Sebanyak 1.000 oncor atau obor menerangi lereng Gunung Sumbing, Jumat (22/4/2022). Bukan hanya sekadar sebagai penerang, tapi punya makna mendalam tentang malam selikuran.
***
Ratusan warga beriringan menuju masjid di di Dusun Cepit, Desa Pagergunung, Kecamatan Bulu, Temanggung, Jawa Tengah. Mereka yang sebagian besar ibu-ibu itu muncul dari lorong-lorong kampung membawa ingkung ayam.
Ingkungnya ada yang dibawa dengan nampan. Ada juga yang dibawa memakai alas piring. Ada juga yang ditaruh dalam tas kresek. Mereka bergerombol menuju masjid. Pakaian yang dikenakan perempuan itu pun beragam. Ada yang memakai kebaya. Ada yang hanya memakai daster. Ada juga yang memakai celana jin.
Pakaian yang mereka kenakan merupakan pakaian sehari-hari. Mereka berjalan penuh tawa dan canda. Apalagi saat saya memotret mereka. Suasana sepanjang jalan menurun itu meriah oleh tawa dan guyonan khas warga desa. Hari itu ada sekitar 245 ingkung yang dibawa warga ke masjid.
“Baris lho, Bu, ben apik dipoto,” kata saya.
“Kaya cah sekolah nek baris, Mas. Sik karo nggaya wae ben ketok ayu,” timpal seorang ibu.
Ingkung-ingkung dari warga itu ditaruh di lantai masjid. Ada yang ditaruh begitu saja di tangga masjid. Ada juga yang di bawah pagar masjid. Mereka bergerombol di depan pintu serambi samping masjid. Hanya beberapa perempuan saja yang duduk di dalam masjid.
Hari itu memang berbeda dengan hari-hari yang lain. Saya datang di tradisi malam selikuran warga Pagergunung. Sudah dua tahun tradisi warga tidak diadakan karena pandemi Covid-19.
Saya bertemu Heru Kurniawan, 27 tahun, Ketua Base Camp Pagergunung saat tiba di Temanggung. Menurut cerita Heru, ritual malam selikuran ini merupakan hajatan Desa Pagergunung. Namun, penyelenggaranya Pecinta Alam Pager Gunung (Palpag) di mana ia menjadi ketua sejak 2016.
“Selikuran di Pagergunung ini sudah menjadi tradisi. Karena setiap malam selikuran banyak pendaki dari Temanggung dan Jawa Tengah yang mendaki lewat jalur Pagergunung,” katanya. Base camp Palpag jadi tempat para pendaki melapor sebelum muncak ataupun setelah turun dari Sumbing.
Heru ini asli Pagergunung. Tugas Palpag ialah mengelola jalur pandakian. Menurut Heru, ritual malam selikuran sudah ada sejak dirinya masih kecil. Hanya saja dulu jalan menuju puncak tidak dipasangi oncor. Baru lima tahun terakhir ini, oncor dijadikan bagian dari tradisi malam selikuran.
Hal senada diceritakan juga oleh Sugiono. Panggilannya Gion. Usianya 45 tahun. Gion merupakan ketua base camp Palpag selama 12 tahun sebelum digantikan oleh Heru. Gion saat ini menjadi Ketua Desa Wisata Dusun Cepit, Pagergunung.
“Sejak siang tadi warga Pagergunung memasak ingkung,” kata Gion. Ada sekitar 245 ingkung. Setiap KK membawa ingkung dan nasi ketan yang ditaburi oleh parutan kelapa. Semua ingkung itu, kata Gion, dibawa ke masjid Baitul Karim menjelang berbuka puasa. Didoakan oleh Mbah Kiai. Lalu dibawa pulang ke rumah kembali untuk dijadikan santapan berbuka puasa bersama keluarga masing-masing.
“Ingkung-ingkung dari warga itu juga sebagai ubarampe selamatan untuk para pendaki dan peziarah yang datang malam ini,” kata Gion.
Mbah Kiai Samanhudi mulai membacakan doa. Suasana hening. Doa yang dipanjatkan ada yang memakai lafaz Jawa juga memakai lafaz Arab. Doa itu ternyata hanya pendek saja. Tidak lama. Lalu selesai. Sebelumnya, saya membayangkan akan ada doa-doa yang panjang seperti tahlilan itu. Ternyata hanya doa dari Mbah Kiai Samanhudi. Setelah itu selesai. Ingkung-ingkung itu kemudian dibawa lagi oleh perempuan-perempuan Pagergunung ke rumahnya masing-masing.
Saya datang ke Pagergunung karena informasi dari Fadkus. Fotografer asli Temanggung. Dialah yang memberitahu saya tentang acara malam selikuran ini. Suasananya kalau malam asyik, kata Fadkus, saat itu. Syahdu. Ajakannya langsug saya membuat saya tancap gas karena ingin merasakan kesyahduan malam selikuran di lereng Sumbing dengan 1.000 oncor yang berderet dalam dingin angin Gunung Sumbing.
Saat waktu berbuka tiba, saya dan Fadkus diajak oleh warga berbuka bersama. Berbuka dengan makanan khas Pagergunung. Ada teh hangat dan kacang godok, juga risol, dan lainnya. Tidak lama kemudian saya sudah ada di base camp. Beberapa pendaki sudah datang. Pemuda Palpag membagikan masker. Lalu mereka menuju loket untuk melapor dan membeli tiket. Per orang Rp15 ribu.
“Selamatan malam selikuran agak berbeda dibandingkan dengan 2 tahun yang lalu. Malam ini, kami betul-betul menyambut pendaki yang akan muncak dengan sebaik-baiknya,” kata Heru. Rencananya, ada acara pelepasan pendaki usai salat tarawih.
Akan ada doa dan pelepasan dari sesepuh desa. Juga ada penyerahan bekal secara simbolis kepada perwakilan pendaki berupa kupat dan gula kelapa. Lalu penyerahan oncor sebagai simbol penerang jalan. Oncor adalah nama lain dari obor.
“Ada 1.000 oncor, Mas,” kata Heru. Yang membuat oncor teman-teman Palpag. Batang-batang oncor itu telah ditancapkan di sepanjang jalan beraspal mulai dari base camp sampai batas terminal motor pendaki. Oncor itu akan menyala sepanjang malam hingga pagi di kiri dan kanan jalan. Kami memakai bahan bakar solar, kata Heru. Biar awet. Nanti setelah waktu berbuka, oncor-oncor itu akan dinyalakan.
Saya bertemu Rere, 37 tahun. Anggota Tagana dari Temanggung ini mendaki bersama kedua putranya. Fahriza dan Farhan. Juga Hafiz Praditya, 14 tahun, siswa SMPN 4 Temanggung. Rere mulai menyukai mendaki gunung sejak tahun 2013. Kini kedua putranya ikut kesenangan ibunya mendaki gunung.
Ibunya petualang sekarang nurun ke anaknya, kata Rere. Mendaki Sumbing pada malam selikuran itu asyik, Mas, suasananya ramai. Anggap saja piknik bersama anak-anak.
Selain ibu Rere dan keluarganya, ada juga rombongan petani dari Temanggung yang diketuai oleh Tempe. Tempe merupakan julukan. Nama aslinya Farihin, 27 tahun. Karena suka makan tempe maka Farihin diparafi Tempe. Dia mendaki bersama empat temannya pada malam selikuran karena selain senang juga karena ini malam ke 21 ramadan, katanya. Gunung itu tempat yang asyik buat berdiam sambil mengingat Tuhan, katanya.
Tapi juga tempat yang asyik buat ngopi sambil sebat, katanya sambil tertawa.
Malam mulai beranjak. Salat tarawih sudah usai. Pendaki mulai berdatangan. Sepeda motor yang mereka pakai memenuhi jalan depan base camp. Sampai pukul 20.45 wib, saya melihat buku tamu sudah ada 163 pendaki yang akan muncak.
“Rekor tertinggi malam selikuran itu tahun 2016, Mas,” kata Heru yang berdiri di samping saya.
“Berapa pendaki saat itu?” Tanya saya.
“Ada 2.400 pendaki,” jawab Heru.
Mbah Kyai Samanhudi sudah datang. Imam masjid Baitul Karim inilah yang akan memimpin doa pelepasan pendaki yang akan naik ke Gunung Sumbing. Dia didampingi oleh Kades Pagergunung, Sukarman. Juga beberapa anggota BNPB, Orari dan Damkar, juga dari BOB, serta beberapa aparat kepolisian dari Temanggung.
Seorang perempuan membawa baki berisi kupat dan gula kelapa, serta beberapa oncor yang akan diserahkan kepada perwakilan pendaki.
“Kupat kuwi kanggo weteng, gula kelapa kuwi kanggo energi, oncor kuwi kanggo penerang, ben dalane pener lan padang,” kata Mbah Kyai Samanhudi sebelum membacakan doa.
Oncor atau obor yang dinyalakan sepanjang perjalanan menuju puncak ternyata ada kaitannya dengan sebuah kisah. Dikisahkan, saat nabi turun dari Jabal Nur pada malam ke 21 ramadan, suasana gelap gulita. Para sahabat yang ikut bersama Nabi Muhammad kemudian menyalakan obor sebagai penerang jalan.
Oncor atau obor, kata Mbah Kyai Samandhudi, merupakan simbol penerang. Agar pendaki mendapat pencerahan pada malam ke 21 Ramadan di puncak gunung Sumbing. Makanya jangan lupa sambil berdoa. Gunung itu berzikir. Sejatinya kita juga ikut berzikir saat sedang bersama gunung.
Saya dan Fadkus ikut naik bareng rombongan menggunakan Viar, motor bak terbuka. Satu motor berisi 6 orang. Kuat juga. Tapi sambil dada deg-degan. Sepanjang jalan menuju terminal motor, obor menyala terang.
Suasananya syahdu. Angin dingin. Di langit terlihat gugusan bintang menaungi gunung sumbing yang kukuh. Pandaki berseliweran membalap motor yang kami tumpangi. Ada yang berboncengan. Ada juga yang sendirian. Punggung mereka memanggul carier berisi logistik untuk bekal bermalam di puncak.
Setelah selesai menikmati suasana jalan beroncor di kaki Sumbing, kami pun turun. Masih menaiki Viar yang kadang bersuara keras karena menderita kami naiki. Udara makin dingin. Berbatang-batang rokok telah tuntas menemani dingin. Saya menemui Mbah Kiai ditemani Fadkus.
Panggung kesenian terlihat menampilkan sekelompok penari. Suasana jalan penuh manusia. Pedagang laris karena setiap lapak dikerubuti oleh warga yang datang. Mereka datang bukan hanya dari Pagergunung. Melainkan dari desa sekitar Kecamatan Bulu.
Di atas dak sebuah rumah Mbah Kiai tengah duduk sendiri di sebuah meja berpayung. Di atas meja itu ada beberapa piring berisi makanan. Jari tangannya menjepit sebatang rokok yang masih menyala. Saya berdiri di depannya. Dan meminta izin memotret. Setelah beberapa kali jepretan saya duduk di depannya.
Nama lengkap Mbah Kiai imam masjid Baitul Karim ini adalah Agus Samanhudi. Usianya 71 tahun. Sejak saya kecil, menurut Mbah Kiai, malam selikuran sudah dilakukan di Pagergunung. Selain malam selikuran, warga Pagergunung juga punya ritual tiap bulan Rajab yaitu Rejeban Plabengan. Bedanya, jika rejeban Plabengan setiap warga diwajibkan membawa tenong berisi ingkung dan makanan untuk dibawa ke Plabengan. Plabengan merupakan situs peristirahtan Ki Ageng Makukuhan sebelum dimakamkan di puncak gunung Sumbing.
Malam selikuran itu dipercaya warga Pagergunung penuh berkah, kata Mbah Kiai. Karena sejak malam ini hingga 10 hari terakhir menjelang lebaran diyakini turunnya Lailatul Qadar. Orang-orang kemudian mendaki ke puncak untuk berziarah ke makam Ki Ageng Makukuhan. Berdoa. Memohon berkah di atas gunung yang sunyi.
Ki Ageng Makukuhan itu, kata Mbah Kiai Samanhudi, nama aslinya Mustakim. Dia penyebar agama Islam yang datang kesini membawa berkah. Dialah yang mengenalkan tembakau bagi warga di sini. Sehingga sampai saat ini, tembakau itu menghidupi tidak hanya warga Pagergunung. Melainkan juga masyarakat Temanggung. Makanya yang datang naik gunung itu kebanyakan orang Temanggung. Tua, muda, lelaki dan perempuan. Malam selikuran ini semacam perayaan juga bagi warga Pagergunung. Ki Ageng Makukuhan meninggal di Kedu, kata Mbah Kyai. Jasadnya disusung oleh para sahabatnya. Diistirahatkan ke Plabengan lebih dulu sebelum dimakamkan di puncak gunung Sumbing.
Malam makin larut. Pukul 23.30 wib saya izin pada Fadkus untuk turun ke Jogja. Sepanjang jalan masyarakat masih ramai bergerombol. Mereka menonton pentas kesenian. Suasananya seperti pasar malam. Malam selikuran setidaknya membawa berkah juga pada pedagang yang membuka lapak di sekitaran base camp dan panggung kesenian di Pagergunung. Malam Selikuran tahun depan, semoga saya bisa datang lagi ke sini, ke Dusun Cepit, Desa Pagergunung, Temanggung.
Reporter: Eko Susanto
Editor: Agung Purwandono