MOJOK.CO – Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, Indonesia dihadapkan pada satu persoalan serius: korupsi. Praktik itu ada banyak ragamnya. Namun, menurut mantan Hakim Agung RI, mendiang Artidjo Alkostar, “korupsi politik adalah yang paling berbahaya”.
Ia mendefinisikan “korupsi politik” sebagai tindakan korupsi yang terjadi ketika pembuat keputusan politik (stakeholder) menggunakan kekuasaan politik mereka untuk mempertahankan kekuasaan, status, dan kekayaan mereka.
Lebih lanjut, kata Artidjo, korupsi politik adalah pelanggaran atas hak asasi rakyat, yang level bahayanya bisa lebih dahsyat ketimbang korupsi biasa. Jika “korupsi biasa” punya implikasi merugikan satu dua pihak, korupsi politik daya destruktifnya lebih besar. Ia bisa menghancurkan satu generasi, atau malah satu negara.
Misalkan, ada seorang anggota dewan berkat politik uang (money politic). Akibat terpilihnya wakil rakyat secara korup, produk undang-undang yang dihasilkannya pun tidak berkualitas atau hanya untuk mengisi kantung sendiri, balik modal, atau malah kongkalikong, alih-alih demi kesejahteraan rakyat.
5 Jenis Korupsi Politik
Laman Pusat Edukasi Antikorupsi, yang dikelola kpk.go.id, menjelaskan setidaknya ada lima jenis korupsi politik yang perlu diketahui. Jenis-jenis ini memiliki cara dan modus yang beragam. Apa saja itu?
#1 Penyuapan
Dalam politik, penyuapan biasanya tidak hanya bermotif memperkaya diri sendiri, tetapi juga untuk berkuasa atau mempertahankan pengaruhnya dalam tatanan birokrasi publik.
Jika kembali berhasil berkuasa, maka pelaku akan mengatur undang-undang, peraturan, dan kebijakan yang dihasilkan agar berpihak kepada kepentingan ekonomi dirinya semata.
Penyuapan dalam politik, misalnya, terjadi ketika seorang politisi menyuap lembaga penyelenggara pemilu untuk memenangkan dirinya dalam pilkada atau pemilu. Kongkalikong antara politisi dan lembaga penyelenggara pemilu ini adalah bentuk korupsi dalam sektor politik.
#2 Jual-beli suara
Salah satu kasus korupsi politik yang sering terjadi—terutama mendekati pemilu—adalah jual beli suara saat pemilihan.
Di Indonesia, salah satu jenis praktik jual-beli suara yang umum adalah “serangan fajar”. Ia merupakan istilah yang digunakan untuk praktik bagi-bagi uang caleg kepada warga di pagi hari sebelum pencoblosan. Tindakan ini dilakukan untuk memengaruhi keputusan warga dalam memilih.
Selain itu, modus jual-beli suara lainnya, seperti dipaparkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), adalah dengan memanfaatkan sisa surat suara tak terpakai di TPS untuk dicoblos oleh oknum Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan diberikan kepada kubu yang memesan.
Sebagai informasi, menurut penelitian Burhanuddin dkk. (2019) Indonesia merupakan negara terbesar ketiga yang mempraktikkan jual-beli suara ini. Pada Pemilu 2019 lalu, money politic dalam bentuk jual-beli suara dilakukan oleh 19,4 persen hingga 30,1 persen pemilih di Indonesia.
#3 Pembiayaan kampanye
Korupsi politik yang berikut ini masih menjadi perdebatan apakah masuk pelanggaran pidana atau sekadar dukungan politik semata. Namun, sebagaimana mengutip penulis buku Pemberian, Marcell Mauss, “tidak ada makan siang gratis”.
Misalnya, pendanaan kampanye oleh pengusaha kepada seorang caleg biasanya ada “motif lain di meja makan”. Meski, biasanya tak ada transaksi secara tertulis, pasti ada utang budi yang harus dibayar caleg kepada pendonor.
Salah satu bentuk “pelunasan utangnya”, bisa jadi adalah pengaturan kebijakan yang menguntungkan pengusaha atau manipulasi pemenangan tender pengadaan barang dan jasa. Dengan demikian, hal ini pada akhirnya akan memunculkan konflik kepentingan yang menjadi salah satu penyebab korupsi.
#4 Nepotisme/Patronase
Kalau yang satu ini, jadi terminologi yang akrab selama era Orde Baru-nya Suharto: nepotisme. Tapi jangan salah, setelah Suharto lengser pun, praktik ini malah menjamur di daerah-daerah. Ironis, bukan?
Nepotisme adalah pemberian perlakuan istimewa kepada keluarga atau kerabat (patronase) dalam kekuasaan politik tertentu, baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Kondisi ini banyak terjadi pada tubuh partai politik, ketika para petinggi partai diisi oleh keluarga pemimpin partai. Bahasa kekiniannya: dinasti politik.
Nepotisme tidak memperhitungkan jenjang karier politik, prestasi, atau kapabilitas sebagai penentu posisi. Selama dia keluarga atau kerabat, maka bisa diangkat jadi pemimpin atau dimajukan jadi calon kepala daerah. Praktik ini juga dilakukan untuk melanggengkan dinasti politik di tubuh partai atau kekuasaan.
#5 Perdagangan Pengaruh
Perdagangan pengaruh atau dalam bahasa politiknya Trading of Influence, terjadi saat pejabat publik menawarkan diri atau menerima permintaan pihak lain untuk menggunakan pengaruh politik dan jabatannya, agar mengintervensi keputusan tertentu.
Trading of Influence telah disahkan dalam Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) pada Oktober 2003 dan diratifikasi oleh Indonesia.
Dalam penyelidikannya, korupsi jenis ini sulit ditelurusi karena beda-beda tipis dengan proses lobi yang memang dihalalkan dalam politik. Namun ada kata kunci untuk membedakan perdagangan pengaruh dengan proses lobi: “transaksi keuntungan”.
Pendeknya, jika sudah ada transaksi dengan keuntungan yang spesifik, maka korupsi boleh dibilang telah terjadi.
Contohnya, seorang pengusaha memberikan sejumlah besar uang kepada tokoh terkemuka Partai A untuk membantu memuluskan rencananya. Pengusaha ini yakin tokoh tersebut bisa mempengaruhi pembuatan kebijakan karena para anggota dewan yang duduk di parlemen adalah kader partainya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda