15 Tahun Pelatih Sepak Bola Putri Mataram Rela Tak Digaji

Tri Hastuti bersama salah satu anak didiknya (Dok. Dhimas Lingga)

Selama 15 tahun melatih klub sepak bola Putri Mataram, Tri Hastuti (55) atau akrab disapa Itut, rela tak digaji. Tak sedikit anak asuh Itut yang berhasil menembus level tim nasional. Trofi dari berbagai kompetisi pun pernah Itut raih selama melatih.

***

Tri Hastuti (55) atau akrab disapa Itut bukan nama asing lagi di kancah sepak bola wanita Yogya. Sejak 2005 ia mengasuh tim Putri Mataram, mengasah banyak bakat sepak bola wanita-wanita muda. Nama-nama lama seperti Tugiyati Cindi, Idea Rifqi Agustin, hingga Suciana Yuliani yang pernah malang melintang di timnas sepak bola maupun futsal wanita Indonesia merupakan mantan pemain binaan Itut.

Cinta dengan dunia sepak bola wanita

Pemain Putri Mataram yang kini masih berusia belasan, seperti Rr Azizah, Annisa Febiana, dan Nafhizah Nuraini juga mulai mendapat panggilan Timnas Sepak Bola Putri Indonesia beberapa tahun terakhir. Namun, siapa sangka, selama lima belas tahun melatih tim legendaris yang sudah berdiri sejak 1971 ini, Itut tak pernah digaji. Namun, kondisi tersebut tak menyurutkan komitmen Itut untuk terus meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga. Di usianya yang sudah tak muda lagi Itut masih sigap berlari kesana kemari dan meneriakkan instruksi-instruksi saat anak didiknya menggocek bola.

Putri Mataram memang tak mematok tarif untuk setiap anak yang hendak turut latihan. Baik biaya pendaftaran maupun dana rutin bulanan. “Gratis Mas, paling hanya untuk iuran sewa lapangan setiap latihan,” ujar Itut saat ditemui di sesi latihan bersama anak didiknya di Lapangan Nogotirto, Sleman. Hal inilah yang membuat pelatih Putri Mataram dituntut memiliki keikhlasan, komitmen, dan kecintaan pada dunia sepak bola wanita.

Ditemui saat sesi latihan Minggu (21/11/2021) pagi, perempuan paruh baya berbadan gempal ini hanya seorang diri mendampingi latihan dua puluhan anak didiknya. Ia mengaku tak keberatan, “Mumpung masih diberi kekuatan, saya usahakan untuk terus mendampingi anak-anak,” ujarnya. Biasanya, ia didampingi oleh dua rekan untuk melatih para pemain. Namun, saat itu keduanya sedang berhalangan.

Putri Mataram
Tri Hastuti saat mengevaluasi latihan Putri Mataram. (Foto Dok. Dhimas Lingga)

Di luar melatih sepak bola, Itut memiliki pekerjaan tetap sebagai kepala sekolah dasar (SD) di Sleman. Lulusan Sekolah Guru Olahraga (SGO) Yogyakarta  1985 ini sudah 36 tahun menjadi guru olahraga bagi anak-anak SD. Pekerjaan inilah yang digunakan Itut untuk menghidupi diri dan keluarganya, saat sepak bola wanita tak bisa ia andalkan sebagai penghasil pundi-pundi rupiah.

Sepak bola wanita di Indonesia memang jauh dari gemerlap dan perhatian. Kompetisi yang ada tak sebanyak sepak bola pria. Musim 2021/2022 ini saja liga untuk sepak bola wanita ditiadakan. Padahal untuk pria Liga 1 hingga Liga 3 tetap digelar. “Memang sudah sejak dahulu sepak bola wanita kita seperti dianak tirikan. Saya kadang kasihan sama anak-anak kalau sedang minim kompetisi, untung saja masih ada turnamen kecil dan trofeo,” curhat pelatih pemegang lisensi C PSSI ini.

Meski di tengah situasi yang tak mendukung, antusiasme para remaja wanita untuk berlatih sepak bola terus menyala. Para orang tua dari anak didik Itut juga mendukung penuh. “Ketika ada kompetisi, para orang tua ini gotong royong untuk membantu. Ada yang urun kendaraan, konsumsi, dan lain sebagainya,” tukasnya.

Semangat itulah yang mendorong Itut untuk tetap melatih meski di tengah keterbatasan. Komitmennya adalah untuk mengantarkan anak-anak ini ke jenjang professional. Walaupun Itut paham, dengan ekosistem sepak bola di Indonesia anak-anak ini kelak tak bisa menggantungkan hidup hanya dari si kulit bundar.

“Saya nggak akan putus asa, kasihan anak-anak ini yang punya minat, punya bakat, ya kita wadahi saja. Walaupun pemerintah dan federasi belum memperhatikan kita, selagi saya mampu, saya akan berikan yg terbaik,” ungkap wanita kelahiran Kaliurang, Sleman ini.

Hampir lolos ke Piala Dunia

Tanpa kecintaan mendalam,  Itut tak bakal bisa punya komitmen untuk sepak bola wanita seperti sekarang. Kecintaan itu berawal sejak ia masih berusia belasan. Masa ketika Itut masih duduk di bangku SMP.

“Dulu saya ingat betul, pertama kali penasaran pada sepak bola karena melihat tim Tornado Kaliurang berlatih. Saya melihat dari pinggir lapangan sambil nyuapin adik makan,” ujar wanita kelahiran 4 Juli 1966 ini.

Setelah lama penasaran, Itut akhirnya memberanikan diri bertanya pada pelatih, “Apakah wanita bisa ikut latihan bersama Tornado?” Ternyata dibolehkan dan tak berselang lama bahkan Tornado membentuk tim khusus wanita bernama Tornado Putri.

Bersama Tornado Putri, Itut mulai mengikuti beberapa kompetisi. Salah satu yang ia kenang betul adalah Hadikusumo Cup tingkat provinsi DIY pada medio 80-an. Pada kompetisi itu Itut bermain apik sehingga pelatih Putri Mataram saat itu kepincut dan mengajaknya bergabung. Sejak saat itulah Itut memulai sejarahnya bersama klub yang kini ia bina.

Tri Hastuti berangkat ke Hongkong 1989 (Foto Hammam)

Sejak bergabung bersama Putri Mataram, Itut mulai mengikut banyak turnamen dan kejuaraan nasional. Ia memainkan banyak posisi. Mulai dari striker, gelandang, bahkan pernah didapuk sebagai pemain bertahan. Saat melihat foto-foto masa mudanya, Itut memang nampak kuat dengan badan gempalnya. Tak heran apabila staminanya bisa digunakan pelatih untuk mengisi ragam posisi.

Puncak karir Itut terjadi di akhir tahun 80-an. Saat ia dipanggil untuk memperkuat timnas Indonesia berlaga pada Piala Asia di Hongkong. Masa-masa itu merupakan momen terbaik Itut sebagai pesepak bola. Saat menceritakan itu, matanya memerah basah, sesekali ia usap dengan tangannya.

“Saya ingat betul, dulu hampir mencetak gol untuk timnas. Tapi bolanya kena tiang,” ucapnya sambil senyum, mengenang masa-masa indah.

Indonesia gagal membawa pulang gelar juara. Meraih peringkat ketiga di grup B dan secara poin berada di peringkat lima dari delapan negara yang berlaga. “Coba bayangkan itu masuk semi final, bisa masuk piala dunia,” kenang Itut.

Tahun 1989 juga menjadi tahun terakhir Indonesia berhasil menembus Piala Asia. Setelahnya Indonesia selalu gagal di tahap kualifikasi dan baru kembali bisa tampil di Piala Asia 2022 setelah mengalahkan Singapura pada babak Kualifikasi September 2021 lalu.

Selain berlaga di Piala Asia, keikutsertaan dalam Piala Ibu Tien Soeharto 1986 adalah momen berkesan lain bagi Itut. Piala Ibu Tien merupakan kompetisi sepak bola wanita yang diselenggarakan di Indonesia dan diikuti oleh sejumlah negara di Asia.

Main sepak bola ketika sedang hamil

Itut begitu mencintai sepak bola, bahkan setelah menikah di awal 90-an dan sedang hamil muda ia tetap mengikuti beberapa kompetisi. Sang Suami, meski merasa khawatir pun mengembalikan keputusan sepenuhnya pada Itut. “Saya tanya ke suami, apakah tetap boleh main, dia hanya memastikan ke saya, ‘Koe isih kuat opo ora?’,”  ujar Itut. Jawaban itu tentu disambut Itut dengan yakin, bahwa dirinya masih kuat dan bisa mengikuti kompetisi.

Foto masa muda Tri Hastuti (Foto dok. Hammam/Mojok.co)

Bagi Itut, selama tenaganya masih dibutuhkan di tim, ia akan mengupayakan sepenuh tenaga untuk bermain. Tiga kali Itut hamil dan selalu membawa bayi di kandungannya untuk mengikuti kompetisi sepak bola.  Bahkan saat hamil terakhir, kandungan Itut sudah hampir menginjak usia empat bulan.

“Pelatih sempat ragu menurunkan saya, malam sebelum kompetisi badan saya panas dingin. Teman-teman di tim juga khawatir kalau saya keguguran. Tapi saya tetap main walaupun tidak full, karena tenaga saya dibutuhkan,” ujar Itut semangat.

Itut merasa bersyukur karena ketiga anaknya berhasil dilahirkan dengan selamat. “Tapi satu anak saya meninggal. Saat usia lima tahun karena sakit,” ujarnya. Kematian anak Itut sempat membuatnya terpuruk hingga beberapa bulan. Berhenti dari aktivitas olahraga dan mengajar. Namun, waktu perlahan membuatnya kembali ke lapangan.

Kehamilan memang kerap menjadi hambatan bagi pesepak bola maupun atlet wanita secara umum. Ada momen-momen ketika kehamilan membuat atlet gagal mengikuti sebuah kompetisi. “Ya beberapa anak didik saya juga jadi terhenti setelah hamil. Tapi kalau serius, pasti setelah melahirkan akan kembali lagi ke lapangan,” tegasnya.

Waktu berlalu, usia Itut bertambah, hingga akhirnya pada 2005 ia mengikuti kejuaraan nasional terakhirnya. Saat itu ia bermain untuk Putri Mataram sekaligus menjadi asisten pelatih pada kompetisi yang digelar di Jakarta.

Tak berselang lama, dua pelatih Putri Mataram undur diri karena harus meninggalkan Yogya. Akhirnya Itut meneruskan estafet kepelatihan dan meski belum mengantongi lisensi apa-apa. Pengalamannya sebagai pemain serta kedekatan emosionalnya dengan Putri Mataram menjadi bekal utamanya mengarungi dunia kepelatihan.

“Saya baru mendapat lisensi D kepelatihan itu tahun 2010. Kemudian lisensi C pada tahun 2021,”  tutur Itut. Baginya, lisensi hanyalah secarik kertas, pengalaman dan komitmen adalah yang utama. 

Kliping koran di rumah Tri Hastuti (Foto Dok. Hammam/Mojok.co)

Apalagi dengan kondisi persepak bolaan wanita Indonesia. “Siapa sih yang mau ngelatih tanpa dibayar?” tanyanya.

Salah satu sosok yang disebut Itut sebagai panutan dan inspirasi dalam menjalani hidup sebagai pelatih sepak bola adalah Sudarsono KH, mantan pelatih Putri Mataram. “Beliau adalah sosok yang begitu berdedikasi, perjuangannya untuk sepak bola wanita DIY luar biasa,” ujarnya.

Dulu, ketika masa-masa awal berbagung dengan Putri Mataram, Sudarsono rela menjemput Itut jauh-jauh ke Desa Kaliurang untuk latihan di Kota Yogyakarta yang berjarak sekitar 20 kilometer. Itut bergabung Putri Mataram saat akhir masa SMP, sebelum akhirnya ia melanjutkan studi di SGO dan tinggal di Yogya.

Itut mengenang, saat perayaan ulang tahun ke-50 Putri Mataram beberapa waktu silam, Sudarsono hadir dan memberikan sambutan. Sambutan yang diiringi tetesan air mata. Sudarsono tak menyangka bahwa klub ini bisa bertahan sampai usia setengah abad. Padahal bagi Itut, orang-orang seperti Sudarsono lah yang telah menyalurkan semangat bagi penerusnya untuk mempertahankan eksistensi Putri Mataram.

Selain melatih Putri Mataram, Itut juga memiliki beberapa pengalaman melatih di tempat lain. “Saya pernah melatih Tim Porda Sleman juga menjadi asisten pelatih di PSS Sleman,” jelasnya. Di tempat lain itu, Itut menjadi pelatih selayaknya yang mendapatkan honor.

Namun untuk Putri Mataram, karena berbagai keterbatas finansial dan pendanaan sebagai klub amatir, Itut tak pernah digaji selama lima belas tahun melatih. Namun itu bukan menjadi persoalan baginya.

“Tidak digaji maupun kalah saat berkompetisi itu bukan jadi soal selama melatih Putri Mataram. Tim ini sudah jadi bagian dari hidup saya,” tegasnya.

Sedih, tak ada kompetisi

Persoalan gaji jelas bukan masalah lagi bagi Itut. Lalu ketika kalah, Itut justru merasa bahwa ada yang harus dibenahi dan ia akan tertantang untuk menjadi lebih baik. Hal yang kerap menjadikan Itut gusar dan kehilangan gairah adalah saat anak didiknya tidak memiliki komitmen dan semangat berlatih.

Tri Hastuti bersama sederet trofi (Foto Dok. Hammam/Mojok.co)

“Ketika pemain diberitahu dan diarahkan tapi tidak berkenan, kemudian buat ulah, saya itu rasanya sedih. Ngapain saya susah payah, malah dibeginikan. Tapi ketika saya ke lapangan dan anak-anak antusias, semangat, itu hati saya teguh lagi. Semangat saya kembali,” ucapnya lirih.

Ada yang lebih hatinya gusar ketimbang hal di atas, yakni melihat anak didiknya yang sudah bersemangat, namun tak ada kompetisi yang bisa mewadahi. ”Sebagi pelatih itu saya sudah jungkir balik tak kenal lelah hanya untuk sepak bola wanita. Tapi muaranya itu di mana nanti anak-anak saya ini? Tapi kalau saya letakkan saja, itu kan kasian anak-anak yang punya potensi dan semangat,” ujarnya.

Bagi Itut, hal yang sama juga dirasakan para pelatih sepak bola wanita lain di Indonesia. Kurangnya kompetisi profesional yang reguler dan pembinaan berjenjang membuat mereka risau. Kemana muara anak didik mereka besok?

Padahal, bagi Itut membina sepak bola perempuan itu perlu perjuangan ekstra.  “Anak perempuan itu butuh waktu lama untuk belajar sepak bola, kalau cowok kan latihan sebentar sudah bisa nendang. Kalau cewek perlu proses yang lebih lama,” ucapnya.

Hal ini ditambah lagi dengan minimnya regenerasi pelatih sepak bola wanita, terutama yang sama-sama wanita. Menurut Itut, pelatih wanita  bisa lebih dekat secara emosional dengan anak didiknya. Mereka juga bisa memahami betul pengalaman biologis maupun psikologis sang anak didik.

“Walaupun secara pengalaman dan kualitas memang cenderung lebih bagus pelatih pria, tapi kehadiran pelatih wanita tetap dibutuhkan,” tegasnya.

Itut berharap, momentum lolosnya srikandi putri Indonesia ke Piala AFC 2022 di India menjadi momen agar para pemangku kepentingan lebih memberikan perhatian pada berbagai aspek sepak bola wanita. Mulai dari kompetisi, pembinaan, dan juga pelatih. “Ayolah pemerintah, jangan kita ini dianak tirikan, berilah kami kesempatan,” harapnya.

BACA JUGA Mungkinkah Dukcapil Buka Sampai Malam dan di Akhir Pekan?  dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version