Media asal Amerika Serikat, Business Insider, menyebut bahwa mie lethek yang merupakan makanan khas di Jogja sebagai mie terjelek di dunia. Namun, ketika saya memberi tahu predikat tersebut ke beberapa kawan yang merupakan pecinta mie lethek, mereka sama sekali tak memperdulikannya.
Monik (23), misalnya, yang sudah jadi fangirl mie lethek sejak pertama tinggal di Jogja pada 2018 lalu. Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) ini cukup heran dengan predikat tadi, sebab baginya secara sajian “Mie lethek tidak sekotor itu”.
“Lagian, apa coba parameter kotornya? Tampilan mienya, bumbunya yang berantakan, atau apa?,” kata Monik gusar, membantah klaim Business Insider yang saya tunjukkan.
Sesuai dengan namanya, kata “lethek” sendiri memang punya arti “kotor” dalam bahasa Jawa. Namun, bukan berarti ia kotor dalam arti sebenarnya. Makanan tadi disebut lethek hanya karena berwarna kecoklatan, yang tentu beda dengan warna mie pada umumnya, yakni putih ataupun kuning.
“Kalau patokannya disebut kotor hanya karena namanya ‘lethek’, kasian juga ‘wedang uwuh’ yang jadi minuman paling berantakan,” tukasnya bercanda.
Meski merupakan pecinta Mie Lethek, mahasiswa asal Jakarta ini belum pernah melihat secara langsung proses pembuatannya. Pun, ia juga tidak tahu dari mana asal warna yang agak kecoklatan dari mie asal Bantul itu.
Warna lethek berasal dari getah singkong
Saya pun menunjukkan video dokumenter sepanjang 11 menit berjudul “Why the ugliest noodles in the world are an Indonesian delicacy”. Dalam video tersebut, Business Insider mengunjungi tempat produksi mie lethek yang berada di Dusun Bendo, Kalurahan Trimurti, Srandakan, Bantul. Pabrik ini sudah memproduksi mie lethek sejak 1940-an.
Salah satu keistimewaan produksi mie lethek di tempat ini, adalah bahan dan cara pembuatannya yang masih sangat tradisional. Mie lethek sendiri terbuat dari singkong yang telah melalui proses pengeringan (gaplek). Mereka tak menambahkan bahan pengawet maupun pemutih, sehingga wajar kalau warnanya jadi agak kecoklatan. Warna kecoklatan sendiri secara alami dari getah singkong.
Video tersebut juga menampilkan alat-alat untuk pembuatan mie lethek masih sangat tradisional. Penggiling masih berupa batu silinder, dan untuk menggerakkannya para pekerja memanfaatkan tenaga sapi.
Metode ini pertama kali Umar Yassir ciptakan, ia adalah sang pionir mie lethek. Masyarakat masih mengunakan metode itu hingga hari ini.
Batu silinder tadi akan menggiling gaplek-gaplek selama kurang lebih tiga jam hingga benar-benar halus. Setelah halus merata, gaplek yang sudah jadi tepung tapioka (warga menyebutnya ‘glepung’) kemudian dimasak dalam periuk raksasa berbentuk silinder. Selanjutnya, adonan itu dipres menjadi helai-helai mie.
Proses terakhir adalah pencetakan dan penjemuran di bawah sinar matahari hingga kering. Setelah pengeringan selama kurang lebih delapan jam, proses selanjutnya adalah pengemasan mie lethek.
“Menurutku sih itu bukan kotor, ya, karena secara alami memang warnanya kayak gitu. Malah lebih sehat karena tanpa pengawet,” kata Monik, mengomentari video tersebut.
Jadi identitas warga Dusun Bendo
Lebih penting lagi bahwa tujuan awal pendirian pabrik di Dusun Bendo tadi semata-mata bukan untuk mencari keuntungan. Namun, ia lebih bersifat sosial.
Kala itu, Ummar Yassir yang merupakan imigran dari Yaman, ingin membantu warga sekitar yang membutuhkan makanan. Caranya adalah dengan memproduksi mie yang bahannya tersedia secara melimpah di sana.
Alhasil, keberadaan mie lethek sendiri tak sekadar menambah keberagaman kuliner lokal di Jogja, tapi ia juga memiliki nilai sosial budaya yang besar bagi warga Dusun Bendo.
Menurut laman Warisan Budaya Tak Benda Kemendikbud, dari sisi sosial, dengan adanya kuliner ini membuka lapangan pekerjaan bagi lansia, anak muda, ibu-ibu, bapak-bapak yang ada di Dusun Bendo. Penghasilan warga dusun Bendo bisa dikatakan ditopang oleh keberadaan pabrik mie ini.
Lebih jauh, sistem kerja di pabrik yang diterapkan secara kekeluargaan, juga membangun “suasana kegotongroyongan”. Interaksi intens yang terjalin sesama warga tiap harinya pada saat pembuatan mie, pada akhirnya membangun komunikasi sosial yang intim dan personal.
Akhirnya, tidak jarang di antara para pekerjanya yang saling membantu dalam hal urusan pribadi masing-masing.
Bahkan, kemampuan pembuatan kuliner ini juga menjadi bagian dari identitas dusun yang dapat mengangkat derajat warga Bendo. Keterampilan membuat mie menjadi bagian cara hidup orang Bendo.
“Orang Bendo disebut sebagai ‘orang Bendo’ jika ia memiliki kemampuan dan keterampilan untuk membuat mie lethek,” tulis Kemendikbud dalam keterangannya.
Mie Lethek jadi alasan kembali ke Jogja
Adapun, bagi Monik sendiri yang merupakan penggila mie lethek, keberadaan makanan tersebut seolah menjadi alasan lain baginya untuk kembali ke Jogja.
Terlebih, sebentar lagi ia bakal lulus kuliah dan sudah memutuskan untuk bekerja di kota asalnya, yakni Jakarta. Makanya, ia mengatakan mie lethek bakal menjadi pengingat baginya untuk merindukan Jogja.
“Kataku sih, Jogja terbuat dari mie lethek, bukan rindu dan angkringan,” katanya tersenyum.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Rekomendasi Kuliner Cangkringan Sleman, Menyantap Makanan dengan Pemandangan Terbaik
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News