Isu Kekerasan Seksual Makin Banyak Itu Justru ‘Bagus’ Dong

MOJOK.COHampir setiap minggu ada saja thread Twitter yang speak up tentang kekerasan seksual, beberapa di antaranya bahkan sampai trending.

Kamu ngerasa nggak sih kalo isu kekerasan seksual belakangan ini semakin menjadi pembahasan lumrah di berbagai media? Selain karena RUU PKS gagal masuk Prolegnas 2020, kasus-kasus kekerasan seksual juga jadi salah satu mainstream issue di media sosial atau wabilkhusus media sosial Twitter.

Dalam catatan saya saja, hampir setiap minggu ada saja thread Twitter yang speak up tentang kekerasan seksual, beberapa di antaranya bahkan sampai trending. Minggu ini saja bahkan ada dua trending Twitter yang berkaitan dengan kekerasan seksual.

Satu, dugaan adanya kekerasan seksual oleh anggota Serikat Pekerja. Dua, “Gilang bungkus” yang ternyata korbannya nggak udah-udah, alias buanyaak banget sis. Sampai eneg dan mumet bacanya.

Bagi beberapa orang pengungkapan kasus ini mungkin bikin nyesek dada, namun di sisi lain, menurut saya fenomena ini sih sebuah kemajuan ya. Bukan, bukan pada soal kekerasan seksualnya, tapi pada kasus-kasus kekerasan seksual yang bisa terungkap ke publik.

Thread yang hampir tiap minggu bisa kita temukan itu tentu hanyalah sebuah fenomena gunung es, yang kita nggak pernah tahu seberapa besar lagi bongkahan es di bawah permukaan air lautnya. Tapi menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2020, angka kekerasan seksual pada 2019 meningkat sebanyak hampir 800% atau 8 kali lipat selama kurun waktu 12 tahun (sejak 2008).

Data tersebut bisa dibaca sebagai ketiadaan perlindungan terhadap perempuan, adanya pembiaran oleh negara, atau menguatnya budaya pemerkosaan—alias rape culture—di masyarakat kita.

Komnas Perempuan juga menyebutkan bahwa data tersebut juga dapat diartikan sebagai adanya peningkatan keberanian korban untuk melapor. Itu dia poin kemajuan yang pertama, korban mulai berani speak-up. Baik dengan laporan ke lembaga pelayanan terpadu seperti data yang dihimpun Komnas Perempuan, atau sekedar speak up di sosmed.

Keduanya harus diapresiasi loh, karena untuk sekedar nulis thread di Twitter aja tuh buat penyintas berat banget. Si korban harus bisa ngalahin traumanya, harus siap dengan cocot kencono netizen yang nggak ada akhlak, bahkan harus siap jadi korban yang kedua kali atau bahasa Bantul-nya: double victimization. 

Bukan tidak mungkin bakal ada aja yang bilang, “Halah mana buktinya? Pasti cuma mau pansos doang,” atau, “Kalo mau nyerang atau ngejatuhin orang, gausah gini amat kali mbak,” atau, “Mending lapor polisi daripada koar-koar di sosmed gak ada bukti.”

Keberanian penyintas buat speak up juga dipengaruhi oleh poin kedua, yaitu mulai terbentuknya awareness orang-orang tentang kekerasan seksual. Loh, katanya tadi di sosmed pasti dapet double vitimization? Ya victimization pasti ada, tapi kepercayaan dan support warganet kepada para penyintas juga nggak kalah besarnya.

Belakangan ini, bahkan warganet yang menyuport penyintas kadang nggak ada tukad-tukadnya. Apalagi kalau ada yang komen nyentil menyalahkan korban, wah udah kayak daging kurban nyemplung ke Sungai Amazon: jadi rebutan piranha. Bakal mampus kau, dikoyak-koyak netijen!

Contoh di kasus “Gilang bungkus”, @awkarin aja bahkan sampai menawarkan bantuan hukum buat @m_fikris, korban yang pertama kali berani spill kasus ini. Ada kepedulian yang datang. Tak perlu nunggu ada pilkada, tak perlu nunggu ada pamrih, semua berjalan normal karena kesamaan musuh: pelaku kekerasan seksual.

Dari sosial media juga, korban biasanya akan bertemu dengan jaringan korban atau penyintas lainnya yang tentu saja itu menjadi modal dan dukungan besar bagi mereka. “Ternyata aku nggak sendiri” adalah sebuah kekuatan besar bagi korban yang tadinya mereka pikir nggak akan ada yang stand out buat mereka.

Selain warganet yang makin aware dengan isu kekerasan seksual, sekalipun mungkin ya belum sepenuhnya paham juga. Tapi saya senang karena kawan tongkrongan juga jadi lebih sering menanyakan, “eh kalo kayak gini termasuk kekerasan seksual nggak sih?” atau, “kalo yang kayak gitu seksis gak sih?”

Yah, lumayan, suatu langkah kecil kemajuan. Tentu harapannya kesadaran orang-orang nggak berhenti sampai di situ, tapi terus meningkat sampai mengubah perilaku masyarakat yang tidak menyudutkan dan tidak menghakimi korban. Minimal itu dulu deh.

Simpati dan kepekaan warganet yang sekarang terbangun adalah berkat adanya poin kemajuan ketiga, yaitu adanya kampanye yang masif terkait edukasi seksual maupun bentuk-bentuk kekerasan seksual.

Kampanye masif ini umumnya dilakukan oleh lembaga dan organisasi-organisasi yang bergerak di isu hak asasi perempuan atau hak atas kesehatan seksual dan reproduksi. Di samping itu ternyata peran influencer ternyata juga cukup efektif untuk mengedukasi orang awam selain yang berada dalam circle lembaga atau organisasi yang memang fokus pada isunya.

Banyaknya pemberitaan dari media alternatif yang memberikan pandangan dengan perspektif korban juga menjadi metode kampanye yang edukatif bagi masyarakat. Media yang seperti itulah yang semestinya dibutuhkan oleh masyarakat, bukannya media yang cuma jadi wadah gosip belaka.

Sudut pandang yang ditampilkan oleh media menjadi salah satu faktor yang membentuk sudut pandang dan cara berpikir masyarakat.

Belum lagi kasus-kasus kekerasan seksual dengan skala pemberitaan nasional bahkan internasional, tindakan dan putusan aparat penegak hukum yang tidak berpihak pada korban atau sulitnya korban dalam upaya mencari keadilan. Ditengah isu kasus yang demikian marak, eh bisa-bisanya RUU PKS yang diinisiasi sejak 2012 kok malah mundur lagi. Jadi makin rame aja deh tuh kampanye.

Menanggapi isu yang heboh ini, berbagai organisasi mahasiswa, institusi pendidikan, institusi agama bahkan berbondong-bondong mengadakan berbagai kajian, diskusi, webinar, dan lain-lain tentang kekerasan seksual. Itu dia poin kemajuan yang keempat.

Mereka yang tadinya cuek, nggak peduli, acuh tak acuh, sekarang mau nggak mau jadi kepo dooong! “Emang kekerasan seksual apaan sih? Siapa aja yang bisa jadi korban? Korbannya pasti cewek dan pelakunya pasti cowok ya?”

Nah kalo udah mulai tanya-tanya kayak gitu tuh berarti sinyal baik. Yang dibutuhkan cuma informasi lebih banyak lagi. Banyak-banyakin aja deh bikin orang-orang ngepoin dan belajar tentang kekerasan seksual. Sambil kita nambah pengetahuan, sambil mengedukasi orang lain juga.

Hanya saja jangan sampai, arah positif semacam ini memunculkan orang yang berpendapat, “Praktik kekerasan seksual sekarang jauh lebih banyak daripada dulu ya? Ternyata zaman sekarang udah makin rusak. Nggak seenak zaman dulu.”

Aelah, Marwoto, pandangan kayak gitu ibarat membandingkan isu korupsi pada zaman Pak Harto dengan zaman sekarang.

“Enak ya, zaman dulu Pak Harto nggak ada korupsi. Buktinya, zaman dulu jarang banget pejabat yang masuk bui karena korupsi. Beda dengan sekarang, pejabat ketangkep korupsi mulu. Ini kan artinya koruptor sekarang lebih banyak dari zaman Pak Harto dulu.”

Duh, aduh. Bodo kok dipelihara, kambing kurban dong dipelihara, bisa dapet pahala.

BACA JUGA Laki-Laki Mendukung RUU PKS, Sebab Ia Memang Nggak Takut Dilaporin Istrinya ke Polisi atau tulisan ESAI lainnya.

Exit mobile version