Nasi pecel sederhana tapi “termahal” di Indonesia
Keberadaan warung pecel Mbok Yem di puncak Gunung Lawu memberi rasa tenang bagi para pendaki. Tidak perlu khawatir jika logistik dari bawah ada kurang-kurangnya.
“Ada pendaki yang sengaja nggak bawa bekal makanan banyak. Karena tujuannya emang buat menikmati nasi pecel Mbok Yem,” jelas Bani.
“Kalau bagi kami (Bani dan teman-temannya), warung Mbok Yem buat solusi praktis. seperti petang itu, karena baru nyampe, kondisi masih lelah sehingga belum bisa langsung masak, akhirnya makan di sana,” tuturnya.
Nasi pecel di warung Mbok Yem sebenarnya nasi pecel sederhana: nasi pecel+telur dadar atau ceplok. Harganya di angka R15 ribu-Rp20 ribuan. Bani lupa persisnya.
Bagi Bani, itu adalah nasi pecel termahal yang pernah dia makan. Bukan karena harganya. Tapi karena disantap di atas salah satu gunung tertinggi di Jawa. Apalagi jika disantapnya pagi hari: sembari menikmati hamparan awan dan hangat matahari.
Harga yang Mbok Yem patok sungguh harga yang sangat murah jika menimbang bagaimana proses bahan-bahan bakunya dikirim ke puncak.
Bani ingat betul. Petang itu, setelah kekenyangan, dia dan rombongannya, yang awalnya hanya niat menghangatkan tubuh sekaligus menyelonjorkan kaki di dalam warung, malah ketiduran saking nyamannya.
“Bangun-bangun udah mau jam 9 (malam) aja. Nggak dimarahi Mbok Yem. Tapi kami langsung bergegas bangun buat segera cari tempat buat diriin tenda,” kenangnya.
Tanpa Mbok Yem, mendaki Gunung Lawu tidak menarik lagi
Pengalaman pertama Yudian (27) mendaki Gunung Lawu sebenarnya terbilang buruk. Pada 2018 silam, dia yang merupakan pendaki pemula mengikuti lima orang temannya menempuh jalur Cemoro Sewu, Magetan.
Kata banyak pendaki, jalur tersebut adalah jalur paling menyakitkan. Sejak basecamp hingga puncak hanya berupa jalur menanjak, curam, dan bebatuan terjal. Tanpa bonus sama sekali. Tidak ada sabana seperti di Candi Cetho.
“Menuju pos 3 waktu itu aku sudah mau nyerah. Lututku sakit banget,” ujar Yudian berbagi cerita. Dingin di puncaknya pun bukan main, dingin menusuk tulang.
Tapi entah kenapa, Yudian tidak cukup kapok untuk mendaki Gunung Lawu. Setelah 2018 itu, dia sibuk menyisir gunung-gunung lain. Dia sebenarnya berniat naik Gunung Lawu lagi dalam waktu dekat di 2025 ini. Namun, Yudian merasa gunung itu tidak menarik lagi baginya.
“Dulu karena lewat Cemoro Sewu, aku nggak keburu mampir ke warung pecel Mbok Yem. Karena memang jalurnya terpisah,” katanya. “2025 ini niatnya kan mau lewat Candi Cetho biar akses ke Mbok Yem lebih enak.”
Di Cemoro Sewu, sebenarnya terdapat warung nyaris di setiap pos. Ada juga yang menjual pecel seperti Mbok Yem. Akan tetapi, hati pendaki sudah terlanjur tercuri oleh nama “Mbok Yem” yang melegenda. Wajar saja, dia sudah jualan di puncak sana sejak 1980-an.
Pendakian jadi tidak sah
Berbeda dengan Bani dan Yudian yang minimal pernah ke Gunung Lawu, Iffah malah baru mau memulainya (25).
Meski pendakian pertamanya di Gunung Penanggungan, Mojokerto, tidak mulus, tapi dia ketagihan mendaki gunung-gunung indah lain. Gunung Lawu tentu saja masuk dalam daftar.
“Para pendaki selalu menyebut nama warung pecel Mbok Yem. Kalau muncak di Lawu nggak mampir, maka mendakinya “nggak sah”. Harus remedi. Saking legendnya sosok itu,” ungkap Iffah.
Belum juga wacana tersebut terealisasi, Mbok Yem sudah keburu mendaki ke puncak dari segala puncak: Tuhan.
Jika meminjam istilah Bani, barangkali Tuhan pun tertarik mencicipi pecel masakan Mbok Yem. Jadi Dia memanggilnya ke perjamuan di surga.
“Mungkin aku masih akan ke Lawu. Tapi pendakianku sudah dipastikan akan remedi permanen karena Mbok Yem sudah nggak akan ada di sana lagi,” ucap Iffah.
Nikmati pendakianmu menuju puncak yang hakiki, Mbok Yem…
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Menaklukkan Gunung Rinjani yang Punya Trek Maut hingga Bertemu Babi Ganas atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












