Aktor dan penulis Gunawan Maryanto telah berpulang 100 hari lalu. Untuk mengenang dan merawat legacy seniman serbabisa itu, sebuah mini festival digelar.
***
Gunawan Maryanto mati syahid. Demikian seru perupa Agung ‘Leak’ Kurniawan meyakini berpulangnya sang aktor, penulis, dan seniman serbabisa itu saat ditemui Mojok di Kedai Kebun Forum (KKF), sebuah resto cum-galeri yang dikelolanya di bilangan Tirtodipuran, Kota Yogyakarta, di Kamis (13/1) sore yang basah itu.
Agung yakin lantaran Gunawan Maryanto atau Cindhil, begitu ia karib disapa, meninggal tatkala rapat dan menyiapkan program untuk Teater Garasi, kelompok teater tempat Cindhil lama berkhidmat.
“Dia enggak bisa dibiarkan mati sendirian dan tidak layak dikubur di kuburan seniman. Kuburannya ya di sini, di pameran, di festival, tempat legacy-nya bisa dilihat,” kata Agung.
Gunawan Maryanto meninggal pada 6 Oktober 2021 di usia 45 tahun. Saat itu, ia sedang rapat di kantor Teater Garasi. Tiba-tiba,ia muntah-muntah, sempat dikeroki, dan dilarikan ke rumah sakit. Namun sayang, nyawa peraih Piala Citra di film Science of Fiction itu tak tertolong. Cindhil dinyatakan meninggal karena serangan jantung.
Suara Cindhil bergema di KKF,di sore yang dingin itu. Melalui rekaman audio, pemeran Wiji Thukul di film Istirahatlah, Kata-kata itu membacakan penggalan bait-bait puisi dari bukunya, Sakuntala. Suaranya ditingkahi bagian larik sajak yang lain lewat rentetan rap dan musik tekno dari kelompok Puisi 16 Bit.
Tepat di petang saat hujan turun, penampilan tersebut membuka pameran seni rupa yang menandai mini-festival ‘Untuk Seorang Lelaki yang Demikian Mencintai Hujan’. Acara sepanjang 13- 25 Januari 2022 ini dihelat untuk memperingati 100 hari meninggalnya Cindhil. Selain pameran, festival ini juga menggelar pertunjukan teater, tari, musik, pembacaan sastra, hingga nyekar makam dan open house di rumah Cindhil.
Ada pula karya interaktif berbasis data audio Cindhil, sehingga ia seakan hadir dan dapat berbincang dengan hadirin. Sutradara Yosep Anggi Noen akan membuat instalasi visual untuk memutar adegan-adegan Cindhil yang tak muncul dari film-film kolaborasi keduanya.
Beragamnya agenda di mini-festival ini mewakili luasnya ranah seni yang digeluti Cindhil. Sebagai penggagas mini-festival, Agung menyatakan Cindhil berkarya secara lintas media dan silang budaya lewat puisi, teater, film, seni rupa, bahkan musik.
Modus berkesenian lintas batas itu dilakukan tidak untuk sekadar pemanis dan basa-basi, tapi secara mumpuni dan paripurna. Dengan begitu, Cindhil sulit ditandingi seniman lain hari ini. “Dia tak hanya mampir, numpang lewat, tapi berumah, memberi jejak dan inspirasi di tiap bingkai seni itu,” ujar Agung kepada Mojok.
Praktik berkarya Cindhil juga melintasi batas sekat-sekat lembaga dan kelompok. Menurut Agung, meski kelihatan guyub, seniman di Yogyakarta berada di sejumlah ‘gelembung’ berbeda. “Cindhil bisa lintas gelembung dan wilayah. Tak tersekat di satu ruang,” katanya.
Yang tak kalah penting, Cindhil rupanya juga eksis di generasi berbeda dan tak mengenal senioritas. Agung menyebut di antara rekan dekat dan seangkatan ia akrab dipanggil Cindhil, sementara untuk urusan formal ia dikenal dengan nama aslinya, Gunawan Maryanto, dan kerap disapa Mas Gun. Namun kalangan ‘milenial’, anak-anak muda usia 20 tahunan, dekat dengannya lewat sapaan gaul, Mas C. “Tiap generasi ternyata punya keakraban sendiri dengan Cindhil,” ujarnya.
Agung pun menyatakan metode dan teknis penyelenggaraan mini-festival pun coba mewarisi semangat kolaborasi Cindhil. Selama ini Agung dan Teater Garasi menganggap suatu acara bahkan festival harus benar-benar terkonsep secara rigid dan ketat.
Namun pandangan itu kali ini dikesampingkan. “Cindhil itu tidak bisa berkata tidak kalau diajak kolaborasi. Meski kami sekarang agak repot, tapi ini demi memperingati legacy Cindhil dan meneruskan semangatnya,”paparnya.
Semula acara hanya dibahas bersama Teater Garasi dan poster festival langsung diunggah di media sosial. Namun mereka yang hendak terlibat di acara ini terus bertambah. “Padahal aku enggak minta, enggak ngundang. Kalau aku minta, pasti lebih banyak yang ikut,” ujarnya.
Karena luasnya jangkauan aktivitas berkesenian Cindhil, mini-festival ini akan berkembang sesuai keterlibatan peserta lain di luar jadwal resmi, bahkan menjadi festival sebenarnya, dan berlanjut secara kontinyu dan rutin. “Apalagi orang Indonesia itu pelupa. Kalau enggak diperingati, legacy-nya enggak kelihatan,” ujar Agung.
Saling silang
Saling silang media, komunitas, dan generasi dalam berkarya itu jadi warisan penting Cindhil yang dirayakan. Itu pula yang tampak dari sejumlah karya seniman di mini-festival ini. Di KKF, perupa muda Risangdaru menampilkan lukisannya, Unfinished Poem, sambil mengenang pertautannya dengan ‘Mas C’ lewat sebuah puisi yang disebut Cindhil belum selesai.
Kelompok Kyai Samudana memamerkan wayang bregada Wirabraja bernama Waluyo buatan Cindhil 2017. Berawal dari sebuah cergam untuk diunggah berkala di Instagram, wayang ini bakal tampil di proyek kolaborasi musik, puisi, dan mural Prajurit Kalah Tanpa Raja. Sayang, pertunjukan itu belum kesampaian hingga Cindhil meninggal.
Adapun sekitar dua kilometer dari KKF, selang beberapa jam kemudian, masih dalam petang yang dingin oleh hujan, pameran seni rupa juga dibuka di markas Teater Garasi di Jomegatan, Bantul.
Di sini, pengujung disambut visual dari kutipan tulisan-tulisan Cindhil yang akan ditebar di berbagai tempat dan media sosial lewat karya #kataCindhil gagasan Wok the Rock dan Farid Stevy. Sementara Chrisna Fernand mereka ulang wheatpaste yang dibuatnya tepat setelah Cindhil berpulang di beberapa lokasi. Karya berjudul Moonument ini mengambil foto Cindhil dalam baju astronot dari film The Science of Fiction.
Perupa senior FX Harsono juga memutar lagi video pertunjukan Nama yang menyoal aturan nama baru bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Cindhil bertindak selaku kereografer dan penulis lirik di pentas yang dipanggungkan di Tyler Rollins Fine Art, New York itu.
Mentor Cindhil, Genthong HSA, yang membuka pameran di Garasi malam itu, sampai heran bagaimana bisa Cindhil kenal FX Harsono dan kini turut mengenang hari kematian muridnya bersama seniman lain. Soalnya, dalam ingatan Gentong, Cindhil muda adalah sosok sederhana yang tak menonjol.
Gentong ingat penampilan awal Cindhil sebagai anak kecil di lakon Menunggu Godot belum memukau. Namun di pentas kedua, Pohon Ceri karya Anton Chekov, Cindhil mulai bersinar. “Dia itu cerdas. Mau ikut ujian di UGM malah tidur kleleran. Cah edan! Dia lulus padahal enggak belajar,” kata dia.
Dedengkot Teater Garasi, Yudi Ahmad Tajudin, juga mengakui warisan Cindhil adalah sikapnya yang selama ini terbuka sebagai seorang seniman. “Saya baru tahu ternyata banyak anak muda generasi Z yang terinspirasi syair-syair Cindhil lalu bertemu dan berinteraksi. Spektrum pergaulan dan minatnya luas,” tutur Yudi pada Mojok.
Menurutnya, sikap berkesenian itu berangkat dari pribadi Cindhil sendiri. “Cindhil itu orang baik, tidak mau menyakiti, dan mengambil hak orang lain. Dia kerap enggak harus di depan tapi nyaman bekerja di belakang. Sikap keterbukaan ini berakar dari kemanusiaannya dan tercermin di karya-karya dia,” katanya.
Dalam bahasa Agung Leak, gestur Cindhil seperti ingin dipeluk dan memeluk, “Dia dilahirkan untuk berteman. Seperti halaman rumah yang terbuka, siap dimasuki siapa saja, dan orang enggak akan segan masuk. Padahal sebagian seniman menutup pintu rumah. Itu sudah menubuh. Tanpa itu, Cindhil enggak akan bisa hidup,” katanya.
Karena sikap keterbukaan itu pula, , penyelenggara mini festival ini membuka rumah Cindhil—secara harfiah—dalam suatu agenda open house, Minggu 16 Januari nanti. Saya pun teringat ketika Mas Cindhil menerima Mojok untuk wawancara di awal Desember 2020, beberapa hari sebelum penganugerahan Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI).
Di rumah mungil di sudut jalan itu, sambil tak henti menghisap rokoknya, Mas Cindhil bercerita dengan lirih, dekat, dan tanpa menggurui bagi yang awam dunia teater dan keaktoran. “Aku main (film) kalau punya pijakan dan itu macam-macam, dari isu, cerita, karakter, timnya, sampai pesannya. Susah, kalau aku enggak karep (punya keinginan),” kata dia kala itu tentang komitmennya di dunia teater dan film.
Tiga hari setelah itu, Mas Cindhil dinobatkan sebagai aktor terbaik FFI 2020 untuk perannya sebagai astronot bisu, Siman. Piala Citra diraihnya secara hening, tanpa sepatah kata pun sepanjang film.
Dan kini, setelah 100 hari kematiannya, sesaat sebelum tahlilan bersama warga di Teater Garasi dimulai malam itu, keheningan seketika berubah menjadi doa panjang untuk Gunawan Maryanto atau Mas Cindhil—lebih panjang dari hujan yang tak habis-habis di luar.
Reporter : Arif Hernawan
Editor : Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Makam Mbah Precet, Makam Misterius Tanpa Nama di Pinggir Jalan Kota Solo dan liputan menarik lainnya di Susul.