Alasan Masjid Jogokariyan Gelar Nonton Bareng Final Piala AFF

Pas nonton, boleh misuh nggak?

Alasan Masjid Jogokariyan Gelar Nonton Bareng Final Piala AFF

Masyarakat memadati jalan depan Masjid Jogokariyan untuk nonton bareng pertandingan final Piala AFF. (Gusti Aditya/Mojok.co)

Nonton bareng  pertandingan sepak bola di kafe itu sudah biasa. Yang nggak biasa itu kalau kegiatan ini diselenggarakan di masjid. Kalau mau misuh gimana coba?

***

Mata Arifin Darmawan masih menatap Jalan Jogokaryan ketika tubuhnya sudah masuk ke serambi Masjid Jogokariyan. Ia yang hendak nonton final leg pertama Piala AFF 2020 antara Indonesia vs Thailand itu sedang menanti kawannya. Arifin mengangkat telepon, ia menjelaskan lokasinya kepada kawannya yang bernama Dimas. Setelah selesai mengabari kawannya, Arifin berkata kepada saya, “Dimas ini berangkat dari Klaten.”

Final leg pertama Piala AFF 2020 ini memang memantik api nasionalisme yang membara di tiap sudut Indonesia. Walau Timnas Indonesia bermain di Singapura, namun percik doa dan dukungan lahir dari mana-mana. Tak terkecuali dari Masjid Jogokariyan yang menampung para penonton dari penjuru Yogyakarta—bahkan ada yang rela jauh-jauh dari Klaten.

Mojok.co berkesempatan untuk meliput momen langka ini. Ketika sepakbola yang merupakan olahraga nomor wahid di Indonesia, dijadikan metode dakwah serta menyebarkan kebaikan oleh pengelola nobar. Serta tak luput dari pandangan kami perihal momen menegangkan, seru, haru hingga sedih selama jalannya pertandingan Indonesia lawan Thailand.  

Kesibukan Remaja Masjid Jogokariyan menyiapkan nonton bareng

Saya sengaja datang pukul setengah lima. Ketika langit di atas Masjid Jogokariyan sedang emas-emasnya. Hiruk pikuk suasana selayaknya lingkungan tempat ibadah terpampang dengan jelas. Ada yang sedang sembahyang, berdoa, dan beristirahat. Namun, di bagian aula, nampak sibuk para muda-mudi yang sedang mengatur layar proyektor super besar. 

Yusna, salah satu Keluarga Alumni Remaja Masjid Jogokariyan (KURMA) yang baru saja diganti tepat sebelum diadakan acara nobar, mendatangi saya. Ia memperkenalkan diri dan mempersilakan saya untuk menyaksikan kesibukan Remaja Masjid Jogokariyan (RMJ). “Ya, beginilah kesibukan kami kalau mau mengadakan acara,” katanya. Senyum tak habis-habis terkembang dari mulutnya. Pakaiannya bagian belakang nampak basah karena keringat.

RMJ sudah biasa menggelar perhelatan akbar. Katakanlah Kampung Ramadhan Jogokariyan yang menjadi pusat daya tarik Jogokariyan. “Namun, kalau mengadakan acara nobar bola, yang sebesar ini, baru sekarang,” terang Yusna.

Persiapan Remaja Masjid Jogokariyan menyiapkan nonton bareng. (Gusti Aditya/Mojok.co)

Ia menambahkan, memang RMJ pernah mengadakan nobar bola, namun hanya untuk internal saja. “Final Liga Champions Eropa dan Liga Inggris,” tambahnya. RMJ pernah mengadakan nobar Final Liga Champions antara Real Madrid kontra Liverpool pada tahun 2018. 

“Itu pun sambil sahur bersama dan menunggu salat subuh berjamaah dan ditutup dengan pengajian.”

RMJ lebih sering mengadakan nobar film. “Pengkhianatan G30S PKI hampir rutin tiap tahun,” kata Yusna sembari menatap saya dengan sungguh-sungguh. Ia bercerita bahwa dulu juga pernah mengadakan nobar film Alif Lam Mim yang didatangi langsung sang produser, Arie Untung.

Edo, salah satu anggota RMJ menerangkan agenda nobar ini tidak ada struktur kepanitiaan. “Kami hanya sebarkan melalui media sosial dan menyiapkan tempat agar nyaman,” katanya di tengah kesibukannya mengatur layar proyektor. Sampai jam setengah enam, layar proyektor dan pengeras suara sudah terpasang sempurna.

Yang membuat nobar ini kian menarik adalah masalah konsumsi. Ketika di tempat nobar lain kita dipaksa untuk beli makanan, nobar di sini justru disiapkan makanan. “Kami sudah menyiapkan 500 nasi bungkus. Namun sepertinya bakalan kurang,” kata Yusna. Ia memperkirakan bakalan lebih jika melihat antusias di media sosial.

Setelah banyak berbincang perihal sepak bola bersama Edo dan Yusna, azan magrib berkumandang dengan merdu. Berbarengan dengan langit yang sudah dimakan oleh gelap, walau begitu Masjid Jogokariyan justru kian terang dan semarak. Jalan Jogokaryan mulai sesak, mobil-mobil nampak berhenti lama, bergantian dengan ratusan manusia yang bergerak masuk ke Masjid.

Supra, salah satu petugas kemanan Masjid Jogokariyan menyempatkan berbincang dengan saya di tengah kesibukannya mengatur mobil dan motor yang parkir, serta arus lalu lintas. Katanya, tak ada persiapan khusus untuk mengatisipasi membeludaknya nonton bareng. “Mas pernah ke sini pas subuh? Nah, mungkin ramainya bakalan sama seperti itu,” katanya.

Supra mempersiapkan lahan parkir Masjid Jogokariyan untuk parkir mobil dan motor sekaligus. Ia sudah memperkirakan dengan pasti, semisal lahan parkir itu penuh, maka akan ditambah ke sisi barat lagi. “Kalau memang sudah penuh sesak dan membeludak ke Jalan Jogokaryan, nutup jalan bakalan dilakukan,” jelas Supra.

Katanya, penutupan jalan memang sering dilakukan. “Apalagi kalau ada kajian. Coba mas datang, nanti saya kasih diskon makan di beberapa warung di sekitar Masjid Jogokariyan,” kata Supra sebelum meninggalkan saya karena ada mobil yang salah parkir.

Khomat pun terdengar. Saya bergegas ambil wudu dan menunaikan salat magrib. Walau doa-doa para jamaah magrib berbeda-beda, namun ada satu benang merah dari tiap doa mereka, yakni kemenangan Timnas Indonesia.

Alasan kenapa ada nonton bareng final Piala AFF

Saya duduk di tikar menunggu Ketua RMJ yang baru, Muhammad Sayfiq namanya. Belum ada dua menit, ia sudah datang dengan senyum hangatnya. “Saya Syafiq, Mas,” katanya, mengulurkan tangan. Ia mengaku baru saja dihubungi oleh RRI dan RCTI untuk wawancara perihal nobar. “Mojok.co yang pertama dapat informasi dari saya,” katanya, kami pun tertawa.

Penonton mulai berdatanganke masjid Jogokariyan. (Gusti Aditya/Mojok.co)

Syafiq berkata bahwa sebenarnya acara nobar ini salah satu bagian dari dakwah. “Tujuan utamanya itu bukan nobarnya, tapi sholat isya berjamaah sebelum nonton bareng, itulah tajuk utamanya,” katanya dengan bersahaja.

Syafiq sendiri mengaku bahwa kegiatan masjid menjadi layu selama masa pagebluk ini. Karena pemberlakuan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jogja. “Acara nobar ini jadi salah satu titik balik untuk menyemarakkan kembali masjid dengan kebaikan-kebaikan,” imbuh Syafiq.

“Memanggil orang untuk sholat tidak harus dengan adzan,” kata laki-laki yang kini menempuh studi psikologi. Syafiq juga mengatakan bahwa sepak bola bisa memanggil orang-orang yang jarang ke Masjid, untuk beribadah di sini.

Perkataan Syafiq nampak valid jika menengok fakta, datangnya Mohamed  Salah ke Liverpool mengikis Islamofobia di Eropa. Dilansir dari Tirto, sebuah hasil riset Departemen Sains Politik Universitas Stanford menyebutkan bahwa tingkat kejahatan terhadap seorang muslim di Inggris turun hingga 18,9 persen sejak Mo Salah merumput di Premier League bareng Liverpool. Bahkan, tersebar video beberapa fans Liverpool meneriakan chants, “If he scores another few, then I’ll be muslim too.

Syafiq, bersama RMJ tahu betul hal ini. Bahwa sepak bola bisa menyatukan dan membuat bahagia tiap orang. “Apalagi ini yang main timnas. Jadi siapapun bisa bersatu,” kata Syafiq. Ketika Timnas Indonesia yang main, maka kita tidak melihat lagi dari mana ia berasal atau ia menyukai klub sepak bola apa.

Syafiq yang merupakan fans Chelsea juga bercerita banyak bahwa ketika kegiatan masjid kian semarak, maka akan banyak menguntungkan berbagai pihak. “Mau berdagang di sekitar Masjid? Ada syaratnya!” kata Syafiq. Ia mebongkar rahasia syarat-syarat berdagang di sekitar Masjid Jogokariyan. Katanya, syaratnya adalah ikut salat berjamaah.

Syafiq menjawab dengan bijak ketika ditanya kenapa masjid dijadikan tempat nonton bola. Katanya, “Karena seperti yang saya bilang tadi, tujuan utama itu sholat isya berjamaah.” Ia juga menjawab bahwa masyarakat umum harus mulai akrab degan masjid. Dengan adanya nobar, masyarakat jadi tahu bahwa image masjid nggak harus tentang salat. “Bisa jadi ajang silaturahmi juga,” katanya.

“Menyolatkan manusia yang meninggal itu ada pahalanya, namun ‘menyolatkan’ manusia yang masih hidup itu pahalanya lebih banyak,” kata Syafiq menutup perbincangan kami sebelum ia pergi dengan kesibukannya di dalam Masjid.

Arifin Darmawan sudah bersua dengan Dimas Satrio. Saya menjabat tangan Dimas yang baru saja berkendara dari Klaten sampai ke Masjid Jogokariyan. Saya mempersilakan ia beristirahat dan ngobrol dengan Arifin. Lampu juga sudah diredupkan, penonton berhamburan mencari tempat duduk paling nyaman. “Saya nonton dulu, Mas,” kata mahasiswa UAD asal Sulawesi Tenggara itu. Saya menganggukan kepala.

Bagian depan nampak khidmat melihat bola. Tak betah, saya memutuskan untuk di belakang saja. Kebetulan, mereka yang di belakang, tepat di Jalan Jogokariyan bagian utara, ketika jalan sudah ditutup, mereka terus berteriak dan menyenandungkan chants. “Indonesia… Indonesia… Indonesia…” teriak mereka dengan bergairah. 

Saya bertemu dengan Muhammad Arif Nur, salah satu peserta nobar di bagian belakang. Arif berkata bahwa ia merupakan penonton setia Timnas Indonesia meski sering mengecewakan. “Bahkan AFF 2010 itu saya nonton langsung ke GBK langsung. Gairahnya membuat saya merinding,” katanya. Arif menambahkan bahwa acara nobar yang dihadiri ratusan orang ini membuat rindu AFF 2010 sedikit terobati.

Kami mulai nonton pada menit ke sebelas. Ketika laga mulai, Masjid masih digunakan untuk sholat. Ketika layar mulai menyala, sorak kecewa mengudara. Indonesia tertinggal 1-0 atas Thailand via gol sang kapten Chanathip Songkrasin. Namanya juga suporter Timnas Indonesia, mereka tak henti meneriakkan dukungan walau para pemain di lapangan tak mendengar.

Penonton membludak hingga Jalan Jogokaryan. (Gusti Aditya/Mojok.co)

Saya merasa takjub, suasana di acara nobar ini nampak magis dengan tiap sorak para penonton yang membuat adrenalin saya terpacu. Tanpa sadar, saya sudah berbincang banyak dengan penonton di kiri saya, Galih Rio. “Jadi kangen tribun ya, Mas,” kata Galih. Menurutnya tribun sepakbola membuat akrab siapapun yang sebelumnya nggak saling kenal.

Jeda babak pertama membuat saya akrab dengan penonton di sekitar saya. Sama seperti Arif—di kanan saya—Galih  juga pendukung setia Timnas Indonesia. Galih adalah fans PSS sedang Arif adalah die hard Persiba. Mereka meletakkan tim daerah kesayangan masing-masing di lemari rumah dengan hormat, dan kini membawa atribut sepak bola yang sama, yakni mendukung Timnas Indonesia. “Sudah nggak zaman berantem sama saudara sendiri,” kata Arif.

Misuh di nobar final AFF 2020 di Masjid Jogokariyan

Babak kedua penonton kembali menyerukan chants. “Indonesia… Indonesia… Indonesia… Ku yakin hari ini pasti menang.” Bulu kuduk saya meremang. Suara mereka nampak ritmis masuk ke telinga saya. Kecintaan mereka tak pernah goyah walau pada menit ke-52 Chanathip Songkrasin lagi-lagi menggali kubur untuk mimpi masyarakat Indonesia.

“Timnas Indonesia sendiri sudah enam kali melaju ke final AFF, lima kali kalah, masak yang keenam juga kalah?” kata Galih. Di bagian belakang, para remaja yang misuh sudah mulai biasa terdengar. Mereka nggak memaki para pemain, namun cara Timnas Indonesia yang kewalahan menahan high press dari Thailand.

Kata-kata pisuhan seperti ‘Asi’, ‘asem’, ‘jancuk’, ‘jigur’ adalah pisuhan-pisuhan yang banyak terdengar di sekitar saya. Saya tidak mendengar nama hewan atau jenis kelamin yang terlontar dari penonton yang biasanya banyak ditemui di acara nonton bareng.

Semua bergemuruh ketika Supachok Sarachat, pemain Buriram United melesatkan gol dan membuat skor jadi 3-0. Ada yang berteriak, “Astagfirullah!” ada juga—penonton bagian belakang, di luar Masjid—yang berteriak, “Buajingaaaan!”

Tentu saja pisuhan-pisuhan ini lebih banyak terdengar dari penonton yang berada di luar masjid. Ada kejadian lucu saat seorang bapak-bapak tua keceplosan misuh, lantas menutup mulutnya. Sontak aksinya membuat penonton lain tertawa terbahak-bahak. 

Arif menjelma bak Bung “Ahay” Hadi Gunawan. Ia menilai bahwa Timnas Indonesia kalah stamina, speed, dan koordinasi yang berantakan. “Di Liga 1 nggak ada tim yang main high-press, di timnas pun jadinya seperti ini. Lawan Thailand yang high-press, second-line Indonesia gampang dieksplorasi. Final-third Thailand bahaya banget,” kata Arif.

Para peserta nobar mulai angkat pantat dari tikar ketika Bordin Phala, pemain Port FC itu melesakkan gol. Kedudukan 4-0. “Mulih, mulih!” begitu kata penonton di bagian belakang. Di sudut yang lain, nampak wajah murung seorang pemuda seperti habis diputusin pacarnya. Ada pula yang menunduk lesu. Tiada yang tak sakit jika kalah di babak final.

Malam pukul setengah sepuluh malam manusia tumpah di Jalan Jogokaryan. Mereka pulang dengan duka yang tidak bisa disampaikan oleh kata. Tidak ada yang tidak mungkin dari sepak bola. Bahwa suatu malam di Istanbul, Liverpool menang adu penalti setelah setelah sebelumnya kalah 3-0 atas AC Milan di babak pertama. “Saya harap ada Miracle of Singapore,” kata Arif memplesetkan Miracle of Istanbul. Dan malam itu di Masjid Jogokariyan, seperti tirai yang ditutup, pertunjukan final AFF 2020 leg pertama sudah usai.

Reporter : Gusti Aditya
Editor      : Agung Purwandono

BACA JUGA Rujak Es Krim Pak Nardi Yogya, Eksis Sejak 1978  liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.  

Exit mobile version