Setiap hari, laki-laki yang akrab dipanggil Pakde Bonek ini menempuh perjalanan 1 jam 10 menit dari rumahnya di Gresik, menuju Rumah Sakit Dr Soetomo Surabaya. Ada 100 jersey bola yang ia pakai secara bergantian sebagai kostum selama bekerja sebagai pengatur lalu lintas.
***
Sejak saya masih mahasiswa baru sampai lulus, ada satu bapak-bapak pengatur lalu lintas di seputar yang hampir selalu menjadi pusat perhatian pengendara yang lewat. Termasuk saya. Jersey bola warna-warni dan topi nyentrik yang dia pakai di depan Gedung Pusat Pelayanan Jantung Terpadu (GBPT) RS Dr Soetomo itu memang selalu sedap dan menyenangkan dipandang.
Hari itu, tepat siang bolong di bawah panasnya terpaan sinar matahari Surabaya yang konon akibat dari bocornya neraka, saya coba mendekati Bapak yang sedang bertugas itu. “Pak Saya mau tanya-tanya, Sampean kosong jam berapa?”
Saya tidak tahu persis ekspresi apa yang beliau keluarkan, namun suaranya tampak bersemangat dan gahar, ”Nanti ya, jam 2 siang.”
Bapak Edy Riyanto (66) namanya. “Saya juga dikenal Edy Persebaya, atau Pakde Bonek“ ucap Pak Edy sambil merapikan topinya. Beliau arek asli Surabaya. Sekarang beliau tinggal bersama anaknya di Gresik.
Setiap hari, Pak Edy menghabiskan waktu kira-kira satu jam lebih sepuluh menit untuk berangkat dari Gresik, dan sekitar satu setengah jam lebih untuk pulang dari Surabaya. “Maklum, kalau sore lalu lintasnya padat.,” Pak Edy terkekeh di balik masker dan kacamata hitamnya.
Tekad memakai jersey ketika bertugas
“Sejak 2010. Ya sudah lama, hampir 12 tahun. Ketika mau ada piala dunia 2010, kurang empat hari, saya punya inisiatif untuk pakai kostum bola. Akhirnya berlanjut sampai sekarang,” ketika saya tanya sejak kapan bekerja sebagai pengatur lalu lintas dengan jersey bola.
Pak Edy bercerita awal mula bekerja dengan jersey bola. Ia masih ingat, kostum yang dipakainya 11 tahun lalu itu adalah jersey Prancis. Waktu itu banyak komentar positif berkenaan dengan gayanya. “Banyak yang suka, katanya unik, apik, nyentrik, gitu. Baru kali ini mereka lihat ada yang ngatur lalu lintas pakai kostum bola seperti saya,” tawa keras keluar dari balik masker beliau yang bergoyang.
Beliau khusus memakai jersey bola, Pak Edy juga tidak mau neko-neko pakai pakaian aneh macam pocong, atau jenis hantu lain seperti tren pengatur lalu lintas lainnya. “Nggak suka saya, yang saya suka ya ini, karena saya hobi olahraga,” tutur Pak Edy.
Sampai hari ini Pak Edy memiliki 100 jersey bola lebih. Koleksi beliau mayoritas merupakan klub-klub terkenal dari masing-masing liga di Eropa. Kalau di Italia ada Juventus, AC milan, Lazio, Fiorentina. Kalau liga Inggris ada Chelsea, Arsenal, Manchester United, Manchester City. Tak hanya itu, di level negara, Pak Edy juga punya jersey Jerman, Kroasia, Swedia, Columbia, Brazil, sampai Argentina.
Jersey bola Liga Indonesia pun, Pak Edy juga punya, Persela, Persib, dan yang paling penting, Persebaya. Tak luput, Pak Edy juga menceritakan tentang topinya. Waktu itu beliau memakai topi bertuliskan PSG. Logo-logo dan tulisan di sana dia buat sendiri dari skotlet yang digunting-gunting.
“Topi ini, saya punya beberapa, logo dan tulisan ini kan tempelan, nanti dicopot terus diganti-ganti sesuai kostum,” ujar Pak Edy sembari mencopot topi di kepalanya.
“Tapi lama bikin ini, nggak bisa dua jam. Rokoknya itu yang sering habis. Kita lagi fokus nggunting, rokoknya tetap jalan,” ucap Pak Edy sambil menepuk-nepuk trotoar tempat kami duduk.
“Besok Sampean ke sini, tak tunjukin logo Barcelona. Gara-gara beli logo mahal, akhirnya saya bikin sendiri dari skotlet. Mirip lah,” Pak Edy kembali terkekeh, “ Walaupun nggak bagus, tapi mirip.”
Pak Edy dengan jersey Prancis dan topi PSG-nya. Foto oleh Prima Ardiansah/Mojok.co
Saya pun nyeletuk, “Kalau Arema, sampean punya kostumnya Pak?”
“Nggak ada, kalau kita pakai itu, nggak enak sama orang,” jawab Pak Edy singkat, kali ini tidak diikuti tawa.
Tiba-tiba beliau bilang: “Saya prihatin sama suporter itu. Kita sama-sama mendukung dan saya juga sering nonton. Tapi nggak ricuh begitu, duduk, nonton, diam, sudah.” Beliau heran dengan kelakuan penonton yang bikin suasana jadi tidak kondusif. “Yang rame kan anak-anak kecil itu,” ujar beliau.
Pak Edy masih rutin nonton langsung pertandingan Persebaya. Kalau lawannya klub bagus seperti PSIS Semarang, atau Arema Malang, beliau sebisa mungkin pergi nonton.
“Nonton itu kalau punya uang. Walaupun hobinya nonton bola, tetapi kalau nggak punya uang, apa buat beli karcis?” Sambut Pak Edy dengan gelak tawa. Belum selesai tertawa, beliau sigap berdiri dan jalan ke jalan untuk membantu mobil yang mau putar balik.
Memakai jersey saat bertugas karena hobi olahraga
“Sampean dapat filosofi cinta pekerjaan seperti ini darimana, Pak?” Tanya saya sambil mengamati jersey bola negara Perancis yang beliau pakai hari itu.
“Karena dari kecil saya suka olahraga,” saya menunggu kata-kata petuah atau semacamnya dari mulut beliau, tetapi tidak ada. Beliau malah menceritakan kisahnya dulu ketika masih bekerja di pabrik kasa di Kalimas Surabaya. Waktu itu beliau pernah juara satu voli, tenis meja, sampai catur. Sampai dapat predikat karyawan terbaik dari direkturnya.
Setelah pindah ke pabrik kayu di daerah Margomulyo Surabaya, beliau juga masih meneruskan hobi olahraganya. “Di pabrik kayu itu tiap tahun ada pertandingan bola antar bagian. Kebetulan di bagian saya tidak ada kipernya. Waktu itu saya sudah 44 tahun. Tetapi, dari pertama main sampai jadi juara satu, tim saya nggak ada kebobolan satu pun,” katanya bangga.
Sampai-sampai sepatu bola Adidas beliau dibeli mandor. Padahal aslinya beliau ingin menyimpannya. “Waktu itu saya dapat gelar kiper terbaik.”
“Terus kok bisa 12 tahun lalu Sampean pindah ke sini Pak?”
Pak Edy bernapas panjang. “Dulu ada saudara saya jaga di sini, waktu itu saya masih nganggur habis selesai dari pabrik kayu. Saya pun minta tolong ke saudara saya itu supaya dikasih kerjaan.” Awal bekerja, Pak Edy masih mengenakan rompi.
“Waktu itu fisik saya masih kuat. Saya juga nggak mau mengharapkan (uang) anak, yang penting kerja halal, sudah. Masalah hasil itu belakang, kadang rame, kadang sepi, yang penting ada,” tutur beliau.
Sesekali ada pengendara yang pesan supaya beliau pakai kostum tim tertentu di esok hari. “Pak, besok pakai Chelsea ya. Habis saya pakai terus dikasih rokok,” tutur Pak Edy lega karena ada orang yang mengapresiasinya.
Dalam upaya memilih kostum, beliau mengusahakan setiap hari nonton bola, jika ada tim yang menang, di hari itu juga beliau memakai jersey bolanya. “Kalau besok MU menang ya pakai MU. Tiap hari kostum harus ganti. Kalau nggak, nanti berdebu, Mas, kelihatan kotoranya.”
Jersey bola itu pun juga berganti sesuai dengan eventnya. Karena sebentar lagi ada piala dunia, beliau juga menyiapkan kostum negara yang bertanding di dalamnya. “Ya beli kostum yang nggak terlalu mahal, Mas. Harga yang terjangkau saja,” ucap beliau santai.
“Kalau baju Persebaya, Pak?” Saya menodong.
“Lho, pasti, waktu main, apalagi menang, saya pakai terus. Dulu waktu Persebaya di liga dua. Saya datang ke Waru Sidoarjo, pakai topi yang saya tulis ‘Persebaya Liga Dua Juara Satu’.
Saya pun terkekeh.
“Banyak yang minta foto sama saya,” lanjut beliau dengan irama membara.
Satu kali ada dokter dari Jerman yang kebetulan lihat Pak Edy pakai kostum timnas mereka. Diajak lah beliau berfoto, lalu dikasih lima puluh ribu rupiah. “Dok, thank you,” beliau memperagakan momen ketika bertemu orang Jerman itu. “Iya sama-sama, jawabnya, tibake bisa bahasa Indonesia,” tawa keras keluar dari balik masker lagi.
Sampai sekarang, sudah banyak media yang meliput Pak Edy. Beliau juga rajin menyimpan koran-koran yang memberitakan tentangnya. Terkadang, juga ada orang yang entah darimana mengambil gambar sampai merekam beliau bertugas.
Satu hari, beliau pernah ditegur mobil yang berisi empat orang. Sepertinya itu dari kepolisian. “Pak Edy, nanti ikut ke kantor ya Pak. Mereka bilang begitu. Saya langsung nunjukin kartu yang ada stempel Polda-nya. Langsung takut dia,” Pak Edy tertawa puas. “Saya disuruh lanjut bekerja lagi. Lha memang saya kerja di sini ini sudah ada ijin.”
Semangat bekerja walau susah
Karena anaknya sudah berkeluarga, penghasilan beliau sekarang hanya dibelanjakan buat beli rokok, bensin, dan kopi. Sisanya, kadang beliau kasih anaknya, sesekali juga untuk uang saku kedelapan cucunya.
“Saya selama ngatur lalu lintas di sini nggak pernah minta-minta, nggak pernah maksa. Nggak mau saya, itu bukan cara saya,” tutur beliau dengan nada bersahaja.
“Ada tips supaya nyambut gawe bisa niat kaya Bapak?” Tanya saya sambil mengeluh dalam hati gara-gara panas yang begitu menyengat.
“Ga boleh putus asa. Semangat harus ada, selagi kau sehat bekerja yang giat, usia yang muda jangan kau sia-siakan.” Beliau berhenti sejenak.
“Anak muda sekarang itu banyak yang malu kerja. Susah dikit mereka nggak mau. Coba kalau mereka pernah kerja sengsara, mungkin sudah nggak ada malu lagi.”
Pak Edy bercerita kalau dulu sejak beliau dapat istri sampai ketiga putrinya selesai sekolah SMK, beliau bertekad untuk tidak merokok. “Baru 2002 saya mulai merokok setelah anak ketiga selesai,” ujar beliau. Ketika masih kecil pun beliau juga sudah terbiasa hidup susah karena ekonomi keluarganya yang kurang stabil. Beliau mengenang masa kecilnya yang pernah jualan es, sampai layang-layang.
“Sampean kok kuat panasnya Surabaya, Pak?”
“Nyambut gawe kudu kuat gak peduli panas gak peduli adem. Sing penting kerjo seng temen. Kerja jangan putus asa. Karena kebutuhan manusia itu banyak. Kita kerja sekuat tenaga, kalau capek ya istirahat.” Beliau malah berorasi.
Walaupun beliau menyemangati saya, dalam hati saya masih mengeluhkan panas yang bangsat di hari itu. Apa bisa saya bekerja dengan semangat seperti beliau kelak? Tanya saya dalam hati.
BACA JUGA Anang Batas: Meneng Sakayange Demi Kontemplasi Motret Burung dan liputan JOGJA BAWAH TANAh lainnya.