Mengenal ‘Infobesity’, Gangguan yang Bisa Bikin Anak Muda Kejebak Hoaks Pemilu

infobesity mojok.co

Ilustrasi hoax (photo by Geralt on PIxabay)

MOJOK.COAnak muda terancam gangguan infobesity di tahun politik. Kondisi yang bikin mereka bingung dan akhirnya termakan hoaks.

Siapa bilang hanya golongan orang-orang tua yang gampang kejebak hoaks? Nyatanya, para anak muda, baik itu milenial maupun Gen Z, punya potensi yang sama. Terlebih menjelang Pemilu 2024, di mana serangan-serangan hoaks mulai bertebaran di media sosial.

Bagi anak muda, salah satu ancaman nyata jelang pemilu nanti adalah potensi mereka terpapar “Infobesity”. Gangguan inilah yang bikin mereka rentan kena hoaks Pemilu 2024.

Apa itu “Infobesity”?

Kata Infobesity merupakan akronim dari “information obesity”. Dalam bahasa Indonesia, ini artinya sebagai “obesitas informasi”. Istilah ini memang cukup asing, meski belakangan cukup berkembang dalam kajian ilmu komunikasi dan informasi.

Amine Belabbes dalam tulisannya di Journal of Documentation (2022) menjelaskan bahwa infobesity merupakan kondisi ketika seseorang mendapat terlalu banyak pilihan informasi yang berdampak pada proses pengambilan keputusannya.

Istilah serupa dari infobesity adalah information explosion atau “ledakan informasi”. Ini adalah situasi ketika berbagai macam informasi yang ada—baik itu dalam bentuk teks, audio, audio visual, dan lainnya—bikin masyarakat menjadi kewalahan dan kalap dalam mencernanya.

Dalam kehidupan sehari-hari, contoh kasusnya secara sederhana sebagai berikut: ambil satu kasus, misalnya “soal pernyataan salah seorang kandidat capres”. Dalam sehari saja, seseorang bisa terpapar ratusan konten soal pernyataan capres tersebut. Baik itu tulisan, video, audio, dan sebagainya.

Banyaknya informasi inilah yang bikin orang-orang kemudian bingung untuk menyaring mana berita yang valid atau yang bukan.

Kenapa kita bisa rentan?

Anggapan “orang Indonesia mudah terkena hoaks” nyatanya bukan sekadar guyonan. Laporan Rakhman Ardi dalam penelitian berjudul “How do Polish and Indonesian disclose in Facebook?” menunjukkan bahwa anggapan di awal tadi memang benar adanya.

Dalam konteks infobesity, kata penelitian itu, masyarakat Indonesia rentan terpapar karena budaya kolektivitasnya; yakni dorongan untuk saling berbagi informasi melalui platform yang mereka miliki.

Parahnya lagi, meskipun terbiasa membagikan informasi, netizen-netizen Indonesia ini punya kecenderungan “membagikan informasi tanpa terlebih dahulu mengetahui apakah informasi itu benar”. Bahkan, mereka kadang juga malas untuk mencari tahu kebenarannya.

Dalam konteks tahun politik, jelas ini menjadi ancaman. Berkaca dari Pemilu 2019 lalu, media sosial berdampak besar dalam menggiring opini publik. Selain sebagai media penyebaran informasi, media sosial juga menjadi sebagai salah satu alat untuk mobilisasi pemilih, kampanye, dan ruang diskusi, sehingga mudah jadi alat propaganda.

Dengan demikian, media sosial juga dapat menyumbang infobesity, dan ini cukup berbahaya karena informasi yang beredar sudah bercampur dengan informasi yang tidak sesuai fakta. Baik itu hoaks, disinformasi, misinformasi, maupun teori konspirasi.

Anak muda gampang “dibakar”

Serangan infobesity, utamanya harus diwaspadai oleh anak muda. Sebab, para pemilih muda ini termasuk undecided voters dan swing voters. Pilihan mereka masih mungkin berubah-ubah.

Masalah makin pelik ketika menjumpai fakta bahwa meskipun kebanyakan anak muda adalah digital natives, banyak di antara mereka yang tak memiliki kemampuan berpikir kritis terhadap informasi yang diterima.

Misalnya, penelitian menunjukkan bahwa selama masa Pemilihan Gubernur Provinsi Jawa Barat Tahun 2018, para pemilih muda cenderung gampang percaya dengan informasi yang mereka dapat. Mereka juga mudah terprovokasi untuk ikut berkomentar di konten-konten penggiringan opini publik.

Artinya, meski tak bisa dipukul rata, mayoritas kelompok ini kurang memiliki keterampilan mengevaluasi informasi yang diterimanya secara kritis. Kedekatannya dengan media sosial juga membuat pemilih muda menjadi kelompok paling awal yang terpapar informasi politik dibandingkan kelompok lainnya.

Dengan begitu, kelompok ini rentan terpengaruh oleh hoaks yang beredar di lingkungan digital mereka. Maka, jangan heran seandainya pada 2024 nanti, kalian menjumpai banyak anak muda yang membagikan postingan sesat di media sosial.

Penulis: Ahmad Effendy
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA 3 Fakta Soal Pemecatan Budiman Sudjatmiko, Pengin Daftar ke PDIP Lagi?

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version