12 Tahun Belajar Bahasa Inggris di Sekolah dan Tetap Nggak Bisa Ngomong

bahasa-inggris-mojok.co

bahasa-inggris-mojok.co

[MOJOK.CO] “Narasumber kami punya alasan beragam tentang mengapa mereka gagal menguasai bahasa Inggris di bangku sekolah.”

She loves cake really, and she likes blow the candle as always.”

Saya merasa ada yang tidak genap dalam kalimat yang diposting sebagai caption sebuah postingan Instagram itu. Tadinya saya mau mengoreksi, tapi ternyata banyak netizen yang sudah duluan merespons. Maklum, yang memposting adalah ertong papan atas: Mbak ATT alias Ayu Ting Ting.

“Harusnya ‘she really loves cake’,” seorang netizen membenahi di kolom komentar. Postingan Mbak ATT yang menuai koreksi para pakar bahasa dadakan, saya rasa, bukan itu saja. Sebelumnya Mbak ATT pernah menulis suppor dan beberapa netizen sirik mencela.

Suppor: susu pormula kali ah,” tulis @ajengtriutari.

Menurut saya, netizen jaman now tak beretika betul. Justru Mbak ATT ini secara tidak langsung telah mengangkat derajat bahasa Indonesia. Logikanya, kalau tokoh sekelas Mbak ATT saja tidak menguasai bahasa Inggris dengan baik dan benar, harusnya keyakinan umum bahwa bahasa Inggris adalah bahasa internasional perlu dipertanyakan kelayakan dan keabsahannya.

Tapi, sebenarnya nggak cuma Mbak Ayu aja yang kadang berbahasa Inggris sekadar untuk memenuhi kebutuhan caption foto atau status di media sosial. Banyak orang Indonesia lain yang melakukan hal serupa. Entah salah grammar, entah typo.

Orang Indonesia berbahasa Inggris di keseharian tidak aneh sih. Setelah bahasa daerah dan bahasa Indonesia, bahasa ini adalah bahasa ketiga kita. Termasuk dalam komposisi pelajaran bahasa di sekolah. Di sebagian besar kota di Indonesia, paling tidak sejak 20 tahun lalu, bahasa Inggris bahkan sudah diajarkan sejak kelas 1 SD. Tapi, kenapa setelah 12 tahun belajar bahasa Inggris, kok masih belum lancar juga ya?

Demi menjawab kegelisahan dan rasa penasaran itu, saya bertanya kepada beberapa orang. Dari mereka, ada beberapa alasan yang saya dapatkan.

1. Nggak Minat Nikah sama Bule

“Menurutmu, kenapa orang sekolah 12 tahun tetep ada yang tidak bisa bahasa Inggris?” tanya saya kepada Bunga, seorang teman lulusan farmasi dari sebuah universitas terkenal di Yogyakarta.

“Aku kudu jawab dengan intelektualitasku yang tinggi atau dengan kekopongan otakku?”

“Di-mixed.”

“Karena tidak punya selera berjodoh dengan bule.”

“Korelasinya apa?”

“Tidak ada kesempatan dan motivasi membiasakannya dalam sehari-hari, tidak dapat pencerahan.”

2. Nggak Sempat Les

“Menurut Mbak, kenapa orang sekolah 12 tahun tetep ada yang tidak bisa bahasa Inggris?” tanya saya pada kawan yang lain.

“Soalnya telanjur minder.”

“Minder bagaimana?”

“Memulai minat suka pada sesuatu hal kan biasanya dimulai sejak kecil. Dulu zaman masih kecil, banyak teman dileskan di Elti. Ada teman yang tadinya sama-sama tidak bisa, tahu-tahu setelah 3 tahun les sudah mahir. Padahal mulainya bareng dari nol.

“Terus tidak ikut les juga?”

“Tidak. Zaman itu orang tua masih PNS dan biaya les cukup memberatkan. Mindernya di situ, tidak ikut les seperti teman lainnya.”

“Kalau sekarang, minder bicara Inggrisnya masih?”

“Ya, kalau ada customer bule jadi grogi,” jawabnya sedikit curhat tentang pekerjaannya.

3. Kalau Sejak Awal Tidak Suka, Sulit Menekuni

Kawan saya satu ini namanya Anes dan baru saja lulus dengan predikat cum laude dari Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta.

Nek wis ora seneng iku angel menekuni, Mbak,” Kata dia dalam Jawa ketika saya tanya dengan pertanyaan sama. Kalau diterjemahkan, katanya, kalau sudah tidak suka itu sulit menekuni.

Jawaban Anes mewakili jawaban terbanyak dari sekian sumber yang saya tanyai. Terbukti, Anes mengambil Jurusan Keolahragaan dan berhasil lulus cum laude. Artinya, minat dan kesenangan Anes sejak awal bukan pada bidang bahasa, namun olahraga.

4. Orang Sana Juga Nggak Ngerti Bahasa Kita Kan?

Wong Inggris ora iso mbedakke endi ‘pedhes’, endi ‘panas’, terus Indonesia ngertine mung Bali.” Itu jawaban Ghiyats, kawan saya yang suka bermusik. Katanya, orang Inggris tidak bisa membedakan mana “pedas”, mana “panas”, terus Indonesia tahunya cuma Bali. Jawaban yang cenderung defensif, memang.

5. Tergantung, Kalau…

Narasumber selanjutnya adalah Falah, kawan apoteker yang juga penggemar JKT48 dan sering mengajak saya nonton band idolanya tapi saya tolak dengan alasan tak bermutu.

“Menurutmu, kenapa orang sekolah 12 tahun tetap ada yang tidak bisa bahasa Inggris?”

“Maksudnya? Aku juga tidak bisa tuh. Sekolah 12 tahun plus kuliah-kuliah.”

“Nah, tuh kenapa kamu merasanya? Padahal di sekolah diajarin terus.”

“Tergantung juga sih.”

“Tergantung begimana?”

“Bawaan orok juga pengaruh. Kalau lahir di US pasti sudah lancar.”

“Oke, saya telah bertanya pada orang yang salah.”

6. Adanya Faktor dari Luar Diri

Berikutnya saya mewawancarai Shodiq, seorang teman yang masih mahasiswa. Kesukaan Shodiq menulis dan kepribadiannya yang lempang harapannya memberikan warna jawaban yang matang, tidak seperti sebelum-sebelumnya.

“Karena ada yang sekolah sebatas sekolah saja, menunaikan kewajiban. Tidak disungguhi.”

“Waini!”

“Sekolah hanya sebatas wadah, pintar atau tidaknya orang, itu kembali pada pelakunya toh?”

Saya tidak tahu Shodiq mengakhiri kalimatnya dengan pernyataan atau pertanyaan. Tentang faktor dari luar diri ini saya cukup setuju. Beberapa kawan lain yang saya wawancarai juga menyebut masih ada beberapa sekolah atau pesantren jaman old yang tak ada pelajaran bahasa Inggrisnya. Setelah lulus jadi agak kerepotan kalau mau belajar mulai dari awal.

7. Kalau Kata Pakar Begini

“Ini satu pertanyaan yang mengundang seribu jawaban,” kata psikolog pendidikan D. Denis P. Putrantya, S.Psi.

“Tapi, seribu jawaban itu bisa dikategorikan menjadi 2, yakni faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal ada yang karena cara mengajarnya kurang tepat atau faktor guru dan sekolahnya. Setiap anak bisa berbeda-beda cara belajarnya. Kalau faktor internal, misalnya mental si anak, takdir, bahkan keberkahan ilmu.”

Benarkah jawabannya sesederhana itu?

Exit mobile version