Pentingnya Cuti Haid dan Melahirkan dalam Dimensi Keselamatan Kerja

cuti haid dan melahirkan

Ilustrasi cuti haid dan melahirkan (Mojok.co)

MOJOK.COPemberian hak cuti haid dan melahirkan dianggap menjadi hal yang fundamental bagi para pekerja perempuan. Terutama, hak tersebut erat kaitannya dengan aspek keselamatan kerja.

Sebagaimana diketahui, sejak terbitnya Perppu Cipta Kerja pada akhir tahun 2022 lalu, diskursus mengenai cuti haid dan melahirkan ramai dibahas.

Memang, secara eksplisit pasal-pasal dalam Perppu ini tidak menghapus hak cuti haid dan melahirkan. Namun, diubahnya formulasi upah membuat dimungkinkannya hak-hak tersebut justru tereduksi.

Koordinator Divisi Gender Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif Untuk Demokrasi (Sindikasi), Selira Dian, menyebut bahwa pemberian cuti haid dan melahirkan penting untuk memastikan keselamatan kerja bagi pekerja perempuan.

“Apalagi, misalnya, melahirkan dengan konsekuensi medis yang lebih berat seperti operasi caesar,” ujar Selira kepada Mojok, Senin (16/1/2023).

Selain membutuhkan waktu pemulihan lebih lama, perempuan juga masih dihadapkan pada peran ganda pasca-melahirkan. Di satu sisi, ia tetap harus bekerja untuk mencari nafkah keluarga, dan di sisi lain ia tetap harus berjaga hingga malam demi mengurus anaknya yang baru lahir.

“Beban ganda di kantor dan rumah menghantui kamu yang baru saja melahirkan. Lagi-lagi perempuan yang kena getahnya,” sambungnya.

Lebih lanjut, jika berorientasi pada produktivitas kerja—yang dibutuhkan perusahaan—pun cuti haid dan melahirkan sebenarnya juga menjadi jawaban atas persoalan itu.

Selira mencontohkan, saat haid biasanya perempuan mengalami kondisi premenstrual syndrome (PMS). Ketika itu terjadi, biasanya perempuan akan merasakan sakit secara fisik dan emosional, terlebih jika ia punya penyakit penyerta seperti diare atau migrain.

“Lantas, dalam kondisi seperti ini apa bisa dipaksa produktif?” katanya, melempar pertanyaan retoris.

Perppu Cipta Kerja sendiri—yang orientasinya adalah membuka lapangan pekerjaan—menurut Selira justru hanya bakal bikin hak cuti haid dan melahirkan tereduksi. Perppu Ciptaker, yang kata Selira punya slogan utama “no work no pay”, tak menjamin pekerja perempuan tetap dibayar saat mengambil cuti haid dan melahirkan.

Memang, skema ini bakal diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan perusahaan. Namun, selama ini realita yang terjadi di lapangan justru hanya tindakan-tindakan diskriminatif yang dialamatkan ke perempuan.

“Misalnya, pekerja perempuan dipaksa membuktikan haid atau tidaknya dengan membuka celana. Atau, di industri medis perempuan dipaksa minum obat anti nyeri alih-alih dapat cuti haid,” jelasnya.

Lebih lanjut, selain tidak terjaminnya keselamatan kerja, masalah lain yang dihadapi perempuan di lingkungan kerja adalah beban ganda. Diakui Selira, ini terjadi lantaran konsep keluarga di Indonesia yang masih kuat dengan stigma bahwa pekerjaan domestik wajib dikerjakan oleh perempuan.

Alhasil, bagi para pekerja perempuan, mereka harus mencari nafkah sekaligus mengurus rumah tiap harinya.

“Ini yang bikin kebanyakan perempuan acapkali mengalami kelelahan di lingkungan kerja,” ujarnya.

Selain dikurasnya kondisi fisik, masalah lain yang juga tak kunjung rampung yakni terkait timpangnya upah jika dibanding laki-laki. Kata Selira, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah muaranya, karena aturan diskriminatif ini melabeli perempuan sebagai “pencari nafkah sekunder” dan bikin level upahnya lebih rendah.

“Padahal banyak ditemui perempuan sebagai pencari nafkah utama seperti sandwich genaration dan single mom,” tegasnya.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda

BACA JUGA Mengenal Zipper System Pemilu, serta Pentingnya bagi Keterwakilan Perempuan

Exit mobile version