MOJOK.CO – Pakar ketenagakerjaan Nabiyla Risfa Izzati menjelaskan alasan mengapa masih banyak dosen yang enggan berserikat. Padahal, menurut pengajar Hukum Ketenagakerjaan UGM ini, wadah serikat sebenarnya para dosen butuhkan di Indonesia.
Perlu kita ketahui, baru-baru ini Nabiyla bersama peneliti lain dari Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Mataram (Unram) membuat riset terkait kesejahteraan dosen. Dalam riset yang melibatkan 1.200 responden akademisi di Indonesia ini menemukan bahwa upah yang dosen dapatkan masih jauh dari kata layak.
Laporan itu menyebut sebanyak 42,9 persen dosen hanya menerima gaji di bawah Rp3 juta. Padahal tiap bulannya, rata-rata responden mengaku mengeluarkan uang Rp5-10 juta untuk biaya hidup.
Riset ini juga menemukan, untuk menangani permasalahan kecilnya upah, para dosen pun mengambil “kerja sampingan” melalui hibah penelitian maupun pembicara seminar. Sayangnya, itu masih jauh dari kata cukup.
Alhasil, riset itu merekomendasi para dosen untuk membentuk serikat. Tujuannya, selain untuk menciptakan solidaritas sesama kelas pekerja, serikat juga bisa jadi wadah untuk memperjuangkan hak para dosen.
“Dosen itu kan secara teknis juga buruh, jadi punya hak untuk membentuk serikat,” ujar Nabiyla dalam diskusi bertajuk “Lika-Liku Serikat Pekerja Akademik”, Sabtu (20/5/2023) kemarin.
“Sebab, semua orang yang melakukan pekerjaan, berada dalam hubungan kerja, bukan pemilik modal, dan mendapatkan upah, secara teknis berarti pekerja atau buruh,” terangnya, menambahkan.
Banyak yang belum paham, kenapa?
Sayangnya, masih banyak pihak yang belum memahami terkait hal tersebut, termasuk dosen itu sendiri. Menurut Nabiyla, penyebabnya adalah karena adanya payung hukum yang berbeda terkait profesi tertentu yang ada di Indonesia.
Secara umum, kelas pekerja di Indonesia dipayungi oleh UU Ketenagakerjaan. Dalam undang-undang ini secara gamblang menjelaskan apa itu pekerja, hak-hak pekerja, serta syarat-syarat dalam pembentukkan serikat pekerja.
Sementara profesi tertentu, seperti dosen, guru, dokter, maupun aparatur sipil negara (ASN), punya undang-undang tersendiri. Bagi dosen, misalnya, UU yang memayungi mereka adalah UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Masalahnya, UU ini secara eksplisit tidak menjelaskan status dosen sebagai buruh—melainkan sebagai tenaga didik profesional.
“Undang-undang, seolah mengalienasi posisi dosen sebagai buruh; mereka menjadi kurang relate dengan kelas pekerja secara umum atau soal gagasan mengenai ketenagakerjaan,” kata Nabiyla.
“Sehingga, ini bisa memunculkan anggapan dari dalam diri dosen, bahwa ‘saya ini profesional’ atau ‘ini profesi yang spesial’, sehingga pada akhirnya mereka tidak mau dikatakan sebagai buruh,” lanjutnya.
Selain membuat dosen teralienasi dari kelas pekerja, aturan tersebut juga membentuk pengetahuan umum bahwa profesi dosen adalah bentuk pengabdian. Sehingga, banyak pihak pun menganggap apapun imbalannya harus tetap bersyukur.
“Jangan-jangan, pola pikir itu menjadi permasalahan utama, karena akhirnya kita menjadi tidak nyaman atau merasa tabu untuk membicarakan kesejahteraan atau gaji dosen yang sebenarnya adalah hak kita dengan dalih itu bentuk pengabdian,” ujar Nabiyla.
Selain masalah regulasi, Nabiyla juga menyoroti bahwa batu sandungan pembentukan serikat atau union busting, juga bisa berasal dari orang yang punya kuasa. Menurutnya, ada anggapan pembentukan suara kolektif yang lebih besar bakal menganggu kepentingan penguasa.
“Kemungkinan union busting dari orang yang lebih punya kuasa, itu selalu ada. Bagaimanapun, suara kolektif yang lebih besar dianggap mengganggu status quo mereka bukan?,” jelasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi