Presiden RI Prabowo Subianto berniat mengampuni para koruptor. Rencananya, dia ingin menghapus hukuman bagi para pelaku tindak rasuah asalkan mereka mengembalikan kerugian negara.
Bagi para pegiat antikorupsi, ini adalah upaya konyol. Sebab, koruptor seharusnya diberi efek jera, bukan malah diampuni.
‘Kalau kau kembalikan yang dicuri, kami maafkan’
Setelah turun dari mobilnya, Prabowo langsung berjalan memasuki Al-Azhar Convention Center, Kairo, Mesir. Di dalam ruangan, puluhan pelajar Indonesia yang menimba ilmu di Negeri Para Nabi itu langsung bersorak.
Presiden RI ini langsung melambaikan tangan dan memulai pidatonya.
“Hai para koruptor, atau yang merasa pernah mencuri dari rakyat. Kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kami maafkan,” kata Prabowo, sebagaimana Mojok kutip dari Youtube Sekretariat Kepresidenan, Kamis (2/1/2024).
Dengan nada berapi-api, Prabowo melanjutkan kalimatnya–yang secara ironis diikuti sorakan gembira oleh para diaspora di hadapannya.
“Tapi kembalikan dong. Nanti kita beri kesempatan cara mengembalikannya, bisa diam-diam supaya tidak ketahuan,” imbuhnya.
Amnesti bagi para koruptor
Dalam pidato berdurasi 36 menit tersebut, memang tak dijelaskan secara detail terkait wacana Prabowo mengampuni koruptor.
Namun, orang-orang terdekatnya mengonfirmasi bahwa wacana tersebut memang bagian dari kebijakan pemberian amnesti dan abolisi kepada setidaknya 44 ribu narapidana, termasuk koruptor.
Misalnya, kalimat ini diungkapkan oleh Menteri Koordinator HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra.
Menurut Yusril, narapidana yang akan menerima pengampunan dari Prabowo adalah mereka yang terjerat kasus penggunaan narkotik, penghinaan kepala negara, persoalan makar Papua, dan juga korupsi.
“Presiden mempunyai kewenangan memberikan amnesti dan abolisi terkait tindak pidana apapun, dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara,” kata Yusril dalam keterangan tertulis yang dibagikan kepada pers.
Koruptor harusnya dikasih efek jera
Tak lama sejak pidato wacana Prabowo mengampuni koruptor itu tayang, kritikan dari publik langsung bertebaran. Banyak orang menyayangkan ungkapan tersebut keluar dari mulut presiden yang sebelumnya mengaku akan “memburu koruptor sampai ke Antartika”.
Jir? Maling duit rakyat disuruh diem2, yg maling recehan aja digebukin ampe bonyok, dihukum gak sebanding. Statement macam apaan ini?
— 🇵🇸 (@deilphine___) December 19, 2024
Bahkan, ketika beberapa waktu lalu Prabowo menyentil vonis ringan Harvey Moeis, publik menilai kalau ungkapan itu cuma omon-omon dan tak konsisten.
Salah satu pegiat antikorupsi yang vokal mengkritik pidato Prabowo adalah Yuris Rezha Darmawan, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM. Menurut Yuris, niat Prabowo memang terlihat baik, tapi pelaksanaannya membutuhkan pendekatan yang tepat.
Sebab, imbuhnya, kejahatan korupsi memiliki pola dan karakteristik tertentu. Oleh karena itu, pemberantasannya harus disesuaikan dengan karakter kejahatan tersebut.
“Alih-alih memberikan pengampunan, negara seharusnya fokus menciptakan efek jera agar pelaku tidak mengulanginya,” ujar Yuris, Jumat (27/12/2024) lalu.
Menurutnya, sebagian besar pelaku korupsi bertindak berdasarkan motif ekonomi, sehingga harus diberikan efek jera yang efektif dengan pemiskinan dan perampasan aset hasil korupsi.
3 strategi ampuh buat menindak koruptor
Merasa wacana Prabowo salah kaprah dan kontraproduktif, Yuris pun mengusulkan beberapa strategi. Cara-cara ini dinilai bisa menjadi alternatif bagi pemerintah ketimbang memberi ampunan kepada para koruptor.
Pertama, kata Yuris, presiden perlu mendorong aparat penegak hukum untuk mengikuti aliran dana hasil korupsi–bukan cuma fokus pada pemidanaan pelaku. Dengan melacak aset-aset tersebut, negara dapat lebih mudah merampas hasil kejahatan untuk dikembalikan sebagai aset negara.
Menurut amatan Yuris, hasil korupsi seringkali tidak disimpan dalam bentuk uang tunai, melainkan dalam aset lain seperti investasi atau diatasnamakan orang lain.
“Lebih dari itu, setiap perkara korupsi semestinya menyandingkan pasal-pasal dalam undang-undang tindak pidana korupsi dengan pasal-pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sayangnya, pendekatan ini belum banyak diterapkan,” ungkapnya.
Kedua, peneliti Pukat UGM ini juga menekankan pentingnya mengoptimalkan penagihan uang pengganti yang telah diputuskan pengadilan. Sebab, dari banyak kasus, koruptor memang divonis membayar uang pengganti. Namun, sampai sekarang banyak yang belum memenuhi kewajibannya.
Sedangkan yang ketiga, Yuris mengusulkan langkah terkait kebijakan untuk memperkuat pemberantasan korupsi di Indonesia melalui pengesahan RUU Perampasan Aset.
Melalui ketetapan hukum ini, negara dapat lebih mudah merampas hasil kejahatan untuk dikembalikan sebagai aset negara. Dia juga mendesak revisi UU Tipikor agar segera direvisi dengan memasukkan pasal mengenai illicit enrichment atau kekayaan tidak sah.
“Pasal ini memungkinkan negara memeriksa pejabat publik yang memiliki kekayaan tidak sesuai dengan penghasilannya. Jika tidak bisa membuktikan asal usul kekayaan tersebut, negara dapat merampasnya.”
Selain kebijakan, Yuris menyoroti pentingnya memperbaiki penegakan hukum. Dia mengkritik kondisi saat ini mengenai aparat penegak hukum, termasuk KPK yang belum optimal dalam menjalankan tugasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Alkisah Suharto, Prabowo, dan Swasembada Pangan Ilusif yang Mengancam Petani atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan