Dulu, tingwe dianggap sebagai budaya orang tua. Kini, tren rokok swalinting itu malah menanjak di kalangan anak muda. Di Temanggung, daerah pencetak tembakau unggulan, budaya ngelinting dhewe oleh muda-mudinya dijadikan cara untuk tetap “ngebul” di tengah tingginya harga rokok.
Berdasarkan catatan Lance Castles dalam Tingkah Laku Agama Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus (1982), sejak tembakau masuk ke Nusantara pada akhir abad ke-15, tingwe menjadi cara masyarakat buat menikmati daun tersebut.
Pada masa kolonial Hindia-Belanda, pandangan soal tingwe mulai sedikit bergeser. Beberapa kelas masyarakat mulai meninggalkannya dan beralih ke kretek pabrikan.
Kalau kata Castles, sih, pada waktu itu pelaku tingwe kebanyakan rakyat kelas bawah yang tak mampu membeli rokok pabrikan saja. Kertas rokok yang digunakan pun adalah klobot atau kulit jagung kering.
Seiring dengan masifnya industri rokok, eksistensi tingwe makin terkikis. Kalaupun ada, paling-paling di pedesaan saja. Itu pun hanya dilakukan oleh orang-orang tua.
Namun, tren itu kini kembali hidup. Di Jogja, misalnya, menemukan anak-anak muda membawa tembakau dan kertas rokok ke coffee shop bukan lagi jadi sesuatu yang sulit.
Salah satunya adalah Oteng (19), mahasiswa PTS di Jogja yang berasal dari Salamsari, Kedu, Temanggung. Anak petani tembakau ini mengaku mulai menggandrungi tingwe sejak beberapa tahun terakhir.
Kata Oteng, di daerah asalnya, Temanggung, tingwe memang sudah seperti budaya yang terus diturunkan. “Meskipun begitu, tingwe itu punya stigma budayanya orang tua, hanya para sepuh saja yang nglinting sendiri sementara anak mudanya pakai rokok pabrikan,” ungkap Oteng kepada Mojok, Jumat (31/5/2024).
Pandemi bikin tingwe kembali digemari
Cukup sulit buat memastikan, sejak kapan tren tingwe kembali naik di kalangan anak muda. Namun, Juru Bicara Komunitas Kretek Khoirul Atfifudin menduga, tren ini kembali menanjak sejak masa pandemi Covid-19.
“Dulu di Temanggung tingwe bagi anak muda sudah ada, tapi masih jarang. Apalagi kalau nongkrong, ibarat kata masih malu-malu bawa tembakau dan milih bawa rokok pabrikan saja,” kata Atfi, saat ditemui Mojok, Jumat (31/5/2024).
“Nah, habis pandemi, tingwe ini semacam mendapat tempat di hati para perokok,” sambungnya.
Dugaan Atfi, pandemi memang ada andil dalam “mempopulerkan” budaya tingwe ini. Karena kebijakan pembatasan sosial, anak-anak muda jadi punya banyak waktu untuk bikin lintingan-lintingan rokok sendiri.
Karena ternyata mengasyikan, budaya ini pun terbawa saat kondisi sudah kembali normal. Ada yang mix, yakni kembali ke rokok pabrikan tapi sesekali masih tingwe, namun ada juga yang benar-benar full memilih swalinting sebagai jalan ninja.
“Memang belum ada data yang bisa memvalidasi seberapa besar anak muda yang tingwe. Tapi tren ini bisa dibaca naik dengan coba saja datang ke coffee shop, pasti ada yang tingwe,” jelasnya.
Hal tersebut juga pernah diakui oleh pemasok tembakau asal Temanggung untuk area Jogja, Tatag Dhian (30). Kepada Mojok, ia menjelaskan, selama pandemi kemarin permintaan tembakau ke Jogja mengalami kenaikan. Hal itu pun menjadi berkah bagi petani tembakau yang mengalami penurunan penjualan pada 2020.
Swalinting jadi pilihan karena lebih hemat dan tetap ngebul
Soal anak muda Temanggung dan tingwe, saya jadi teringat soal perjalanan saya dan Tim Mojok ke Boyolali akhir 2023 lalu. Saat itu, kami sedang nongkrong di sebuah angkringan susu segar di sekitaran Simpang Lima, Jalan Pemuda, Siswodipuran, Boyolali.
Tanpa sengaja, kami bertemu dengan para muda-mudi, usianya berkisar 18-21 tahun. Mereka adalah orang-orang Temanggung yang bekerja di sebuah hotel di Salatiga. Pada malam itu, mereka sedang jalan-jalan mencari susu segar ke Boyolali, “melepas stres pekerjaan”, katanya.
Uniknya, mereka membawa kotak-kotak kecil yang isinya tembakau. Di dalamnya, ada beraneka jenis tembakau. Mereka menawari saya buat mencicipi tembakau tersebut. Namun, karena skill melinting saya masih di bawah rata-rata, dengan cekatan mereka membantu membuatkan satu tingwe buat saya.
“Di Temanggung sekarang anak-anak mudanya beralih ke tingwe semua, Mas. Apalagi buat pekerja seperti kami, jauh lebih hemat,” kata seorang dari mereka.
Hal tersebut juga dikonfirmasi langsung oleh Oteng. Bagi dia, alasan “lebih hemat” bisa jadi adalah faktor terbesar mengapa tingwe makin digemari.
“Sekarang begini. Harga rokok udah gila-gilaan, Mas. Nggak semua mahasiswa, misalnya, itu punya kemewahan buat beli rokok yang mahal. Daripada sembarangan, tingwe lebih solutif,” jelasnya.
“Saya dulu rokoknya yang tipe ‘mild-mild-an’ itu, sekarang di atas 25 ribu semua. Katakanlah seminggu empat bungkus, berarti 100 ribu saya habisnya. Kalau tingwe tembakau 50 ribu sudah bisa buat hampir dua mingguan.”
Bisa memilih dan mengatur kenikmatan sendiri
Lebih jauh, selain karena lebih hemat, kata Oteng dengan tingwe seseorang bisa “memilih kenikmatannya sendiri”. Maksudnya, dia bisa memilih jenis tembakau sesuai seleranya. Begitu juga dengan campuran-campurannya.
“Sesuai mood aja. Pengen rokok pakai tembakau jenis apa. Mau campuran yang ringan-ringan aja atau yang berat. Pokoknya bisa kita atur sendiri. Kalau rokok pabrikan kan nggak bisa,” jelasnya.
Begitu juga dengan Atfi. Ia mengaku kalau terlalu banyak mengisap rokok pabrikan bikin dia merasa sedikit enek. Ada perasaan bosan ketika merokok dengan cita rasa “yang gitu-gitu aja”.
“Biasanya, kalau rokok pabrikan, setengah habis bungkus itu sudah enek. Rasanya bosan, gitu-gitu aja,” terangnya.
“Kalau tingwe, itu bisa 20 batang nggak ngerasa enek. Soalnya kan bisa kita atur sendiri takarannya. Tembakaunya pun bisa ganti-ganti sesuai selera.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News