan Inayah Wahid, sejak mahasiswa menekuni sastra, kesenian dan seni peran. Alissa sendiri memilih menjadi psikolog keluarga dan aktivis isu-isu sosial budaya.

Salah satu passion terkuat dari Alissa Wahid adalah leadership development. Ia meyakini anak-anak muda sebagai masa depan Indonesia. Semakin kencang mereka dipupuk, semakin cepat potensi mereka berkembang

Di tengah kesibukannya menghadiri undangan ke berbagai negara, berkeliling Indonesia untuk mengisi langsung materi kelas pemikiran Gus Dur, serta menjalankan bakti kepada Ibu Sinta Nuriyah Wahid di Ciganjur, Alissa masih sempat mengadakan training Seven Habits ala Stephen Covey. Ia merasa puas melihat anak muda berkembang wawasannya, makin percaya diri, dan makin siap menggerakkan komunitas masing-masing. Ia juga mengelola sekolah Fasttrack, untuk menyalurkan kecintaannya pada anak dan dunia pendidikan.

Ketika isu-isu agraria merebak akhir-akhir ini, sejak mula kasus, Alissa Wahid mengambil bagian mendampingi masyarakat yang memperjuangkan hak atas tanahnya. Hingga bertahun-tahun isu-isu bergulir, semangatnya tak pernah surut, ia terus mendampingi anak-anak muda dan para aktivis lingkungan menggelar aksi solidaritas.

“Waktu saya masih kuliah di UGM, pernah Mas Zastrouw menyusul saya yang lagi KKN. Dia tanya apa saya masih punya uang. Enggak punya. ‘Sudah kuduga,’ kata Mas Zastrouw. Gus Dur saat itu sempat punya uang, tapi pasti malah nggak dikasih ke anaknya. Uangnya buat orang lain, buat gerakan.”

Salah satu pengalaman paling sedih yang dikenang Alissa adalah masa-masa terakhir Gus Dur berkunjung ke rumahnya. Gus Dur saat itu bertanya, “Lis, Bapak boleh pinjam uang? Lima juta saja, Lis. Buat pegangan.” Perasaannya campur aduk. Dalam kecamuk pikirannya, kok bisa bapaknya nggak punya uang sama sekali. Alissa menangis, menelepon ketiga saudaranya yang lain.

“Tapi saya selalu senang menjadi anak Gus Dur yang aktivis. Kami jadi terbiasa mandiri.”

Hari beranjak sore. Kami semua terdiam mendengar kisah yang dituturkannya. Selain, sejujurnya, konsentrasi saya mulai terbelah; gelas-gelas cendol berembun telah disajikan di meja sebelah, bersama pempek dan kue-kue, juga hidangan berat dengan menu macam-macam ikan.

“Mbak Alissa …. Ngikutin soal Afi nggak, Mbak?” tanya Prima, memecah lamunan saya.

“Ya, tentu saja.”

“Gimana pendapatnya, Mbak?”

Saya jadi bersemangat lagi, sejenak melupakan menu berbuka puasa, tak sabar mendengar pendapat Mbak Alissa. Beberapa waktu terakhir, saya dan Agus pacar saya selalu berbeda pendapat tentang si bocah Banyuwangi ini.

“Buat saya, Afi itu tetap anak yang keren.”

“Tapi Afi kan plagiat, Mbak?”

“Tapi bukan berarti dia jadi bodoh. Dia bisa membaca banyak, bisa menemukan bacaan yang dia anggap bagus dan memahaminya. Dan dia menuliskannya kembali.”

Saya masih kurang puas atas jawabannya. Memosisikan diri sebagaimana para haters yang suka mencari-cari kesalahan Afi, saya menimpali, “Sekarang Afi mulai ngartis lho, Mbak. Dia menyebut para komentator di akunnya fans dan haters.”

“Apa yang kita harapkan dari seorang gadis remaja? Kedewasaan seseorang itu tidak bisa di-shortcut. Buat saya, secerdas apapun anak-anak, prosesnya sama saja dalam hal mental dan psikologis. Hal itu juga yang saya terapkan pada anak saya. Pernah anak saya meminta izin memainkan games 18+, karena dia merasa jenuh menyimak obrolan anak-anak seusianya di komunitas gamers. Saya tidak mengizinkan. Dia mencoba meyakinkan saya, katanya dia bisa bertanggung jawab selayaknya orang dewasa. Saya tetap tidak memberi izin. Dia harus berproses dengan wajar.”

Dalam kasus Afi, barangkali, pada awalnya orang-orang dewasalah yang menginginkan Afi menjadi anak ajaib yang bisa bicara apa saja. Lalu orang-orang dewasa itu kecewa dengan fakta-fakta yang tidak memenuhi ekspektasi mereka. Lalu mereka kembali melempar kesalahan dan merundung sang anak beramai-ramai.

“Orang dewasa kita yang punya masalah serius di dunia maya. Saya bisa memberikan banyak contoh lain. Saya ikut mendampingi beberapa korban perundungan bersama koalisi Masyarakat Anti Persekusi. Ada datanya.”

Suara beduk ditabuh terdengar dari kejauhan.

Buru-buru saya beranjak, mengambil gelas es cendol dan menenggaknya.

Exit mobile version