Kepolisian Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (Polda DIY) menggelar Jumpa Pers Akhir Tahun 2024 pada Senin (30/12/2024).
Berlangsung di hotel Grand Rohan Yogyakarta, Kapolda DIY, Suwondo Nainggolan membacakan laporan capaian kinerja Polda DIY dalam kurun 2023-2024.
Secara garis besar, capaian kinerja Polda DIY di beberapa aspek terbilang positif. Mulai dari angka kriminalitas yang trennya menurun hingga pengamanan di masa Pilkada 2024 dan Nataru 2024 yang efektif.
Sepanjang 2024, data menunjukkan peningkatan kinerja operasional dengan jumlah kasus yang berhasil diselesaikan (crime clearance) naik dari 7.676 kasus di tahun 2023 menjadi 8.409 kasus di tahun 2024.
Arie Sujito, Wakil Rektor (Warek) Bidang Kemahasiswaan Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebutnya sebagai capaian kolektif di bawah komando Kapolda Suwondo. Namun, yang perlu dicatat, memang ada banyak hal yang sudah dikerjakan oleh Polda DIY. Akan tetapi, masih banyak PR seiring dengan tantangan kompleksitas masalah yang menyambut di 2025 mendatang.
Melihat potensi masalah sekaligus solusi
Dalam jumpa pers siang itu, Arie bertindak sebagai penanggap. Setelah Kapolda DIY membacakan laporannya, Arie diberi waktu untuk memberi tanggapan atas capaian kinerja yang sudah Suwondo laporkan.
Warek UGM itu menggarisbawahi, Yogyakarta memang provinsi yang terbilang lebih kecil dari provinsi-provinsi lain. Tapi Yogyakarta punya masalah yang sangat kompleks.
“Maka, kunci terpenting dalam upaya kita menjaga keamanan dan pelayanan terhadap masyarakat adalah, leadership dan yang kedua adalah sistem lembaga dan tata kelola,” ujar Arie dalam tanggapannya.
Ada dua perspektif dari analisis Arie terhadap cara kerja Polda DIY. Pertama, melihat potensi masalah. Kedua, melihat potensi solusi. Kadang kala, kata Arie, potensi masalah itu tidak berbasis solusi. Kadang kala juga sebaliknya, solusi tidak berbasis potensi.
Kedua hal tersebut seharusnya saling beriringan: melihat potensi masalah disertai dengan basis solusi, juga sebaliknya. Itulah pola pengentasan masalah yang juga perlu diterapkan oleh Polda DIY.
Polda DIY jangan hanya pakai pendekatan hukum
Kaitannya dengan kejahatan jalanan di Yogyakarta, Arie yang juga merupakan Sosiolog UGM menekankan perlunya pendekatan lain dalam penanganannya. Tidak hanya melalui pendekatan hukum yang cenderung represif.
“Tapi juga langkah preventif. Perlunya melihat kejahatan jalanan dari persoalan psikologis dan sosial,” kata Arie.
Dalam pengamatan Arie, seiring dunia yang makin berkembang, corak kejahatan pun juga semakin kompleks.
“Penegakan hukum itu penting, tapi edukasi sosial juga penting,” tegas Arie.
Sebab, dalam konteks kejahatan jalanan, yang bertanggung jawab bukan hanya kepolisian atau pihak berwenang lain. Keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial lainnya pun turut bertanggung jawab. Sehingga, perlu ada edukasi sosial pada mereka.
Kunci dari terjadinya edukasi sosial itu, kata Arie, adalah bagaimana menjalin komunikasi dan konsolidasi yang baik antara Polda DIY dengan elemen-elemen sosial.
Kampus terbuka kolaborasi dengan Polda DIY.
Atas kompleksitas masalah di Yogyakarta, Arie mengatakan bahwa perguruan tinggi di Yogyakarta—salah satunya UGM—sangat terbuka diajak kolaborasi dengan Polda DIY. Pasalnya, kata Arie, perguruan tinggi tidak hanya menjadi produsen intelektual, tapi juga produsen masalah.
“Satu sisi dunia pendidikan dan pariwisata memang mengundang pertumbuhan ekomomi, tapi kalau penanganannya keliru, bisa jadi bencana,” ujar Arie. Apalagi di tengah banjir informasi di media sosial.
Hukum yang adil dan bermartabat
Era media sosial saat ini, di mata Arie, membuat masalah menjadi lebih kompleks.
“Ini memang ujian, untuk memastikan hukum berorientasi pada keadilan dan kemartaban,” ucap Arie.
Kunci kemartabatan tersebut terletak pada kemampuan pendekatannya: di mana menangani masalah tidak hanya menggunakan rasio saja, tapi juga rasa.
“Dengan memahami pendekatan kultural, maka akan lebih mudah merangkul banyak orang. Sri Sultan Hamengkubowono X sering mengingatkan, kalua pun orang Batak, Papua, atau Kalimantan datang ke Jogja, tidak perlu meninggalkan identitasnya. Tetapi penghargaan atas identitas itu menjadi kunci buat kita bahwa Jogja bisa jadi miniatur Indonesia. Ini kayak guyonan: Pak Kapolda itu orang Batak, tapi lebih Jawa dari orang Jawa,” tandas Arie.
Karena Kapolda DIY melakukan pendekatan kultural. Sehingga, walaupun dia tidak menanggalkan identitasnya Batak-nya, tapi dia mampu menghadirkan rasa sebagai orang Jawa.
Pendekatan semacam itulah yang, menurut Arie, perlu masuk dalam resolusi Polda DIY dalam upaya menangani masalah-masalah yang kompleks di Yogyakarta pada 2025 nanti. Terutama pada konteks kejahatan jalanan.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Impian Membangun Jalan Raya di Udara
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News